"Salah satu bayi kembarmu pembawa sial," ucap Kakek Baron.
"Pembawa sial?" Aron terkejut. Ramalan Kakek Baron kali ini berbeda dari biasanya. Dia mengkhawatirkan istrinya, karena orang yang paling dia cintai itu istrinya.
"Iya, dia akan membawa petaka untuk keluargamu," ucap Kakek Baron.
"Petaka?" ucap Aron dan Kania bersamaan.
"Tidak, bayi kita tidak mungkin membawa petaka Mas, ini pasti salah, aku tidak percaya," ucap Kania.
Aron coba menenangkan Kania yang panik dan ketakutan. Dia tidak ingin istrinya stress, sebentar lagi istrinya akan melahirkan. Kania harus relax dan beristirahat.
"Sayang, ku antar ke kamar ya, kau harus istirahat," ucap Aron.
Kania mengangguk. Aron mengantarkan Kania masuk ke dalam rumah. Dua mengantar istrinya ke kamarnya kemudian kembali ke teras rumah untuk bicara dengan Kakek Baron.
"Kek, apa yang akan terjadi kalau anak itu lahir dan hidup bersama kami?" tanya Aron.
"Dia akan membuatmu kehilangan segalanya, sebelum semua terjadi kau tahu harus bagaimana," ucap Kakek Aron.
Aron terdiam. Memikirkan ucapan Kakek Baron. Selama ini dia begitu mempercayai ramalannya. Bahkan untuk urusan bisnis dan segala hal lainnya dia selalu minta diramal.
Setelah Kakek Baron pergi, Aron masuk ke dalam rumah, berjalan menaiki tangga menuju lantai atas. Dia masuk ke kamar, menghampiri istrinya yang sedang berbaring di ranjang. Aron memeluk istrinya dari belakang.
"Sayang kau baik-baik saja?" tanya Aron.
Kania menangis, dia sedih memikirkan ramalan yang diucapkan Kakek Baron. Bagaimana tidak, ibu mana yang sanggup mendengar anaknya adalah pembawa sial, padahal Aron dan Kania sudah lama menantikan adanya buah hati. Bertahun-tahun menikah, mereka tak kunjung memiliki keturunan, baru di tahun ke 11 pernikahan, mereka diberi keturunan. Bagi Kania bayi dalam kandungannya adalah anugerah, dia begitu menikmati semua prosesnya saat mengandung bayinya.
"Sayang, semua yang dikatakan Kakek Baron untuk kebaikan kita," ucap Aron.
"Tapi Mas, mana ada anak yang bahkan belum lahir pembawa sial," ujar Kania.
"Justru karena dia belum lahir, kita sudah tahu duluan kalau dia akan membawa petaka pada keluarga kita," sahut Aron.
Kania mengusap perutnya. Dia sedih suaminya percaya kalau bayi yang dikandungya pembawa sial.
"Kania, saat bayi itu lahir, aku akan memberikannya pada orang lain," ucap Aron.
"Tidak Mas, ini anak kita, masa dikasih orang sih Mas," ujar Kania.
"Kania aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu, pada kita semua, keluarga kita," ucap Aron.
"Aku tidak bisa Mas, aku mengandungnya 9 bulan, merasakan tumbuh kembangnya di perutku," ucap Kania.
Kania berbalik, dia menatap wajah suaminya. Berharap semua keputusan itu tidak akan dilakukan suaminya.
"Ku mohon Mas, biarkan bayi ini hidup bersama kita," pinta Kania.
"Baiklah," ucap Aron dengan berat hati. Dia tidak bisa melihat Kania bersedih, untuk saat ini menyetujui keinginan Kania jalan yang terbaik yang bisa diambil olehnya.
Hari berganti hari, tiba waktunya Kania melahirkan. Aron membawa Kania ke rumah sakit. Dia berdiri di luar kamar persalinan bersama anak buahnya. Kakinya tak mau diam, berjalan ke kanan dan ke kiri. Perasaan cemas membuatnya tak bisa berdiam diri, dia terus memikirkan Kania. Jika harus memilih Kania atau anaknya, Aron akan memilih Kania. Tak peduli jika seumur hidupnya tak memiliki anak.
Dua jam berlalu. Dokter keluar dari ruangan persalinan, dia berbicara dengan Aron di sudut ruang tunggu.
"Nyonya Kania mengalami pendarahan saat melahirkan, salah satu bayi Tuan mengalami cacat di kakinya," ucap Dokter.
"Apa? kau harus menyelamatkan istriku!" Aron marah besar.
"Sabar Tuan," ucap Dokter.
Aron marah, dia menarik kerah baju Dokter.
"Selamatkan istriku!" teriak Aron.
Anak buah Aron menghampiri Bosnya, mereka berusaha menenangkan emosinya. Salah satu dari mereka berusaha menahan tangan Aron.
Hampir saja Aron hendak memukul Dokter.
"Sabar Bos, ini rumah sakit."
"Iya Bos."
Aron melepas tangannya dari kerah baju Dokter, kepalan tangannya yang tadi tak jadi dipukulkan ke wajahnya, tetapi emosinya masih berapi-api, dia berlari masuk ke ruang bersalin. Di dalam Kania sudah terlihat sekarat, kedua bayinya sudah ada di sampingnya bersama suster. Kania sengaja ingin melihat bayinya sebelum dia pergi selamanya.
Aron langsung memeluk istrinya, mencium keningnya berkali-kali. Dia menangis, melihat Kania tak berdaya.
"Mas waktuku tak banyak," ucap Kania.
"Tidak Kania, jangan tinggalkan aku, ku mohon," ucap Aron. Dia tak mau Kania berkata seperti itu. Rasa takut kehilangan Kania mulai menghantuinya.
"Aku titip anak-anak Mas, jaga mereka, sayangi mereka," ujar Kania. Sebuah pesan terakhir yang diucapkannya. Dia tak bisa melawan takdir, tubuhnya sudah tak mampu bertahan, tinggal sedikit waktu untuk mengucapkan keinginannya.
Aron menangis, dia yang memiliki tempramen yang keras, seketika menghilang, di depan sang istri yang sedang sekarat, Aron meronta, menjerit, memohon agar Kania tetap hidup bersamanya.
Hancur hati Aron mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Kania, orang yang paling dicintainya, dia tidak bisa hidup tanpa Kania.
Aron melepas pelukannya, dia menegang pipi Kania, wajahnya terlihat pucat, air mata menetes di pipinya dan tubuhnya mulai dingin.
"Sayang kau harus hidup, kita akan akan bersama selamanya," ujar Aron. Dia berusaha meyakinkan Kania, seakan semua itu bisa merubah semuanya.
Kania hanya tersenyum tipis yang membuat Aron semakin takut. Senyuman yang tulus tapi menyakitkan, kenyataannya Kania akan pergi selamanya.
"Se ... la ... mat ting ... gal Mas." Kania menghembuskan nafas terakhirnya.
"Kaniaaaaaa ...," teriak Aron memanggil Kania yang sudah tak bernyawa.
***
Kematian Kania menjadi pukulan terbesar dalam hidup Aron. Dia mengurung dirinya di kamar hingga berhari-hari. Aron kehilangan semangat hidupnya, dia hanya diam dan menyesali kematiaan Kania. Waktu tak bisa di putar dan mengantarkan Kania kembali padanya. Bahkan semua hartanya tak bisa menyelamatkan Kania dari kematian.
"Seharusnya kau tidak mati Kania," ucap Aron.
"Aku rindu padamu, kembalilah!" Aron terus berharap, meskipun kenyataannya Kania tak mungkin kembali, dunia fana sudah dia tinggalkan menuju keabadiaan.
Aron mengingat kembali ucapan Kakek Baron, kalau salah satu bayinya pembawa sial. Segera Aron keluar dari kamarnya, dia menuju kamar bayi, masuk ke dalam kamar. Aron menghampiri kedua bayi kembarnya yang sedang berbaring di ranjang. Dia mengambil satu bayinya, mengangkat bayi itu ke atas.
"Pembawa sial, kau harus mati!" Aron bersiap untuk menjatuhkan bayinya dari ketinggian.