Tidak ada yang boleh merendahkan keluargaku, terutama pada ibu. Jika memang ada, maka bersiaplah mereka untuk kuhabisi.
"Monster! Monster menyerang!"
Salah seorang remaja laki-laki berteriak sambil tertawa terkikik-kikik mengataiku sebagai monster. Ujung jari telunjuknya mengarah tepat ke wajahku.
"Hii! Seram sekali! Monster ada di siang hari! Dia makin mengganas!"
Sedang temannya yang ada di belakang menambah bumbu panasnya.
Aku hanya bisa geram mendengar makian mereka. Terduduk dengan tubuh yang sudah tidak bisa dikatakan bersih lagi.
Di zaman yang mana manusia hidup berdampingan dengan monster– seharusnya, mereka tidak boleh mengucapkan kalimat pamali itu– setiap malam kami harus berlindung di dalam rumah.
12 tahun telah berlalu sejak insiden meledaknya sebuah laboratorium, membuat zat kimia menyebar ke sekitar. Mereka yang hidup di dekat sana, berubah menjadi monster akibat menghirup udara yang sudah terkontaminasi.
Aku mendengarnya dari guru mata pelajaran kimia yang selalu menceritakan insiden mengerikan tersebut.
Setiap pelajaran, beliau selalu menyelipkan insiden itu, lalu menyuruh kami untuk mencari solusinya. Untuk anak SMA seperti kami, yang belum mengetahui betul tentang kimia, bagaimana cara mengatasinya.
Bahkan, dua anak remaja yang ada di depanku sampai bolos dari kelas.
Byur!
Aku tersentak begitu mendengar suara guyuran jatuh menuju puncak kepalaku.
"Lihat! Rambut hitamnya berubah menjadi coklat! Apa ini yang disebut sebagai reaksi browning!?"
Browning matamu.
Memiliki iris yang coklat, sudut matanya yang tajam ke atas, terlihat sangat sipit sampai-sampai ketika dia tertawa matanya menghilang. Rambutnya berwarna pirang– aslinya berwarna hitam. Dia tidak peduli dengan teguran guru, bahkan kepala sekolah pun tutup mulut ketika ayahnya datang.
Bernama Haruto Takahashi. Sikapnya begitu kasar terhadap siapapun, sampai guru pun dibuat kewalahan.
Dan sekarang–
Minuman yang isinya telah bercampur-campur itu ada di puncak kepalaku. Membasahi rambut hitam legam dan entah bagaimana caranya minuman itu merubah warna rambutku menjadi coklat.
Dua orang di belakangnya memiliki ekspresi yang berbeda. Satunya tertawa terbahak-bahak, sedang satunya lagi hanya menatap dengan wajah datar.
Haruto mengambil kaleng yang ada di tangan temannya yang tadi tertawa terbahak-bahak. Dia melihat kaleng tersebut, lalu kembali terkikik geli.
"Gila! Parah sekali kau memberi pewarna di dalamnya!" ucap Haruto pada temannya yang berambut merah tersebut.
Tubuhku terdiam begitu mendengar pewarna yang baru saja cecunguk ini bilang. Kulihat tetesan air berwarna coklat yang jatuh dari ujung rambutku– memang terlihat seperti cat.
Enggan untukku mencium baunya.
Sialan.
"Apa sebaiknya kita potong saja rambutnya sampai botak?"
Sudah dibilang efek browning, sekarang mereka berencana untuk mencukur rambutku hingga botak.
Oh Tuhan, mau sampai kapan penindasan ini berlangsung? Jika Engkau bosan, maka sambarlah mereka dengan petir.
Namun, kilat terlihat jelas di belakang mereka. Bersamaan dengan gemuruh yang membuat tiga orang anak SMA itu terlonjak kaget.
"Sepertinya akan turun hujan," tutur laki-laki yang sedari tadi diam menonton penindasan ini.
Dia menengadah. Menatap langit yang berwarna kelabu, ujung rambut hitamnya bergerak begitu angin berhembus, lalu matanya yang ungu terlihat bosan dengan 'pertunjukan' yang dua temannya lakukan padaku.
"Sebaiknya kita pulang."
Dia menatap dua teman yang sedang cemberut. Laki-laki itu bernama Hanzou Ito. Aku tidak tahu informasi lebih jelas tentangnya.
"Huh? Tumben sekali kau menyuruh kami pulang. Kau takut?" tanya Haruto mengangkat sebelah alisnya– heran.
Sedangkan temannya yang ada di samping itu memiliki warna rambut merah– tentu saja itu cat rambut, aslinya berwarna hitam– itu juga ikut berkomentar.
"Jarang sekali dia menyuruh kita buat berhenti, padahal sedang seru-serunya main sama anak ini."
Namanya Saburo Sato dan dia menendangku dengan sepatu kets nya.
Haruto mengalihkan pandangan ke tempatku. Seolah dia tidak peduli dengan perkataan dua temannya.
Dia mendekatiku dengan tatapan sinis.
"Kenapa tidak sekalian kita suruh buat dia minum?" katanya.
Mataku sukses membulat begitu mendengar ucapan dari laki-laki kekanakan ini. Dan tentu saja dua orang temannya juga membelalakkan mata.
"Kau gila, Haruto?" sarkas Saburo.
Hanzou memundurkan tubuhnya, dan melipat kedua tangan di depan dada.
"Memangnya ada ide yang lebih menyenangkan dari ini?" tanya Haruto.
Haruto. Aku tahu kalau kau itu sedang bosan, tapi jangan sampai membuat anak orang mati.
Ingin rasanya aku mengatakan itu secara langsung, tapi mulutku sangat sulit digerakkan karena tinjuannya tadi pagi.
"Yah, aku tidak peduli dengan nasib anak itu," kata Saburo, mengedikkan bahu.
"Bagaimana denganmu, Hanzou?"
Haruto menoleh ke arah Hanzou, tapi pria itu seolah tidak peduli dengan perbuatannya. Hanzou memilih untuk membalikkan tubuh. Dia berjalan menjauh dan berkata,
"Terserah. Aku tidak ingin ikut campur."
"Dasar. Dia selalu berkata begitu," gerutu Haruto.
Aku melihat punggung Hanzou berjalan menjauh dari tempat ini. Sedangkan dua orang yang masih senang dengan kegiatannya kembali menatapku.
Terlihat kernyitan muncul di dahi Saburo.
"Apa sebaiknya kita potong rambutnya sampai botak?"
Namun, alih-alih mengiyakan perkataan laki-laki berambut merah, Haruto justru melangkahkan kakinya mendekat.
"Hei!" Tangannya meraih kerah kemeja putihku yang kini sudah lusuh.
Wajahnya sangat dekat. Sorot matanya begitu berapi-api.
"Ingat kata-kata ini jika kau tidak ingin mengalami hari yang sama!" teriaknya.
Aku mengangguk. Sulit bagiku untuk menjawab ucapannya dengan suara. Nafasku tercekat karena kerah bajuku sendiri.
"Masih berani menatapku!?"
Bukannya melanjutkan ucapannya, tangan laki-laki labil itu melayang meninju pipi yang tadinya sudah terluka.
Buak!
Satu tinjuan lagi-lagi mengenai pipi yang telah lebam.
Maunya apa!?
"Kau benar-benar galak kalau bicara tentang wanita," tutur Saburo yang sudah ada di sampingnya.
"Diam!" bentak Haruto.
Spontan, Saburo mengunci bibirnya dengan rapat. Dia mundur dengan kedua tangan terangkat.
Haruto dengan nafas tersengal karena emosi itu kembali menatapku.
"Dengar ini," ucapnya penuh penekanan. "Aku tidak peduli kau dan dia memiliki hubungan apa di masa lalu, tapi– jauhi dia mulai hari ini!"
Mataku seketika membulat begitu mendengar ucapan yang penuh dengan penekanan oleh Haruto.
Beberapa kali mengerjap kaget, lalu kembali ditinju olehnya membuat kesadaranku kembali.
Otakku mencoba untuk mensinkronkan apa yang baru saja diucapkannya, tapi kata 'dia terus membuatku gagal terkoneksi.
'Apa yang dikatakannya!?'
Seperti petir terdengar jelas di pendengaran, tapi sebenarnya tidak ada sama sekali, aku terus menatap Haruto dengan mata yang sudah cukup sulit untuk melihatnya.
Aku menarik nafas. Hendak menjawab ucapannya.
"Kau–"
Brak!
Sialan.
Belum sempat aku menjawab perkataannya, tendangan melesat tepat ke ulu hatiku. Punggungku menghantam tembok bangunan sekolah yang ada di belakang. Cukup keras hingga menghasilkan bunyi yang mengerikan.
Aku meringkuk sambil merintih kesakitan menahan sakit di ulu hati. Ujung sepatunya sangat keras– entah terbuat apa sepatunya itu.
"Sialan kau! Lambat sekali kau menjawab! Jangan-jangan kau berencana untuk membantah perkataanku, hah!?"
Aku belum sempat menjawab pertanyaanmu, bocah!
"Apa–"
"Haruto! Kita sudahi sampai di sini saja!"
Saburo meraih pundak Haruto. Mencengkram dengan erat hingga menarik perhatian Haruto untuk menatap tajam pada tangan itu.
"Kenapa?" tanya Haruto, tatapannya begitu sengit.
Berbeda dengan Saburo yang sedang menelan air ludahnya dengan susah payah.
"Langit sudah berubah. Jika kita tetap di sini– aku tidak ingin monster mengerikan itu datang. Zona merah akan tiba sekitar 2 jam lagi!" jelas Saburo pada Haruto.
Sinisan keluar dari mulut Haruto.
"Ha! Hanya dengan itu kau takut dengan mereka?" Tanya Haruto.
Namun kenyataan, Saburo mengangguk dengan wajah pucat. Keningnya bahkan sampai mengerut.
Decakan tidak mengenakan keluar dari mulut Haruto. Dia melepas kerah kemeja putihku dan mendorongku hingga aku terjungkal ke belakang– mengenai kantong plastik hitam yang berbau.
"Kali ini kau selamat, pecundang! Tapi untuk besok, aku tidak akan mengampunimu! Jika malam ini aku melihatmu, maka habislah kau!" ancamnya.
Dia berbalik, meludah ke sembarang tempat, lalu menyimpan kedua tangan ke saku celana. Sedangkan aku hanya mengerjap kaget melihat sikapnya yang ternyata dapat dikatakan sebagai anak mami.