Sejak kemarin malam Arsen dan Alisha menunggu kedatangan Erick di dalam ruangan UGD. Sejak tadi malam, Alisha masih belum juga dipindah ke ruangan operasi gara-gara biaya rumah sakit masih belum juga dilunasi.
"Mah, Papah ke mana kok belum balik juga?" pertanyaan polos dari Anak kecil bernama Arsen dengan raut wajah yang sangatlah gelisah menanti sang Papah belum kunjung menampakan diri.
Alisha terbaring lemah. Berusaha mengangkat sebelah tangannya dan membelai kepala Sang buah hati sambil menunjukkan lengkungan manis dari bibirnya.
"Sebentar lagi Papah kamu juga pasti datang, Sayang." Hanya kata-kata penenang itu saja yang mampu dikatakan Alisha kepada Arsen.
Arsen sudah sangat mencemaskan bagaimana kondisi Mamahnya ke depannya jika tidak segera langsung dioperasi dan ditangani langsung oleh Dokter profesional.
Arsen menatap Mamah Alisha dan tersenyum. "Mamah cepet sembuh ya, Arsen gak mau lihat Mamah kayak gini terus..."
Terdengar suara tulus dari dalam hati anak kecil itu. Arsen, dia masih kecil tetapi hati dan jiwanya seperti orang dewasa yang bijaksana dan mengerti setiap saat. Apalagi terhadap Mamahnya.
"Iya, Sayang, Mamah pasti cepat sembuh kalo Arsen ada di sisi Mamah terus." Sedangkan Alisha juga tidak bisa jauh dari Arsen.
Di sisi lain....
Erick mengendarai mobil dengan kecepatan yang sangat tinggi menuju ke rumah sakit. Ia tahu dirinya sudah terlambat, yang dimana Seharusnya tadi malam ia berangkat ke rumah sakit. Dan sekarang waktu sudah berlalu dan sudah berganti menjadi pagi.
Erick sangat panik. Alisha tidak memberikan informasi apa-apa kepadanya mengenai apa yang telah terjadi di rumah sakit. Sedangkan Arsen Anaknya? Ia juga tidak tahu apakah anak itu berani menunggu sendirian di luar ruangan atau tidak.
Padahal tadi malam Erick sudah berjanji tidak akan lama meninggalkan Arsen di sana. Tapi apa? Erick tidak menjalankan ucapannya itu.
"Aku harus bisa cepat sampai di sana..."
Setelah beberapa menit kemudian. Erick sampai ditujuan, ia langsung saja masuk ke dalam rumah sakit itu dan langsung menuju ke tempat pembayaran agar Istrinya segera mendapatkan penanganan.
"Permisi Mbak, pasien atas nama Alisha Chan Ellery berapa biayanya?" tanya Erick dengan nada nggos-nggosan akibat berlarian tadi.
"Tunggu sebentar ya saya cek dulu, Pak."
Erick mengangguk dengan sedikit paksa mendengar itu. "Iya, Mbak."
"Semuanya habis sekitar 40 juta, Pak." Mendengar nominal tersebut tentu membuat Erick sangat terkejut.
Duku nominal segitu tidak ada apa-apanya di dalam kehidupannya. Sekarang semuanya sudah berbalik arah, nominal segitu sangatlah besar bagi diri Erick.
"Tunggu sebentar, Mbak." Erick langsung mengeluarkan amplop coklat yang sejak tadi ia letakan di dalam kresek berwarna hitam.
"Ini Mbak, tolong dihitung dulu itu ada berapa." Erick menyodorkan segumpal uang yang entah berapa nominalnya.
"Baik Pak."
Erick masih saja menunggu di sana. Melihat Mbak-mbak tadi kesusahan menghitung sehingga memanggil satu temannya lagi untuk membantunya menghitung uang tersebut.
"Permisi Pak, ini uangnya ada lebihan." Mbak tadi memberikan beberapa lembar kepada Erick lantas uang yang tadi Dia hitung jumlahnya lebih.
"Oh iya Mbak terima kasih." Erick menerima kembalian itu dan membuatnya terdiam sejenak.
"Uangku hanya tinggal segini, bagaimana Aku ke depannya mencukupi keluargaku?" tanya Erick sangat bingung.
"Permisi Pak, ini bukti pembayarannya.." lamunan Erick terpecah karena Mbak tadi menyodorkan sebuah kertas bukti pembayaran tadi kepadanya.
"Iya Mbak terima kasih." Setelah menerima bukti pembayaran tadi. Erick langsung kembali ke ruangan sang istri yang dimana sejak kemarin malam ia tinggal begitu saja tanpa adanya pamit sedikit pun.
Erick berlari dengan kecepatan yang luar biasa. Hingga pada akhirnya ia sampai di ruangan UGD hanya dalam jangka waktu beberapa detik saja.
Erick dengan cepat membuka pintu yang sejak tadi tertutup rapat di hadapannya. Dan tanpa disadari dari dua raut wajah orang yang ada di dalam ruangan itu langsung menatapnya
"Papah.." Arsen langsung menatap ke arah sang Papah yang baru saja datang dan membuka pintu UGD. Pasang mata dari Alisha juga tak kalah terkejutnya sama seperti Arsen.
Papah Erick langsung saja masuk ke dalam ruangan itu. Ia sangat terkejut melihat kondisi istrinya yang sudah tersadar dari lelapnya terpejam.
"Alisha... Syukur Alhamdulillah Kamu sudah sadar." Erick langsung saja mencium kening kepala Istrinya dengan penuh kasih sayang.
"Papah dari mana saja tadi malam? Arsen takut sendirian di luar, untung saja Mamah sudah bangun."
Suara anak kecil itu berhasil membuat mata Erick langsung teralihkan. "Jadi.... Kamu sudah sadar sejak tadi malam?"
Erick kembali menatap ke arah Alisha. Dan Alisha membalasnya dengan anggukan kepala. Rasanya ia susah sekali membuka mulutnya untuk berucap.
Badannya masih terasa sangat lemah. Dan entah kenapa apa yang dirasa kini jauh lebih berat dibandingkan dengan semalam yang Ia rasakan.
"Iya...." Mungkin hanya itu saja yang mampu dikatakan oleh Alisha saat ini.
Erick langsung saja mencium kening sang istri dengan penuh kasih sayang. "Maafkan aku yang tidak bisa mendampingi kamu tadi malam." Erick benar-benar merasa sangat bersalah dalam hal ini.
"Tidak apa-apa, tadi malam sudah ada Arsen, dia sangat pintar menjaga Aku semalaman."
Alisha mengeluarkan semua tenaganya untuk menjawab ucapan suaminya itu. Karena dirinya juga tidak merasakan ada kesalahan dalam suaminya.
Erick langsung menatap ke arah Arsen. Ia tak menyangka jika anak sekecil Arsen bisa menjaga Ibunya semalaman. Ia sangat bersyukur.
Erick berjongkok di depan tubuh kecil Arsen lalu mengelus kepalanya dengan sayang. "Terima kasih ya Nak, maafkan Papah tadi malam gak bisa bantuin kamu jagain Mamah..."
Dengan berat hati Erick mengatakan itu kepada anaknya karena memang itulah yang sebenarnya. Ia tidak bisa sama sekali membantu anaknya tadi malam karena dirinya sendiri juga sibuk memikirkan uang pembayaran rumah sakit.
"Iya Pah gak papa, Arsen sudah tidak takut lagi." Arsen tersenyum menunjukkan deretan giginya.
"Pah..."
Erick menoleh ke arah Alisha yang memanggilnya. Lalu Erick berjalan menuju ke arah Istrinya. "Iya, ada apa? Kamu mau apa?"
Alisha menggelengkan kepala. "Aku pengen ngomong sama Kamu, tapi bisakah kamu membawa Arsen keluar sebentar?"
Erick mengangguk ringan. "Baiklah, tunggu sebentar."
Erick kembali menuju ke arah Arsen dan mengelus pucuk kepalanya. "Arsen, Mamah mau ngomong sama Papah berdua saja. Arsen mau kan menunggu sebentar saja di luar sana?"
Erick menunjuk ke arah pintu UGD menyarankan agar Arsen mau menunggu di luar sana.
"Tapi Pah...-
"Ngga papa, katanya sudah tidak takut lagi, lagian ini nggak lama kok Nak..." Ucapan Arsen terpotong oleh Erick.
Arsen dengan lesu hanya mengiyakan saja. "Iya Pah..." Hingga akhirnya Arsen langsung keluar dari ruangan UGD itu.
Setalah melihat Arsen hilang dari balik pintu. Alisha kembali memanggil suaminya.
"Papah semalam dari mana?"
Erick tersenyum. "Tadi malam Aku mengambil uang buat bayar Operasi kamu, sayang."
"Tapi... Bukan kah Papah sudah bangkrut? Lalu uang mana lagi yang Papah pakai buat bayar Operasi aku, apakah Papah punya uang simpanan?" tanya Alisha sangat mencemaskan itu.
Erick diam terpaku tak bisa menjawab semua itu. Apa yang akan ia katakan setelah ini? Tidak mungkin juga jika Erick memberitahukannya sekarang, yang ada malah membuat kondisi Alisha semakin buruk.
Bersambung....