BRAK!!!
Dalam waktu bersamaan, Para Strix berhasil mendobrak masuk pintu laboratorium ini. Mereka membawa senapan, lalu menembakinya pada monster yang belum sempat membuat Shinku menjadi gepeng.
Meskipun Para Strix terkejut dengan pemandangan yang ada di depan sana, tangan mereka tidak berhenti untuk menembaki makhluk dengan wujud yang tidak jelas itu.
"Kyoukutei! Cepat hentikan percobaan ini!" titah Densuke.
Shinku berhasil selamat dari serangan monster berkat tembakan Para Strix. Dia terbatuk dan kini berada di posisi tengkurap sambil mengernyit mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan profesor.
Shinku menggertakkan gigi.
"Bagaimana caranya, prof! Para ilmuwan di luar sana sudah ditangkap oleh mereka, dan–"
Kesialan datang bertubi-tubi. Shinku sudah mengira eksperimen ini akan berakhir dengan malapetaka.
'Sial, kenapa aku harus mengikuti ucapan pria tua itu!' sesalnya yang percuma.
Dia mencoba untuk bangkit dari tengkurap. Terasa sakit di kakinya yang ternyata terkena reruntuhan bangunan, dia mengabaikannya.
"Tidak ada yang tidak bisa! Aku perintahkan kau untuk kabur dari tempat ini dan cepat cari penawarnya!"
Kekesalan muncul dari diri Shinku. Bahkan, dia tidak pernah diberi tahu penawar macam apa yang dimaksud oleh Densuke.
"Larilah ke ruangan sebelah! Disana terdapat larutan yang dapat melumpuhkan manusia abadi yang berubah menjadi monster– sial! Aku tidak menyangka ini benar-benar terjadi!"
Sambil menggerutu, Densuke mengambil alat-alat yang memungkinkan untuk melawan monster. Namun naas, Para Strix lebih cepat darinya.
Salah satu Strix berdiri tepat di belakang Densuke. Mengarahkan moncong senjatanya tepat pada kepala Densuke.
"Serahkan diri Anda, Profesor Kazetani," katanya.
Senyum terukir di bibir pria tua itu.
"Tidak tertarik dengan subjek di sana, huh?"
"Buat apa? Katakan penawarnya, kami akan mengatasinya. Lalu, kau akan kami tangkap."
"Begitu mudah kau bicara."
Densuke meletakkan tabung reaksi ke atas meja, lalu mengangkat kedua tangannya.
"Cepat katakan penawarnya–"
"Asistenku yang akan mengambilnya."
BRAK!!!
Pemuda yang telah berubah menjadi monster itu menyerang ke arah Densuke. Densuke dan seorang Strix itu terpental cukup jauh.
Tubuh rentanya tidak sanggup untuk bergerak. Darah keluar dari mulut Densuke dan sekujur tubuhnya gemetar.
Shinku yang hendak keluar dari ruangan itu membelalakkan matanya melihat Densuke yang berdarah.
"Profesor!"
"Lari … Kyoukutei!" teriak Densuke.
Namun, disaat Shinku berbalik untuk mengerjakan apa yang diperintahkan Densuke, dia mendapatkan masalah. Salah satu Strix telah muncul di depannya dengan kening mengerut.
Shinku tidak dapat berkutik. Matanya hanya bisa menatap getar pada manusia yang bertugas membasmi ilmuwan seperti dirinya.
"A–"
BRAK!
Lagi-lagi … entah itu keberuntungan atau bukan, kali ini monster menyerang ke arahnya dan seorang Strix itu berusaha untuk melindungi dirinya dan juga Strix itu sendiri.
Kesempatan muncul untuk Shinku. Dia akhirnya berlari sekencang mungkin untuk pergi dari ruangan tersebut.
Meninggalkan Densuke yang mungkin saja ditahan atau mati.
BLAR!!!
Shinku terhempas ke depan ketika laboratorium tempat ia tadi telah meledak. Dia menoleh ke belakang dan didapatinya api berkobar di tempat itu.
"Pro– Profesor!" teriak Shinku.
Kakinya kembali melangkah mendekati laboratorium itu, dia berdiri sedikit jauh. Menatap labor tempat mereka melakukan penelitian yang tidak manusiawi menjadi lautan api.
"Profesor …."
Pada akhirnya, Shinku pun terduduk lesu.
"Kalau tidak ada Anda, bagaimana cara saya mencari penawarnya … sedangkan labor ini sebentar lagi akan hancur …," lirihnya.
Kedua tangan Shinku bergerak menutupi wajah. Terus-menerus mengusap air matanya yang akhirnya keluar dari bendungannya. Dia terisak.
Tujuan mereka yang seharusnya mulia itu akhirnya berubah menjadi malapetaka.
"Apa tujuan kami ini salah?" tanya Shinku pada dirinya sendiri.
Monster yang ada di dalam labor itu mungkin saja telah hangus dibakar oleh api yang bercampur dengan zat kimia, beserta dengan para ilmuwan dan para Strix.
Bergegaslah Shinku untuk berdiri. Dia mengusap air matanya lagi.
"Aku harus bergegas dari sini, jika tidak– ledakan besar akan terjadi dan berimbas padaku," gumam Shinku, sambil terisak tangis.
[]
Seorang anak laki-laki dengan rambut berwarna hitam sedang bermain mobil-mobilan. Sambil terkekeh melihat mainannya dihantam satu sama lain, dia tiba-tiba terhenti ketika mendengar suara dentuman tidak jauh dari rumahnya.
Anak laki-laki itu menoleh. Mata besarnya melihat ke arah langit biru yang tertutupi oleh asap hitam.
"Ayah …?" tanyanya dengan senyum manis nan polos tersebut.
[]
Tidak jauh dari labor– jalanan yang setapak dan hanya bisa ia lalui dengan beberapa cara yang rumit, napasnya tersengal.
"Tak ku sangka, aku berhasil menghindari ledakan mengerikan itu …."
Darah terus mengalir di bahunya. Terkena reruntuhan dari ledakan yang terjadi akibat reaksi zat kimia. Shinku meringis kesakitan.
Tangan kanannya yang masih baik-baik saja itu menyentuh batang pohon yang cukup besar. Dia memegangnya dengan erat, lalu pandangannya lurus ke depan.
Penglihatannya mulai memburuk sampai membuat keningnya mengernyit untuk tetap fokus. Akan tetapi, dia berakhir dengan sekitarnya berubah menjadi gelap.
Shinku jatuh tersungkur ke depan. Untungnya, dia tidak terjatuh ke arah jurang yang ada di sampingnya.
Napasnya kian memburuk. Peluh keringat terus bermunculan. Padahal, hari ini akan memasuki musim dingin.
Shinku membutuhkan pertolongan untuk segera dibawa ke rumah sakit. Darah yang ada di bahu kirinya kian memburuk dan bisa saja paru-parunya telah banyak menghirup toksin.
Hingga, seseorang menghentikan langkah kakinya tepat di depan Shinku.
Sepatu hitamnya yang mengkilat dan celananya berwarna putih berhenti di depan wanita tersebut. Seorang pria berambut putih kebiruan yang rambutnya begitu lurus sampai ke pinggang, matanya berwarna biru terlihat dingin menatap Shinku. Mulutnya tipis diam membisu menyaksikan rambut Shinku yang coklat terkena darah.
Dia berjalan melangkahi Shinku. Mengabaikan wanita tersebut dan terus melangkah hati-hati agar tidak terjatuh ke jurang yang ada di sampingnya.
[]
Anak laki-laki itu terus menangis tersedu-sedu menanti ayahnya yang tak kunjung tiba.
Dia sendirian, menatap ke jalan dengan air mata yang terus membasahi pipinya yang telah memerah. Dia memegang selimut, dipeluknya begitu erat.
Matahari yang tadinya ia lihat kini telah berganti dengan rembulan. Tidak ada orang yang menemaninya lagi, mereka semua mengabaikan anak kecil yang malang itu sendirian.
Penantiannya selama berjam-jam seorang diri semakin membuat anak kecil berumur 4 tahun itu ketakutan.
Setelah berjamnya ia menanti kedatangan ayah, bukannya orang yang ditunggu lah yang tiba, seorang wanita berambut coklat dengan kacamatanya yang tebal datang dengan senyum yang berusaha untuk tetap manis.
"Ha– halo, anak manis …," sapa wanita tersebut.
Senyum yang tadinya perlahan terukir di bibir mungil anak laki-laki itu dalam sekejap hancur menjadi tangisan yang kian menguat.
Sedangkan pria tinggi berambut putih kebiruan itu terkekeh canggung melihat tingkah wanita yang ada di sampingnya.
"Kalau seperti itu, orang dewasa pun akan ngeri melihatmu," katanya.
Setelah melihat ekspresi dari sang wanita, dia segera mengalihkan pandangan pada anak laki-laki yang terus menangis tersedu-sedu.
"Nak," panggilnya.
Senyum manis muncul di bibir pria itu. Terlihat tenang, tapi sorot matanya begitu sendu. Seperti dia sedang bersedih akan suatu hal.
"Aku tahu ini berat bagi anak yang seumuran denganmu. Mulai hari ini, sebagai pengganti keluargamu, kau bisa menganggap kami berdua sebagai ayah dan ibumu," katanya secara langsung pada intinya.
Anak laki-laki itu menghentikan tangisannya. Meskipun terisak, kepalanya menengadah menatap pria yang tidak dikenal.
"Paman … siapa?"
Pria itu tersenyum. "Panggil saja paman ini sebagai ayahmu dan tante ini–"
Dia menjatuhkan pandangan pada wanita yang sedang melipat kedua tangan di depan dada.
"Panggil sebagai mamamu."[]