Chereads / Memori Seorang Santri / Chapter 2 - Menetap

Chapter 2 - Menetap

Selamat membaca!

Suara lagu keberangkatan kereta api kini terdengar sendu di telingaku, entah mengapa perasaanku seakan kosong saat ini. Antara ingin pergi dan tinggal, aku sendiri tidak tahu apa gunanya ke pesantren. 

Lebih tepatnya, aku masih belum paham jika pesantren adalah sebuah sekolah untuk menimba ilmu agama dan mendalaminya. Meski saat itu aku dengar ayahku berbicara bahwa pesantren adalah sekolah tetapi aku berfikir bahwa pesantren hanya tempat aneh yang bukan sekolah.

Entahlah, aku sendiri juga turut bingung kenapa saat itu otakku terlalu dangkal memikirkan sebuah tempat bernama pesantren, padahal sewaktu sekolah aku tidak pernah keluar dari urutan 5 besar. 

Meski tidak terlalu pintar aku lebih sering mendapat rangking 3, juga di sekolah ngaji madrasah setiap sore, aku mendapat rangking satu.

Sebenarnya kala itu aku tidak terlalu paham pelajaran tetapi aku suka, aku suka belajar terutama belajar agama itulah yang membuatku bisa menduduki posisi pertama di sekolah ngaji. 

Cukup nostalgia rangking. Aku harus lebih memikirkan kehidupanku kedepannya, karena sebentar lagi aku akan di tinggal di sebuah tempat asing tanpa kedua orangtua.

Setelah turun dari kereta api, kami menaiki becak menuju ke pesantrenku. Cukup jauh dari stasiun, melewati beberapa pepohonan bahkan kampung-kampung. Hingga tiba di sebuah pondok berpagar besi dengan tempat tidur besi yang berserakan di halaman depan. 

Awalnya aku mengira kami berhenti di bengkel, tetapi aku salah. Ternyata itulah pesantren yang akan menampungku. 

Sunyi, tidak ada orang. Kami berhenti di halaman luas seperti orang bodoh, melirik kanan dan kiri dengan wajah bingung, hingga akhirnya seorang lelaki berperawakan tegap dengan jenggot tebal menghampiri.

"Anak baru ya, Pak?" tanyanya ramah kepada ayahku lalu menunjuk diriku. 

"Iya, pak. Bisa diletakkan dimana dianya ya, pak?" tanpa basa basi ayahku langsung bertanya perihal kamar.

"Ibu bisa kebelakang ke tempat akhwat untuk mengantarkan si adek sementara bapak tetap berada disini tidak boleh ke belakang." Ujarnya ramah, mengarahkan.

Aku menatap ayahku sekilas sebelum akhirnya berjalan melewati gang kecil yang sempit untuk menuju halaman luas dengan pohon mangga besar sebagai tempat penyambutan. 

Kami meletakkan barang-barangku di teras panjang di bawah pohon mangga. Ibuku duduk sementara aku berdiri menatap sekeliling. Aku melihat dari kamar paling ujung seseorang mengintip-intip ke arah kami sebelum kemudian memutuskan menghampiri kami.

Seorang perempuan tinggi kurus dengan rambut sepanjang pantat dan gigi yang sedikit maju itu tersenyum ramah.

"Darimana, bu?" tanyanya ramah.

"Dari Siantar."

"Oh.. Lumayan jauh juga ya, bu. Adek ini anak dikterapan kan, bu?"

"Apa itu anak dikterapan?" Ibuku balas bertanya dengan raut bingung. 

"Anak dikterapan itu bu, anak yang dibiayai pemerintah dengan gratis. Ibu datang kesini ingin anaknya sekolah secara gratis kan, bu?"

"Ah iya ... Iya ..."

"Kelas berapa, dek?" kini ia bertanya kepadaku. 

Belum aku menjawab ibuku sudah menjawabnya terlebih dahulu. "Kelas 5 sd."

"Ah sama dengan Eva, ya."

Aku hanya diam tidak menanggapi, aku tidak mengenal siapa itu Eva. 

"Ayo bu, ikut saya ke kamarnya adek." Perintahnya sembari membantu membawakan bantal dan gulingku. 

Kami berhenti tepat di kamar paling ujung dekat dengan jemuran, kamar yang bagus karena tampaknya baru di bangun bahkan aroma dari cat nya masih menguar. 

"Eva ... Eva ..." jeritnya memanggil nama yang katanya seangkatan denganku. 

Seorang perempuan berambut kriting berkulit hitam dengan badan tinggi besar keluar dari arah kamar mandi, menyugar rambutnya dengan gaya sok keren lalu tersenyum ramah kearahku. 

Pakaiannya piyama dengan celana pendek, nampak seperti anak kampung biasa dan bukan anak pesantren. 

"Mantap kali, ada kawanku." Ujarnya senang seraya menghampiriku lalu menyalami ibuku dan juga aku dengan sikap yang kelewat ramah yang terlalu dibuat-buat. 

Aku menjawabnya dengan senyum kaku. Aku hampir lupa menyampaikan satu hal, suara Eva besar memenuhi kamar sehingga yang awalnya tidak menyadari kedatanganku kini menoleh dan menghampiriku serta ibuku. Menyalami dengan santun satu persatu, menawarkan barang bawaanku dan mengangkatnya dengan cuma-cuma.

Dengan ramah pula mereka menjelaskan peraturan-peraturan pondok secara singkat, mengenalkan orang-orang yang akan berada di kamar yang sama denganku. Dan sebagian dari mereka melipati pakaianku, menyusunnya di dalam lemari dengan sigap dan rapi.

Aku hanya memandang takjub. Satu lemari dibagi menjadi tiga orang, aku mendapat tempat di urutan terbawah. Barang bawaanku yang terlalu banyak itu kandas setelah disusun. Saat mereka menemukan pakaian dalamku, mereka memandang ibuku dan aku dengan takjub.

"Kelas 5 sd sudah datang bulan, bu?" nada heran kental dalam pertanyaannya.

Membuatku merasa malu karena memiliki badan yang besar serta kesuburan yang nyata diturunkan secara turun temurun.

Ibuku tertawa sumbang, "Iya, tolong dijaga-jaga dianya, ya? Anak paling kecil nggak pernah kerja di rumah, main saja taunya. Nyapu pun nggak pernah apalagi nyuci baju ... Bla ... Bla ... Bla ..."

Ibuku membongkar semua aibku di tempat baru yang akan kutinggalin ini. 

"Lah!? Kalian perempuan-perempuan gini ngangkat galon!?"

Suara ibuku terdengar keras, memenuhi atap-atap kamar. Membuatku yang awalnya tidak terlalu fokus mendengarkan ibuku yang kala itu membuka aibku, ikutan menoleh ke arah Eva yang baru saja meletakkan satu galon penuh ke dalam kamar.

"Iya, bu. Jadi minum disini harus ngangkat galon dulu." Fathimah nama ketua kamarku, menjelaskan dengan ramah.

"Tolong jangan kasih Radif ngangkat-ngangkat galon seperti itu, ya. Dia belum pernah kerja di rumah, ibu takut ninggalin dia tapi ayahnya bla ... bla ... bla..."

Berlanjut lagi membahas hal yang tidak terlalu penting. 

"Suka Justin Bieber, ya?" tanya seorang perempuan berambut sedikit pirang yang tegang bercabang di hadapanku, sedari tadi ia memperhatikanku hingga akhirnya mulai mengajakku berbincang.

Aku menjawabnya dengan anggukan, sebelah tanganku menutupi mulutku. Itu kebiasaanku dari kecil bila berada di tempat asing, aku akan menutup mulutku sampai aku merasa nyaman berada di tempat itu.

"Pinnya boleh minta satu?" pintanya dengan malu-malu. 

Karena sebagai anak baru jiwaku terdorong untuk bersikap ramah aku kembali mengangguk, dia tampak senang. Sialnya perbuatan dia memicu yang lain meminta pin Justin Bieberku, hingga kandas tiada sisa.

Padahal sengaja tidak memakai pin-pin itu karena aku sayang, tetapi mereka tidak mempunyai hati dan tidak meyisakan satu untukku. Seharusnya mereka sadar aku tidak bisa menolak. Huh! Hatiku meringis melihat itu semua, tetapi wajah dan ucapanku sungguh muna.

"Iya nggak apa, ambil aja."

Cuih. Aku benar-benar menyesali keputusanku kala itu. 

Ibuku menginap satu hari, tidur denganku tepat di sampingku. Hingga keesokan harinya aku harus mengikuti mereka memasuki kelas, tepat setelah berada di kelaspun aku masih belum tau bahwa di pesantren adalah tempat untuk belajar. 

Ketika bel tanda istirahat berbunyi, aku kembali ke kamar dengan riang. Ingin mengatakan bahwa ternyata di dalam kelas tadi membutuhkan banyak buku, tetapi saat aku masuk bersiap bercerita kepada ibuku perihal di dalam kelas, kamar itu kosong. 

Barang-barang ibuku sudah tidak ada. Aku ditinggalkan tanpa mengucapkan kata pamitan, membuatku kecewa luar biasa. 

Aku merasa sendiri dan asing, hingga tanpa sadar kedua mataku berkaca-kaca, keinginan untuk melenyapkan diri dari muka bumi terasa semakin kuat.

Bersambung...