Jenson mengusap bagian tengah alisnya sebelum berkata, "Hanya diagnosis dokter, Tuhan bisa saja merubahnya lebih cepat."
Liora menghela nafas dengan sedih dan ia mengangguk. Jenson sangat iba padanya hingga dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memeluk Liora.
Liora sangat terkejut mendapat reaksi itu untuk pertama kalinya dari Jenson, jadi dia linglung sesaat sebelum balas memeluknya.
Jenson memeluk Liora dengan sangat erat dan penuh kelembutan, ia juga tak segan mengusap puncak kepala dan berkata, "Aku akan selalu ada di sisimu, menjaga janin itu hingga dia lahir dengan selamat, aku janji."
Liora tercengang dan ia dalam hati bertanya, "Apakah sesuatu terjadi pada Jaz?"
Liora melepas pelukan Jenson dan ia dengan sungguh-sungguh memohon, "Katakan padaku Jens, apa yang terjadi pada Jaz?"
"Jaz hanya butuh perawatan intensif di luar negeri, itu saja," jawab Jenson dengan ekspresi yang tenang.
"Benarkah?"
Jenson mengangguk di sela senyum tipisnya.
"Kamu tidak percaya padaku?"
Liora memaksakan senyumnya dan ia mengangguk sebelum bertanya, "Lalu Christabella?"
"Aku sudah pernah membahas itu padamu, kenapa kamu harus bertanya lagi?"
Entah kenapa Liora merasa lega, dan ia kembali memeluk Jenson dan berkata dengan suara yang manja, "Terimakasih Jenson."
Jenson hanya bergumam pendek, hanya ini yang bisa ia lakukan. Ia tidak tega jika harus berterus terang pada Liora, ia terlalu memikirkan janin yang ada pada perut Liora. Dia sudah kehilangan Jaz dan Jenson tidak ingin kehilangan keponakannya, apalagi itu adalah keturunan Jaz.
Dia berjanji dalam hati akan menjaga anak itu dengan baik seperti dia menjaga darah dagingnya sendiri.
"Aku sedang tidak terlalu sibuk sekarang, apa kamu ingin jalan-jalan?"
Liora melepas pelukannya dan ia menatap Jenson dengan senyumnya yang cerah sebelum mengangguk setuju.
"Kamu ingin pergi kemana?"
"Magnolya Resto."
Jenson langsung mengangguk.
"Bersiap-siaplah, aku tunggu di depan."
Liora mengangguk dengan penuh semangat. Sudah beberapa hari ini dia mengurung diri di apartemen untuk menghindari wartawan, tapi hari ini Jenson menawarinya mengajak jalan-jalan, betapa senangnya dia.
Liora sampai tidak peduli lagi dengan wartawan, jika Jenson sudah mengajaknya dia pasti sudah memikirkan konsekuensinya. Liora yakin Jenson pasti akan melindunginya, sama seperti Jaznya.
Sementara Jenson, begitu melihat Liora masuk ke kamar mandi, ia keluar dari kamar Liora dan menunggunya di ruang tamu. Dia duduk dengan ekspresi lelah sambil memainkan ponselnya lalu memutar nomor Christabella.
Panggilan terhubung sangat lama, namun pada akhirnya suara lembut khas Christabella mencapai telinganya.
"Aku pikir kamu akan mengabaikanku, kemana kamu semalam?"
"Tidur di apartemen lamaku. Kenapa? kamu juga pergi dan tidak mengatakan apapun padaku."
"Hmm, kupikir itu tidak penting bagimu."
"Tapi aku istrimu sekarang, seharusnya kamu berpikir lebih manusiawi." Christabella terdengar mengomel panjang lebar di seberang sana.
Membuat Jenson jengah sehingga menjauhkan sedikit ponselnya dari telinganya. Pada saat itu Liora keluar dari kamar.
"Aku sudah siap Jens, ayo kita pergi."
Jenson tersenyum canggung dan ia mengangguk. Ia menutup teleponnya begitu saja tanpa memikirkan Christabella.
"Ya, ayo kita pergi." Balas Jenson setelah menyimpan ponselnya ke dalam jasnya.
***
Di ruangannya di Bell's Florist, Bella duduk mematung tak percaya, ia tidak mungkin salah dengar, jelas-jelas tadi suara Liora.
Pada pemikiran itu hati Bella tiba-tiba seolah dicubit dengan sangat keras, ia merasakan sakit yang luar biasa padahal Gavin sudah kembali, harusnya dia mengikuti rencana Gavin untuk membalas dendam terhadap Jenson dan bersatu kembali dengan Gavin, tapi seolah-olah saat ini Bella justru sangat memikirkan Jenson, bisa dibilang ia cemburu terhadap hubungan Jenson dan Liora.
Menyadari ia salah dan tak seharusnya memikirkan Jenson, Christabella membuang pemikiran itu dan menghela nafas.
Namun semakin dia tidak ingin memikirkannya, suara Liora yang terdengar manja justru seperti kaset rusak yang berputar berulang-ulang di telinganya.
Christabella sangat kesal dan ia kembali menghubungi Jenson, tapi ia tercengang saat menyadri ponsel Jenson non aktif.
Itu artinya Jenson tidak ingin diganggu oleh siapapun saat bersama Liora. Christabella semakin marah hingga ia hampir melempar ponselnya.
Namun suara bariton yang begitu kharismatik mencapai telinganya dan membuat hatinya kembali tenang.
"Gavin, kamu di sini?"
"Iya, aku bosan di apartemenmu. Tidak boleh?"
"Bukan begitu, tapi apa kamu tidak takut anak buah Jenson..."
Christabella menghentikan kalimatnya saat ia menyadari telah menyebut nama Jenson yang beberapa detik lalu telah membuat hatinya campur aduk.
"Aku tidak sebodoh itu, tentu saja aku sudah menggunakan identitas lain saat berada di luar, lagipula mereka sudah melenyapkan nama Gavin Thompson, jadi mereka tidak akan bisa menemukan identitas itu lagi."
Christabella kurang fokus jadi dia tidak sepenuhnya menyadari maksud Gavin.
"Maksudnya kamu menyamar dengan identitas lain?"
Gavin mengangguk dengan santai dan ia tersenyum, ia kemudian mengulurkan tangannya pada Bella.
"Perkenalkan, aku Louis Sean."
Christabella tersenyum dan ia balas menjabat tangan Gavin seraya berkata, "Nama yang bagus, jadi mulai sekarang aku memanggilmu Louis?"
Gavin tersenyum dan mengangguk.
"Itu lebih baik. Lagipula apa kamu tidak menyadari kalau penampilanku juga berubah?"
Christabella memfokuskan dirinya dan ia baru sadar kalau Gavin berbeda dengan biasanya. Dia terlihat lebih arogan dengan setelan jas hitamnya. Seketika pikiran Christabella teringat akan penampilan Jenson yang monoton dan membosankan.
"Ah, Jenson lagi," batinnya.
Dia menepis pikiran itu cepat-cepat dan memuji Gavin, "Penampilanmu sangat keren Louis."
Gavin terkekeh pelan mendengarnya.
"By the way Gavin, kamu bisa masuk ke ruanganku secara pribadi sebagai Louis? Kamu bilang pada karyawanku ada urusan apa?"
"Membeli toko bungamu."
Bella menutup mulutnya karena terkejut.
"Kenapa sangat serius sekali?"
Gavin menyilangkan kakinya dan berkata dengan santai, "Kamu lupa rencana kita semalam?"
Ia menghela nafas sebelum mengangguk.
"Aku masih mengingatnya," ucap Bella kemudian.
"Baguslah, tanda tangani ini dan aku pemilik Bell's Florist sekarang."
Christabella menghela nafas sekali lagi sebelum akhirnya menandatangani dokumen yang sudah disiapkan Gavin.
"Gavin, tapi kamu harus ingat kalau ini hanyalah permainan. Bell's Florist tidak benar-benar milikmu. Aku membangun semua ini dengan susah payah." Bella mengingatkan Gavin.
"Aku tahu itu honey, kamu tidak percaya padaku?"
Bella bergumam pendek dan ia tiba-tiba berubah tidak bersemangat.
"Gavin, apa kamu yakin rencana itu berhasil?"
"Tentu saja, kenapa kamu jadi pesimis sekarang?"
Bella mengedikkan bahunya dan lagi-lagi suara manja Liora yang ia dengar tadi memenuhi pikirannya.
"Aku hanya takut Jenson tidak akan percaya padaku dan menolakku untuk bergabung dengan Alex Group, kamu tahu dia telah berubah menjadi orang yang sangat serius dan menakutkan."
"Kalau cara itu tidak berhasil, kamu harus bisa hamil anaknya."
"APA??"