Detik waktu terus berjalan. Arsen dan Papah Erick masih saja menunggu kabar mengenai seseorang yang ada di dalam ruangan UGD.
Mata Arsen sudah membengkak terlalu banyak menangis sejak tadi, bahkan air matanya saja sudah tak bisa keluar lagi. Semuanya sudah terkuras habis.
Begitu pun juga dengan Erick. Rasa sabar dalam hati dirinya sudah hilang seketika. Rasanya ia ingin marah kepada Tuhan, atas apa yang telah Tuhan berikan kepadanya dan juga keluarganya yang tidak bersalah.
Satu masalah dalam keluarga Erick belum terselesaikan. Sekarang ditambah lagi dengan kondisi Alisha sedang terbaring tak berdaya di atas ranjang UGD.
"ARGH!!" Erick mengacak-acak rambutnya frustasi. Arsen mendengar teriakan tersebut langsung menoleh ke arah sang Papah.
"Sialan! Awas saja kamu Damar!! Sampai ujung bumi sekalipun, akan Aku cari Kamu sampai dapat!!" Erick mencengkram keras tangannya, sehingga menciptakan suatu kepalan dari tangan penuh otot kekar.
Seakan-akan Erick mencengkram seseorang dalam tangannya. Namun sayangnya, Orang itu sudah tak ada. Bahkan Erick sendiri pun tidak tahu ke mana Damar membawa semua uang-uang kantor itu.
Jika saja saat ini Damar berada di depan mata Erick. Mungkin nasib Damar antara mati atau hidup penuh penderitaan.
Ckelk!
Sampai akhirnya pintu UGD sejak tadi tertutup kini telah terbuka. Mata Erick dan Arsen langsung tertuju kepada seorang wanita yang keluar dari dalam ruangan, menggunakan jas putih dan wajah bersinar kecantikan, namun tidak dengan ekspresi wajahnya.
"Bagaimana keadaan Istri Saya, Dok?" tanya Erick sudah tidak sabar lagi menunggu kabar itu.
Wajah Dokter perempuan itu tampak sangat lesu dan dengan berat hati ia mengatakan.
"Istri Bapak terkena penyakit jantung yang cukup berat."
Deg...
Hati Erick seketika pecah mendengar itu. Tubuhnya kaku, kakinya gemetar seusai mendengar kondisi Istrinya.
"Hal ini disebabkan karena terlalu shock sehingga membuat jantungnya tertekan dan berfungsi tidak baik." Dokter itu melanjutkan kembali ucapannya.
"Saya sarankan agar pasien segera dioperasi supaya tidak terjadi apa-apa dengan beliau."
Selepas mendengar kalimat terakhir itu membuat Erick semakin hancur. "Operasi, Dok?"
Erick terpengangah mendengar kata Operasi. Dokter cantik itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Pak."
Arsen menatap ke arah sang Papah lalu memegang erat tangannya. "Pah... Tolong Mamah, Pah, kita harus menyembuhkan Mamah." Arsen menangis di sana meskipun air mata tak dapat lagi keluar.
Hati Erick semakin sakit melihat Arsen yang begitu sayang dengan Alisha. Dia pasti tidak bisa melihat kondisi Alisha seperti ini, jadi mau bagaimana pun. Erick harus bisa menyembuhkan istrinya itu.
"Baik Dok, lakukan yang terbaik untuk Istri saya, masalah biaya, Dokter jangan khawatir," ujar Erick tegas.
Dokter itu menganggukkan kepalanya. "Baik kalo begitu Saya konfirmasi dulu dengan Dokter yang akan menangani istri Bapak."
Erick mengangguk. "Iya."
Selepas Dokter itu pergi dari hadapan mereka. Erick memilih untuk berjongkok lalu mengelus pucuk kepala sang Anak lalu mengecupnya dengan penuh kasih sayang.
"Kamu jangan khawatir ya Sayang, Mamah kamu akan baik-baik saja, di sini ada Papah, dan Papah tidak akan membiarkan Mamah Kamu kenapa-kenapa."
Erick berusaha menenangkan hati kecil anaknya. Meskipun dirinya sendiri tidak tahu bagaimana cara menenangkan hati dan pikirannya sendiri.
Erick membawa sang Anak ke dalam dekapan pelukannya agar anak kecil itu berhenti dalam isakan tangis.
"Sudah, jangan menangis, Anak laki-laki tidak boleh menangis, Kamu harus kuat dong." Erick berusaha menghibur sang Anak agar tidak lagi menangis.
"Kamu tunggu di sini dulu ya, Papah mau pulang dulu ambil uang biaya rumah sakit, agar Mamah Kamu bisa segera dioperasi." Terang Papa Erick.
Arsen mengangguk kecil. "Iya Pah, jangan lama-lama. Arsen takut sendirian." Tampak wajah anak kecil itu menahan rasa takut dalam dirinya namun ia bisa mengendalikan semuanya.
"Iya, nggak akan lama kok. Mamah Kamu sebentar lagi juga sadar kok, Kamu jangan takut ya." Erick mengelus pipi sang Anak.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Arsen. Maka Erick langsung berlari menuju luar rumah sakit dan menuju ke rumahnya menggunakan mobil yang tadi ia bawa.
Erick mengendalikan mobil itu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Apa lagi kondisi jalanan saat ini sedang sepi, sehingga dapat meluapkan rasa dalam pikiran Erick.
"Uang apalagi yang harus Aku bayarkan untuk pengobatan rumah sakit?" Erick benar-benar dalam situasi membingungkan.
Bingung dengan semua keadaan saat ini. "Sudah tidak ada lagi uang yang Aku punya." Erick memijat pelipisnya dengan menggunakan tangan sebelah.
"ARGH!!"
Di sisi lain. Arsen celingak-celinguk melihat kanan dan kirinya yang kosong dan sepi. Hanya ada dirinya saja yang menunggu sendirian di luar ruangan UGD.
Papahnya juga masih belum kunjung kembali mengambil uang. Sedangkan Arsen sudah tidak kuat lagi menahan rasa takut dalam hatinya. Bohong jika Arsen tidak takut sendirian. Buktinya saja sekarang badan Arsen gemetar menahan rasa takut.
"Adek?
Seketika mata Arsen tertuju kepada seorang wanita memakai baju serba putih keluar dari dalam ruangan UGD. Dia adalah seorang perawat yang datang mengecek kondisi pasien.
Namun dengan keberadaan perawat itu membuat Arsen sangat terkejut. "Iy-iya kak?"
Tampak dari suara Arsen gemetar dan sedikit takut. Namun perawat itu malah mendekati Arsen dan duduk di kursi kosong sebelah Arsen.
"Itu yang di dalam Mamah Kamu, ya?" tanya sang Perawat.
Arsen mengangguk sedikit takut. "Iya Kak."
"Lalu kenapa nggak masuk buat lihat kondisi Mamahnya? Mamah Kamu sudah sadar di dalam." Perawat itu masih saja menunjukkan senyumannya agar bocah kecil didepannya tidak merasa takut.
"Yang benar, Kak?" tanya Arsen benar-benar bahagia mendengarnya.
Perawat itu kembali mengangguk. "Iya benar, Kamu boleh kok masuk ke dalam lihat Mamah Kamu."
Selepas mendengar itu Arsen kembali semangat dan menunjukkan senyum sumringah di bibir mungilnya. Namun kondisi hatinya masih sama saja, masih terluka jika tidak melihat kondisi Mamahnya benar-benar pulih dan sembuh dari rasa sakitnya.
"Iya Kak, Arsen mau lihat Mamah. Terima kasih banyak Kak." Arsen langsung turun dari kursi itu lalu berlari menuju masuk ke dalam ruangan UGD.
Dan ternyata benar. Wanita yang tadi terbaring dengan mata terpejam kini sudah kembali membuka matanya sambil merentangkan kedua tangannya sangat lebar.
"Arsen... Anakku, sini Nak." Mamah Alisha membuka kedua tangannya sangat lebar dan berusaha agar Arsen memeluknya, karena entah kenapa rasanya Mamah Alisha tidak bisa jauh dari sang buah hati.
Maka Arsen pun datang dan memeluknya. Entah kenapa Arsen tiba-tiba merasa bahwa pelukan Mamahnya kali ini ada yang berbeda. Dan rasanya sangat nyaman sekali, sehingga Arsen sendiri pun tidak ingin terlepas dari pelukan itu.
"Papah Kamu di mana, Nak?" tanya Mamah Alisha tidak melihat keberadaan suaminya.
"Papah pulang sebentar, Mah. Katanya Dia mau ambil uang buat bayar rumah sakit." Jawab Arsen.
Alisha seketika terdiam. Otaknya kembali memutar memori di mana suaminya tadi mengatakan bahwa perusahaan dalam kondisi bangkrut. Lalu sekarang, suaminya pulang dan mengambil uang? Alisha tahu jika suaminya itu berbohong kepada Anaknya.
"Maafkan Aku, Pah, Aku hanya membawa beban di dalam keluarga ini, dalam kondisi begini, Aku malah merepotkan mu." Batin Alisha.
Bersambung....