Chereads / Memori Seorang Santri / Chapter 4 - Awal Kedengkian

Chapter 4 - Awal Kedengkian

Selamat membaca!

Akibat kasus pencurian dan berakhir dihukum hingga jam tiga pagi, aku jadi semakin mudah mengantuk. Itulah mengapa azan shubuh lolos dari pendengaran telingaku.

"Dif ... Radif bangun ...."

Suara itu perlahan-lahan masuk ketelingaku dan dengan sangat perlahan pula menembus alam bawah sadarku. 

Ketika aku membuka mata, yang pertama kali kulihat wajah kak Rani. Anak dikterapan sama sepertiku yang mempunyai rambut hingga sepantat dengan gigi yang sedikit maju, bola matanya besar dan kelopak matanya tebal.

Ia tersenyum kearahku dengan kedua bolamata besarnya dan gigi-giginya yang sedikit maju dengan banyak khiasan berwarna kuning, membuatku terperanjat karena bukan hanya dia yang membuatku terkejut tetapi beberapa orang yang berada disitu melihatku sembari tersenyum-senyum.

Yang bisa kupikirkan hanya satu, aku mengences sehingga mereka membangunkanku dan menertawakanku. Seluruh badanku terasa lemas, malu luar biasa. Inilah yang paling kutakutkan bila tidur beramai-ramai seperti ini.

"Radif, bangun sholat shubuh sana." 

Dan kalimat itu sontak membuatku langsung terduduk, menatap mereka dengan kecewa. Kenapa tidak membangunkanku jika sudah masuk waktu shubuh. 

"Anti udah di bangunin dari tadi, tapi tetap nggak bisa bangun, yaudah sana cepat ambil air wudhu sebelum kak Halimah pergi."

Seolah bisa membaca isi pikiranku, seorang kakak kelas yang aku tidak tahu siapa namanya itu menerangkan, mencoba mencari pembelaan. 

Aku berlari ke kamar mandi, mengambil air wudhu dengan secepat yang kubisa. Untuk pengetahuan, bahwa sholat lima waktu disini wajib berjama'ah di Musholla. 

Dan ada absen untuk yang sholat ke Musholla, apabila haid akan diberi kartu merah lalu di absen dengan menulis huruf H. Jika kedapatan tidak sholat di Musholla akan mendapatkan hukuman, yang mengabsen adalah anggota dari ospim, yang bernama Halimah. 

Setelah selesai berwudhu aku memakai mukena lalu mengintip ke luar, sepi, sepi sekali. Bahkan jemuran baju masih kosong, padahal biasanya jemuran sudah penuh jika shubuh.

Dilarang keras menjemur pada malam hari, itulah sebabnya jika shubuh jemuran langsung habis tanpa sisa. Sebagian yang lain memilih menjemur baju di pohon mangga yang tidak berbuah, batang-batangnya dikelilingi banyak benalu dan tidak bisa lagi tumbuh menghasilakan buah.

Hari diluar masih sangat gelap, padahal ketika itu ada seseorang yang berbicara, "Sudah malam loh, kasian kalian kerjain anak orang." 

Aku dengar tetapi tidak merasa bahwa kalimat itu tertuju padaku, dengan takut-takut aku melangkah ke Musholla. Berharap kak Halimah pencatat absen masih berada di sana, lalu aku bisa memohon agar tidak membuat namaku absen dengan alasan ketiduran atau dengan alasan yang lebih pintar.

Dan harapanku pupus disaat itu juga, karena Musholla kosong tidak berpenghuni, dengan ketakutan aku kembali ke kamar.

"Gimana? Masih ada kak Halimah di Mushollah?" tanya salah seorang kakak kelas yang bernama Ade., dengan lemah aku menggeleng.

"Yaudah tidak apa-apa, anti sholat disini saja," usul kak Rani sambil cengengesan.

Gusti, padahal jelas-jelas mereka tertawa tapi saat itu aku masih belum sadar bahwa aku dikerjain. Tatkala aku sudah mengangkat kedua tangan untuk takbirotul ihram, kak Rani bertanya dengan nada geli. "Anti mau sholat apa, Dif?"

Mengerutkan dahi heran, aku menjawab dengan polos. "Sholat shubuh."

Sontak jawabanku membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal, dan aku masih diposisi semula. Berdiri bersiap-siap sholat sambil melihat mereka yang tertawa-tawa.

"Ini masih jam satu loh, anti beneran mau sholat shubuh?"

Jedarr! Seperti ada petir yang menyambar aku pun ikut tertawa, menertawai kebodohanku. Tetapi aku sama sekali tidak merasa marah malah aku merasa senang karena mereka menerimaku dengan baik, dan senang bisa melihat mereka tertawa. Bagiku sendiri, ini adalah momen lucu bukan termasuk dalam tahap pembulyan anak baru.

"Anti kan liat sendiri jemuran masih kosong, diluarpun nggak ada santri."

Yups, seharusnya aku berpikir kesana tetapi terlalu panik absen sholat shubuh sehingga hal-hal kecil tidak kupikirkan lagi. 

Malam kejadian ini akan selalu kuingat sebagai sambutan mereka terhadap anak baru, tetapi malam ini juga yang menjadi awal dari kebencian seseorang kepadaku. 

Karena masih sama-sama berada di kelas 5 sd, aku dan dia diperlakukan secara berbeda. Aku lebih dimanja oleh kaka-kakak kelas juga aku dekat dengan kakak kandungnya, menyebabkan ia menaruh dendam padaku.

Kejadian malam ini tidak terjadi padanya, itu yang membuat dia lebih memperhatikanku. Terlebih lagi, bukannya sombong tetapi aku lebih cantik darinya. 

Eva Ramadhani namanya, pemilik wajah batak dengan badan besar dan suara kuat. Dan dia juga tomboi tetapi ingin diperlakukan layaknya anak kecil seperti mereka memperlakukanku, diriku sendiri cewek tulen tanpa ada kesan tomboi. 

Terkadang ketika aku mensyukuri malam ini, di kemudian hari aku juga menyesalinya. Kenapa pada saat itu mereka mengerjaiku sehingga menimbulkan rasa iri dalam hati seseorang. 

Sejak ibuku melarang aku mengangkat galon, ketua kamar juga tidak pernah menyuruhku. Mereka sering menyuruh Eva, selain orangnya humoris ia juga kuat. Darah batak yang mengalir di dalam dirinya membuatnya mendapat julukan abang, dan dia turut bangga dengan julukan itu.

Ketika itu aku duduk di jendela, jendelanya cukup panjang dan belum diberi jerjak besi, sehingga siapapun bisa duduk disana. 

"Eva! Angkat galon!" teriak salah satu anak dikterapan. Waktu itu, aku belum terlalu mengenal nama-nama anak kamarku sendiri. 

"Ana ana aja yang angkat galon! Itulah disuruh, si manja! Taunya minum aja, ngangkat nggak pernah! Anak mamak."

Eva berbicara dengan suara keras yang sinis, tetapi aku tidak merasa hal itu ditujukan padaku. Seolah kedua telingaku tertutup, menganggap angin omongannya dan tidak terlalu perduli. 

Dia melewatiku dengan menghadiahi tatapan sinis, bola matanya berada di ujung mata dengan bibirnya yang sedikit miring membuat kesan sinis dan tajam kental diwajah bataknya. 

Sekali lagi, aku tidak perduli merasa ia tidak menujukan sikap permusuhan itu padaku. Saat itu yang berada di pikiranku adalah, aku anak baru dia tidak ada alasan jika ingin membenciku karena aku belum terlalu banyak membuat kesalahan. Lagi-lagi aku salah, dia membenci bukan karena kesalahan tetapi karena kepedulian orang-orang kedapaku.

Kak Rani mengusap pundak serta punggungku, ia berucap pelan. "Sabar ya dek, dia memang gitu orangnya."

Ketika itulah aku sadar bahwa ternyata ucapan Eva dan perlakuannya tertuju padaku, hatiku langsung berdenyut nyeri. Itu sebuah sindiran. 

Ada sedikit penyesalan juga mengapa saat itu kak Rani menyemangatiku, karena sejak saat itu juga aku jadi semakin sering menemuinya menyindirku, bersikap sinis padaku.

Herannya lagi, meski dia sangat membenciku dia juga berbuat baik dengan membantuku di banyak hal yang tidak kutahu. Aku sendiri juga tidak mengerti apa yang pantas dari sebutan pertemananku dan dia, ada masa dimana dia sangat membenciku dan ada masa dimana dia berbuat baik padaku. Hingga untuk membencinya kembali tidak bisa, sebab aku tau dia pernah berbuat baik.

Bersambung...