Aron hendak menjatuhkan bayi ditangannya, tapi tiba-tiba seorang pengasuh masuk ke kamar bayi, dia terkejut melihat Aron yang bersiap menjatuhkan bayi di tangannya.
"Tuan ...."
Seketika Aron menghentikan keinginannya, dia menoleh ke arah pengasuh kedua bayi kembarnya. Pengasuh itu ketakutan, dia tak bertanya pada Tuannya, hanya terdiam terpaku di depan pintu. Apa yang bisa dia lakukan selain jadi pengasuh, lelaki di depannya ini sangat berkuasa, salah bicara bisa langsung tebas tak bersisa.
"Untuk apa kau di situ?" tanya Aron.
"Ampun Tuan, saya hanya ingin memberi susu untuk kedua bayi Tuan, seperti biasanya."
Aron menggendong bayi di tangannya menghampiri pengasuh yang berdiri tak berani menatapnya. Mata Aron yang dingin dan tajam membuatnya takut setengah mati. Tangannya terus gemetar, jantungnya berdebar tak karuan seiring langkah Aron yang semakin mendekatinya.
Pengasuh itu langsung berlutut, dia meminta maaf atas apa yang sudah dilihatnya. Mengemis pada Tuan besar, berharap kesalahannya dimaafkan, meskipun dia tidak merasa itu sebuah kesalahan.
"Bangun!" perintah Aron.
"Iya Tuan."
Pengasuh itu berdiri namun kepalanya tetap menunduk. Dia tak ingin mencari masalah dengan lelaki yang sudah terkenal kejam itu.
"Aku punya tugas untukmu," ucap Aron.
"Tugas apa Tuanku?"
Aron melihat bayi di tangannya, bayi itu terbangun, wajah polosnya yang masih suci membuat Aron semakin membencinya, dia menganggap wajah polos itu monster mengerikan yang sudah membuat istri dan bayi kembarnya terkena kesialannya.
"Bawa bayi ini pergi jauh dan bunuh dia!" perintah Aron pada pengasuh bayinya.
"Apa?" Pengasuh itu terkejut, dia tak percaya seorang ayah begitu tega untuk menghabisi putri kandungnya sendiri. Padahal anaknya masih bayi belum memiliki kesalahan ataupun dosa, tapi dia tak bisa bertanya apa alasan Tuan besar menyuruhnya melenyapkan anaknya. Bertanya hanya akan membuatnya dalam bahaya.
"Bunuh bayi ini, jangan biarkan dia hidup! aku akan membayarmu mahal, kau tak perlu bekerja lagi," ucap Aron.
Perawat itu bingung, dia belum pernah membunuh orang dan sekarang dia diberi perintah untuk membunuh, apalagi yang harus dibunuh seorang bayi. Namun jika dia menolak, lelaki di depannya akan murka dan bisa saja dia akan bernasib sama dengan bayi itu.
"Ba_baik Tuan."
Aron memberikan bayinya pada pengasuh itu, dia mengambil selembar Cek dan memberikannya padanya.
"Jangan pernah kembali ke rumah ini, lakukan tugasmu dengan baik!" perintah Aron.
"Baik Tuanku."
Pengasuh membawa bayi digendongannya keluar dari rumah besar itu. Sejak saat itu Aron tak pernah mengingat bayinya lagi, dia menganggap bayinya hanya satu. Bayi yang memiliki cacat di kakinya.
Flash Back Off
Aron masih duduk di sofa. Kejadiaan itu sudah sangat lama. Dia ingin mengingatnya tapi kabar tentang Elnara yang masih hidup mengusik hidupnya lagi. Dia tidak ingin Elnara kembali membawa sial dikeluarganya.
Tiba-tiba seorang gadis cantik memeluknya dari belakang. Aron menoleh ke samping. Sebuah ciuman mendarat di pipinya.
"Fiona kau sudah pulang?" tanya Aron.
"Iya Pa," jawab Fiona.
Fiona Lajuba saudara kembar Elnara Balqis, dia sedikit mirip dengan Elnara, hanya berbeda di warna mata, rambut dan wajah. Elnara memiliki warna bola mata agak kehijauan dan rambutnya lurus berwarna hitam, sedangkan Fiona warna bola matanya agak kecoklatan dan rambutnya bergelombang berwarna pirang. Tinggi badannya hampir sama dengan Elnara begitupun dengan warna kulitnya, hanya saja Elnara berwajah oval sedangkan Fiona bulat.
"Papa lapar, ayo kita makan sama-sama," ajak Aron.
"Oke, Fiona juga lapar banget," ujar Fiona.
Fiona berjalan menghampiri Papanya, kakinya yang cacat sebelah membuat jalannya sedikit pincang. Kaki Fiona kecil di bagian bawah, itu sebabnya dia tak bisa berjalan normal seperti orang biasa.
"Ayo Pa," ucap Fiona menarik lengan Fiona.
"Iya sayang," jawab Aron.
Aron dan Fiona berjalan menuju ruang makan. Mereka duduk dan makan bersama. Di rumah besar itu hanya Aron dan Fiona yang tinggal selain karyawan yang bekerja. Sejak istrinya meninggal, Aron tak pernah menikah lagi.
"Pa, kalau punya saudara enak kali ya?" tanya Fiona.
"Lebih baik tak punya saudara dari pada membawa sial dalam hidup kita," jawab Aron.
"Tapi Pa, gak ada orang yang bawa sial, semua sudah takdir," ucap Fiona.
"Fiona, Mamamu meninggal, kakimu cacat itu karena ...." Perkataan Aron terhenti saat hendak mengatakan kebenarannya pada Fiona. Dia tak mungkin menceritakan masa lalu yang sangat dibencinya pada Fiona.
"Karena? karena apa Pa?" tanya Fiona.
"Fiona mulai besok, jangan pernah bicara soal ini lagi! Papa lelah, lanjutkan makanmu!" Aron berdiri, berjalan meninggalkan meja makan. Dia paling tidak suka ada yang membahas Elnara. Baginya Elnara adalah kutukan dalam hidupnya.
***
Elnara kembali ke rumah. Dia senang sekali membawa dua kantung goodie bag dan makanan yang baru dibelinya saat di restoran tadi. Annisa dan Yusuf sudah menyambutnya saat datang. Mereka mencium tangan Elnara selayaknya orangtuanya. Elnara terharu, tak ada orang yang menghormatinya seperti itu sebelumnya.
"Annisa, Yusuf, kakak bawa sesuatu untuk kalian," ucap Elnara sambil menunjukkan barang bawaannya.
"Asyik," ucap Annisa dan Yusuf yang senang.
"Kak Elnara cantik," puji Annisa dan Yusuf melihat Elnara mengenakan pakaian muslimah.
"Alhamdulillah, makasih sayang," ucap Elnara. Dia memeluk kedua adik kecilnya. Dia begitu menyayangi mereka.
"Ayo masuk, kita makan dan bongkar bersama," ujar Elnara.
"Iya Kak," sahut Annisa dan Yusuf.
Elnara masuk ke dalam. Dia memberikan pakaian milik Delisa. Pakaian motif kartun yang lucu dan menggemaskan, membuat Delisa yang sakit terlihat bahagia dan bersemangat.
"Bajunya bagus, Delisa suka, ada kartunnya kaya punya temen Delisa," ucap Delisa yang polos.
Elnara menangis, melihat Delisa senang mendapatkan baju yang dibawanya, selama ini Delisa tak pernah beli baju. Pakaian sehari-harinya hanya pemberian orang atau baju yang dibuang di tempat sampah. Elnara jadi ingat bersyukur, terkadang manusia selalu melihat ke atas, lupa kalau di bawahnya masih banyak orang yang jauh lebih susah.
Elnara membagikan semua baju milik Alif, Annisa dan Yusuf. Mereka semua suka dengan baju yang dibeli Elnara.
"Kak Elnara makasih," ucap semuanya.
"Iya adik-adikku, ayo makan!" ajak Elnara.
Mereka mengangguk, kemudian makan bersama, makanan yang dibawa Elnara jadi makanan terenak yang pernah dimakan Alif dan adik-adiknya. Delisa saja sampai lahap makannya disuapi Elnara. Dia terlihat lebih segar, kebahagiaan kecil yang tak pernah dirasakannya. Elnara terharu, banyak hal yang pernah dia miliki tapi tak sedikit pun yang dia miliki membuatnya benar-benar bahagia.
***
Pagi hari itu Elnara sudah bersiap untuk bekerja. Dia menyiapkan semua kerupuk yang sudah diambil Alif dari agen kerupuk. Elnara menghitung semua kerupuk dan merapikannya untuk dibawa.
"Kak El, aku ikut dagang ya?" tanya Alif.
"Tidak usah Alif, Delisa belum sembuh betul, lebih baik temani Delisa, kakak bisa dagang sendiri," ucap Elnara.
"Baiklah Kak, semoga hari ini dagangannya habis," ujar Alif.
"Amin," sahut Elnara.
Annisa dan Yusuf mengantar Elnara sampai depan pintu. Mereka mencium tangan Elnara sebelum kakaknya berangkat.
"Assalamu'alaikum," ucap Elnara.
"Wa'alaikumsallam," jawab Annisa dan Yusuf.
Elnara berjalan keluar dari gang. Beberapa bapak-bapak, mas-mas dan kakek-kakek yang duduk nongkrong di pos ronda terkejut dengan penampilan Elnara yang baru. Mereka sampai bengong melihat Elnara yang cantik dan anggun.
"Masya Allah bidadari surga, cantiknya."
"Udah kena semprot bini lagi, tar tidur ma kunti repot."
"Gara-gara saya ngintip Elnara mandi, seminggu gak boleh masuk rumah, dompet di tangan istri, handphone ditahan, sampai kerja dimandorin."
"Belum tragis, saya malah disuruh kawin lagi."
"Enak dong."
"Enak? kata siapa, masalahnya yang mau dinikahi nenek-nenek."
"Sabar, tapi kita segan juga goda Elnara kalau tampilannya begitu."
"Iya, masa orang udah hijrah kita godain."
Diantara obrolan mereka muncul sesosok makhluk tak diundang. Dia mengedipkan matanya ke semua lelaki di pos ronda.
"Bang godain dong eke."
"Bubar yuk, repot kalau suruh tanggungjawab, gak jelas lobangnya."
"Dia amphibi atau buaya?"
"Udah kabur, repot kalau ngamuk, minta dikawinin."
Bapak-bapak in the geng kabur sebelum sesosok makhluk tak jelas asalnya memaksa untuk digoda.
"Eh Abang, Om, Kek, Mas, tunggu eke, jomblo nih."
Elnara tersenyum melihat bapak-bapak in the geng dikejar makhluk tak jelas alam ini. Mereka lari terbirit-birit, ogah menggoda lebih baik pulang ke rumah diomelin bini dari pada dicium paksa.
Perlahan satu dua langkah, Elnara berjalan di tepi jalan. Dia mulai menawarkan barang dagangannya. Meskipun belum ada yang beli, dia tak pantang menyerang demi mendapatkan uang halal.
"Panas juga, mungkin aku belum terbiasa mengenakan baju muslimah, sabar," ucap Elnara.
Elnara terus berjalan, di depan ruko berdiri dua orang lelaki kekar melihat ke arah Elnara. Mereka memperhatikan Elnara dan menyocokkannya dengan foto di tangan mereka.
"Itu bukannya gadis di foto yang kita cari?"
"Iya, mirip."
Kedua orang itu berpikir Elnara orang yang sedang mereka cari.