Christbella menatap pesan di layar dan merasa jantungnya akan melompat keluar dari dadanya. Dia mengigit bibirnya dan mengetik balasan dengan tangan gemetar sampai dia kesulitan sendiri.
[Benarkah?]
Sebuah email balasan masuk satu menit kemudian.
[Iya.]
Christabella menangis tersedu-sedu melihatnya. Ia mencengkeram laptopnya dan menatap pesan itu berkali-kali seolah dia tidak percaya.
Mengetahui Gavin masih hidup, ia tidak bisa menahan perasaannya seolah setiap sel di tubuhnya bergetar karena kegembiraan. Dia meletakkan jari-jarinya di atas keyboard dan ingin bertanya sesuatu pada Gavin tapi dia tidak tahu harus bertanya apa. Dia sangat gembira sehingga tidak bisa mengetik apapun.
Pada saat itu, dia menerima pesan email lagi.
[Tunggu aku di apartemenmu malam ini.]
Dengan tangan yang masih gemetar, Christabella bersusah payah membalas.
[Iya.]
Ia mengatur nafasnya perlahan sebelum akhirnya berdiri dan melirik jam tangannya. Sudah sangat larut sebenarnya, tapi keinginan Christabella untuk bertemu Gavin sangat kuat, jadi dia mengabaikan semua itu dan menyambar jaketnya.
Ia keluar kamar dengan sangat hati-hati saat semua lampu di villa Emerald sudah padam, dia sedikit ketakutan dan menyalakan senter ponselnya menuju lift.
Pintu lift terbuka dan Christabella langsung bertemu dengan para ajudan Jenson saat dia tiba di lantai dasar. Dia dengan santai tersenyum dan menyapa mereka untuk sedikit berkilah, "Selamat malam, tolong antar aku pergi ke garasi dan siapkan satu mobil untukku."
"Nona mau kemana?"
"Siapkan saja, ini perintah Tuan Jenson."
"Baik Nona."
Christabella tersenyum penuh kemenangan saat para ajudan Jenson sama sekali tak curiga padanya.
Tak lama, mini cooper merah sudah ada di depannya dan Christabella langsung masuk ke mobil itu.
"Anda sendiri yang menyetir Nona?"
"Iya, kenapa? Kamu meragukan kemampuan menyetirku?" Christabella menatap tajam ajudan yang bertanya.
"Tidak Nona, hati-hati di jalan."
Christabella menyematkan seyuman sinis sebelum ia melajukan mobilnya dan keluar dari villa Emerald.
Begitu mobil sudah tiba di jalan yang jauh dari kawasan villa, Christabella menghela nafas lega. Tak menyangka ia bisa keluar dari Jenson dan mengunjungi apartemennya lagi untuk menemui Gavin.
Huh
Christabella menghela nafas sekali lagi dan melajukan mobilnya menjadi kecepatan penuh, ia benar-benar tidak sabar melihat Gavin.
Sepuluh menit berlalu, ia tiba di apartemen Santika dan langsung berlari menuju lift, kamarnya ada di lantai delapan.
5
6
7
8
Ting, pintu lift terbuka dan Christabella kembali berlari mencari unit apartemennya.
Ketika tiba di depan pintu, dia terengah-engah dan mengatur nafasnya sebelum menautkan jemarinya pada layar sentuh dan memasukkan pasword.
Tuut...
Pasword berhasil dimasukkan dan Christabella semakin deg-degan, ia memegang handle pintu dengan tangan gemetar dan membukanya pelan-pelan.
Pintu terbuka dan kamar apartemennya menyala, itu berarti Gavin sudah menunggunya di dalam.
Meski ada ketakutan di dalam dirinya, ia tetap masuk sambil memanggil nama Gavin.
"Gavin, aku datang. Dimana kamu?"
Pada saat itu pintu kamar terbuka dan sosok tinggi, kurus dan wajah yang rupawan menyambutnya dengan senyuman.
Christabella berhenti di tempatnya dan menangis tersedu-sedu. Ia menutup mulutnya dan menatap laki-laki di hadapannya tak percaya.
Apakah ini mimpi?
Christabella berharap tidak mimpi jadi dia menampar pipinya dengan sangat keras.
"Aw."
Rasa sakitnya nyata, jadi dia benar-benar tidak mimpi. Gavin yang ada di depannya tersenyum geli melihat tingkah kekasihnya, ia berjalan menghampiri dan kemudian memeluknya dengan sangat erat.
"Christabella honey, aku sangat merindukanmu."
Christabella menangis di pelukan Gavin dan ia kehilangan kata-katanya.
"Kenapa kamu menangis? Kamu tidak senang aku kembali?"
Gavin melepas pelukannya dan bertanya dengan lembut.
Christabella menggeleng cepat dan menghapus air matanya, setelahnya ia tersenyum haru dan memeluk Gavin lagi.
Gavin balas memeluknya dan mengusap lembut rambut Bella.
"Kamu tahu? aku tidak pernah mengalami kecelakaan."
Christabella terperangah kaget, ia melepas pelukannya dan bertanya pada Gavin dengan serius, "Benarkah?"
Gavin mengangguk dengan yakin, ia menggandeng Bella dan mengajaknya duduk.
"Makam yang kamu tangisi pagi itu hanyalah makam kosong."
Mata Christabella membulat sempurna dan ia dengan gugup bertanya, "M... Maksud kamu, seseorang sengaja melakukannya?"
Gavin tersenyum tipis dan mengangguk.
"Siapa yang melakukannya Gav?" Bella berubah sangat marah.
"Menurutmu siapa lagi?" Gavin menyilangkan tangannya di dada dan menyandarkan punggungnya di sofa dengan santai.
Christabella mengerutkan keningnya dengan keras dan ia masih tidak mengerti apa maksud Gavin.
Gavin tersenyum kecil dan ia berkata, "Jenson Alex."
"Jenson?"
"Ya honey, suamimu yang melakukannya. Dia menyuruh orang untuk menyingkirkanku dan membuat berita kematian untukku agar kamu melupakanku, tapi sayangnya hanya sampai itu saja kemampuannya. Aku bisa kabur dan menemuimu sekarang."
Christabella linglung sesaat karena dia tidak menyangka Jenson akan sampai melakukan hal sekeji itu pada Gavin.
Gavin tersenyum manis dan menyandarkan tubuh Christabella di pundaknya, menciumi keningnya dan kemudian bibirnya, tapi hanya ciuman sekilas.
"Yang penting sekarang aku ada di sini bersamamu."
Christabella hanya mengangguk dan memeluk Gavin dengan sangat erat hingga ia tertidur.
***
Pagi hari di apartemen Golden Swan.
Jenson terbangun karena dering ponselnya, nama Antonie tertera di layar dan ia menerimanya dengan malas-malasan.
"Ya, ada apa?"
"Nona Bella semalam kabur dari villa Emerald, Tuan."
Dia memijat pelipisnya dan membenahi duduknya.
"Periksa CCTV Kota dan temukan dia secepatnya." Jawab Jenson dengan suara yang lelah.
"Baik Tuan."
Jenson menutup telfonnya dan menghela nafas.
"Ternyata tidak mudah mengurus dua perempuan sekaligus," batinnya.
Ia bangkit dari duduknya dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelahnya ia pergi ke dapur untuk membuat sarapan sederhana.
Liora bangun saat Jenson selesai membuat sarapan dan menghidangkannya di meja makan.
"Seharusnya aku yang menyiapkannya Jens."
Jenson tersenyum kecil dan berkata, "Tidak masalah, ayo duduk dan kita sarapan bersama."
Liora mengangguk dan ia tiba-tiba merasa mual saat mencium aroma telur mata sapi di sandwichnya.
Huek huek.
Liora buru-buru meletakkan sandwichnya dan ia setengah berlari menuju kamar mandi. Jenson juga mengikutinya dengan panik.
"Liora, apa yang terjadi denganmu?"
Liora tak menjawab, ia sibuk mengeluarkan apa yang ada dalam perutnya di wastafel.
Jenson bingung apa yang harus ia lakukan, tapi ia merasa kasihan dengan Liora jadi dia menggosok punggung Liora dan membenahi rambutnya ke belakang.
Liora terengah-engah saat ia sudah selesai, ia merasa pusing dan tubuhnya sangat lemas, jadi dia memegangi wastafel agar tubuhnya tidak jatuh ke lantai.
Jenson kemudian berinisiatif menggendongnya dan mendudukkan Liora di sofa.
"Are you okay?"
Liora mengangguk lesu.
"Sorry aku tidak tahu kalau kamu alergi aroma telur mata sapi."
"Tidak apa-apa, aku juga baru mengalaminya. By the way terimakasih Jens."
Jenson tersenyum sangat tipis dan mengangguk.
"Lalu apa kamu ingin sesuatu sekarang? Aku akan membuatkannya."
Liora menggeleng dan ia dengan ragu-ragu berkata, "Aku... hanya ingin kamu menemaniku."