Chereads / Memori Seorang Santri / Chapter 3 - Pencurian

Chapter 3 - Pencurian

Selamat Membaca!

Sehabis sholat isya seluruh santri berkumpul di Musholla kecil, Musholla tanpa asbes yang apabila siang terasa amat sangat panas dan bila malam akan terasa sangat dingin. 

Tetapi karena terlalu banyak yang duduk di Musholla, dingin tidak terlalu kentara malah rasa panas yang mendominasi. Membentuk halaqoh dengan duduk membentuk formasi bulat. 

Aku tidak tau apa yang di bahas, aku juga tidak paham sejak tadi kakak kelas yang berada di tengah-tengah halaqoh selalu menyebut nama-nama yang tidak kukenali. 

Semua wajah yang berada di dalam Musholla tampak tegang, tetapi tidak denganku yang menahan kantuk dengan beberapa kali menjatuhkan kepalaku ke depan lalu terbangun, terjatuh, terbangun lagi. 

Seperti itu terus sampai anak dikterapan yang datang lebih awal dariku bernama Rani mengangkat satu tangannya.

"Kak, ada anak baru masuk kemarin. Dia tidak tahu apa-apa." tangannya menunjuk kearahku.

Membuatku seketika melebarkan mataku, rasa kantukku langsung hilang. Tepat saat jam 10 malam waktu untuk tidur, kami keluar dari Musholla dilanjut dengan berdiri di halaman dengan satu kaki dan tangan menjewer telinga.

"Oh iya? Yaudah anti kembali saja ke kamar." Perintah kakak ospim yang aku tidak tahu siapa namanya itu. 

Berhubung aku masih baru dan tidak tahu apa-apa, aku hanya diam di sana. Tidak beranjak pergi lalu tidur di kamar seperti yang diperintahkan.

"Dek, ke kamar aja sana. Ini bakalan lama." Kak Rani berbisik padaku. 

Aku menjawabnya dengan tampang bodoh lalu menggeleng pelan, "Tidak usah kak, aku mau disini saja, kok." 

Kak Rani tersenyum geli, aku tidak tau apa yang dipikirkannya. Tetapi jika ku lihat-lihat sepertinya dia menertawakanku yang terlalu bodoh diberi pilihan tidur tetapi malah memilih ikut dalam acara yang aku sendiri tidak tahu apa ini.

Cukup lama kami berada di dalam Musholla yang aku sendiri tidak tahu apa yang dibahas, tetapi sedikit banyaknya aku bisa mendengar mereka membahas tentang pencurian. 

Tepat jam 10 malam waktunya tidur kami digiring menuju halaman, berdiri dengan satu kaki dan kedua tangan yang menjewer kuping sendiri. Angin malam berhembus hingga membuatku sedikit menggigil. 

"Siapa diantara kalian yang mencuri!? jujur!" Seorang kakak kelas yang aku tidak tahu siapa namanya itu bertanya dengan nada membentak, membuat yang lain merasa ketakutan selain aku tentunya. Karena aku tidak tahu apa yang terjadi.

"Kalau kalian tidak mau mengaku, sampai pagi berdiri terus seperti ini!" 

Halaman itu langsung heboh dengan suara-suara protes yang diucapkan dengan nada pelan. Sebagian ada yang mengutuk maling sembari menyalah-nyalahkannya. 

"Jangan ada kakinya yang turun! kalau kami datang kaki kalian turun? Awas aja! kami mau tidur dulu."

Ustadzah serta kakak-kakak ospim melaju pergi memasuki kamar, benar-benar meninggalkan kami di halaman dengan satu kaki terangkat dan kedua tangan menjewer kuping sendiri.

Malam semakin larut dan banyak dari kami yang sudah lelah, mengabaikan amarah dari kakak ospim sebagian bahkan ada yang jongkok dan ada yang duduk. Tidak perduli jika celananya kotor akibat duduk di tanah.

"Siapa yang nyuruh duduk!? hah!?"

Baru saja aku ingin terlelap suara mengerikan itu datang, sontak membuat kami semua berdiri dalam posisi semula. 

"Siapa tadi yang duduk!?" tanyanya dingin dengan wajah bengis yang mampu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Membuat persendianku terasa kaku.

"Ha-hampir semua kak," jawab salah seorang dari kami.

"Yang duduk tidak boleh tidur sampai pagi! Kalian nanti satu persatu akan dites kejujuran, di dalam kamar ustadzah ada benda yang apabila kalian berbohong maka kalian kesetrum. Jadi kami bisa tau siapa pelakunya tanpa harus mengintrogasi."

Syarafku langsung menegang, aku langsung membayangkan di dalam kamar ustadzah ada tegangan listrik yang mengalir seperti air terjun, lalu ketika menyentuhnya tidak kesetrum bagi yang jujur.

Satu persatu kami di panggil menuju kamar ustadzah, kamar ustadzah berada tepat di depan Musholla. Mereka yang keluar dari kamar ustadzah langsung menuju ke Musholla dengan wajah tertunduk, tampak sedih dan hampir menangis. 

Berkali-kali ku lafalkan di dalam hatiku, aku tidak salah dan tidak akan terjadi apa-apa untuk menenangkan diriku. 

"Radif." 

Celaka aku! namaku dipanggil. Aku berjalan ke kamar ustadzah dengan melafalkan kekuatan bagi diriku sendiri. Ketika aku menginjakkan kaki masuk, aku tidak menemui adanya tegangan listrik seperti air terjun dalam khayalanku tadi, ternyata aku yang banyak mengkhayal.

Aku duduk dengan wajah tegang, dihdapanku ada ustadzah serta kakak ospim yang galak. Anehnya mereka malah ketawa-ketawa melihatku.

"Jangan tegang kali dek, nggak apa kok." Kakak yang berkulit putih dengan rambut pirang layaknya bule itu tersenyum manis padaku.

"Nah Radif, ini ada air yang duturunkan secara turun temurun dari generasi generasi sebelumnya, ini air keramat yang bisa langsung menditeksi kebohongan. Jadi semisal Radif meminum air ini dan lidahnya berwarna biru, maka Radif pelakunya."

"Minum airnya tetapi jangan di telan, ingat! kalau ditelan Radif bisa mati!"

Deg

Aku mengangguk dengan wajah pucat. 

"Tutupi matanya," perintah kakak yang bagai bule itu, di tangannya ada gelas yang akan di minumkan ke aku.

Kedua mataku pun ditutup, hingga aku tidak tahu warna dari minuman yang disodorkan ke bibirku. 

"Ingat jangan ditelan, nanti bisa mati."

Setelah air keramat itu masuk kedalam mulutku, kedua mataku langsung dibuka dan mereka berseru secara heboh.

"Cepat buang airnya! buang airnya ke kamar mandi." 

Aku langsung berdiri menuju pintu keluar, tatapi langkahku terhenti ketika mereka kembali berteriak dengan terkekeh.

"Hei, bukan disitu kamar mandinya, tetapi di belakang."

Mendengar itu aku langsung berlari ke pintu belakang yang ternyata adalah kamar mandi. Aku membuang air di dalam mulutku lalu mereka menyuruhku berkaca. 

"Jika lidahnya berwarna biru maka itulah pencurinya."

Dan ... seketika aku langusng shock. Lidahku berwarna biru, aku menatap kearah semua kakak kelas yang berada di ruangan itu dengan wajah pucat.

"Oh ... jadi Radif pencurinya." Ujar mereka mengangguk-anggukkan kepala.

"Jadi gimana ini, ustadzah? hukuman apa yang mau kita berikan?"

Aku mengangkat kedua tanganku. "Ustadzah, ana beneran nggak nyuri," ucapku membela diri. 

Aku baru satu hari berada di pondok ini, bagaimana bisa aku mencuri!? 

"Yasudah kami tau kok, anti nggak mencuri. Sekarang pergi ke Musholla dengan kepala tertunduk pura-pura sedih, ya."

Aku mengangguk senang dan berjalan ke Musholla dengan kepala tertunduk seperti yang di arahkan. 

Di Musholla banyak yang tertidur, wajar saja kelelahan sekarang sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Kami berdiri selama 5-6 jam dengan kaki yang terangkat. 

Aku pun turut merebahkan diriku lalu tertidur dengan pulas. Hingga semua sudah selesai di uji dengan air keramat, kami kembali kumpul di Musholla. Kakak ospim memberi arahan yang aku mendengarnya sayup-sayup.

Sewaktu kembali ngumpul di Musholla aku masih tertidur, enggan untuk bangun tetapi aku dengar ketika ada yang ingin membangunkanku, kakak ospim malah menjawab, "Jangan di bangunkan, biarkan saja dia tidur, kasihan."

Hatiku bersorak mendengarnya dan melanjutkan tidurku sampai semua bubar dari Musholla, aku dibangunkan untuk berpindah ke kamar. 

Dengan semangat aku melanjutkan tidurku, hingga ku tau setelah beberapa hari di pondok ternyata air keramat itu hanyalah air perwarna baju yang akrab disebut dengan belau.

Siapapun itu jika sudah meminumnya lidah akan membiru, bukan yang bohong maupun yang bohong.

Bersambung...