Diandra menyentuh layar handphonenya, dia menghubungi nomor Rafli tapi pria itu sama sekali tidak menjawabnya. Hanya ada nada dering tersambung yang tak kunjung di angkat juga.
"Kok gak diangkat ya? Apa masih di jalan? Tapi kan pasti kedengeran kalau ada telfon, dia bisa minggirin dulu mobilnya terus terima telfon dari aku, atau ... jangan-jangan ... dia marah lagi sama aku karena tadi dia abis di pukul sama Papa, sama Mama juga," gumam Diandra. "Jangan-jangan dia nyesel karena tadi dia udah jalan terlalu jauh, dia nyesel udah bilang begitu sama Mama sama Papa juga."
Diandra duduk di tepi ranjang dan memejamkan mata. "Kalau Rafli beneran nyerah dan nyesel gimana? Terus dia gak mau sama aku, aku harus kayak gimana? Mana Mama sama papa udah tau lagi kalau aku hamil. Ck! Aku harus gimana setelah ini? Kalau mama sama papa nyuruh aku untuk gugurin anak ini gimana? Kalau mereka gak mau terima anak ini gimana? Atau ... kalau misalnya mama sama papa tetep biarin anak ini lahir tapi sesudahnya mereka buang anak ini gimana? Ck! Aku gak tega! Walau kelakuan bapaknya kek setan, tapi kan anak ini gak berdosa, ya masa aku harus korbanin dia." gumam Diandra, dia menunduk dan memejamkan mata bingung harus bagaimana.
Diandra lalu berbaring di atas ranjang, dia berbaring menyamping dan menatap lurus, bulir bening kristal keluar dari matanya.
Lalu tak berselang lama kemudian, suara dering handphone terdengar. Diandra sontak langsung bangun dari duduknya, dia mengambil handphone dan langsung menatap layar handphonenya.
"Rafli," gumam Diandra saat membaca nama yang tertera di layar handphonenya, dia sontak langsung menggeser panel hijau di layar itu dan menempelkan handphonenya di telinga. "Halo, Raf? Kamu gak pa-pa?" tanya Diandra seraya menyeka air mata di matanya.
[Aku gak pa-pa, kamu tadi nelfon aku berkali-kali, kenapa? Kamu gak dipukulin kan sama mama-papa kamu setelah aku pulang tadi?] tanya Rafli dari seberang telefon sana.
Diandra yang mendengar Rafli berbicara dengan nada yang terdengar khawatir itu menelan salivanya, dia berpikir terlalu jauh tadi.
'Dia masih peduli sama aku ternyata, aku yang terlalu nethink sama dia ternyata, nyatanya dia masih mau sama aku,' batin Diandra berucap, 'Padahal dia udah banyak menahan sakit demi aku, tapi bisa-bisanya aku mikir yang enggak-enggak, padahal dia udah tulus banget sama aku.' batin Diandra berucap, matanya mulai berkaca-kaca saat memikirkan semua yang sudah terjadi. 'Maafin aku, Raf ... aku janji sama kamu, aku gak akan pernah sia-siain kamu, gak akan pernah mengkhianati ketulusan kamu.'
[Dii? Diandra? Kok malah diem sih? Kamu gak pa-pa kan? Kamu gak di apa-apain kan, Dii? Kok malah diem sih? Ngomong dong, Dii ... jangan bikin aku khawatir.]
"Enggak, aku gak pa-pa kok, Raf ... ini aku udah di kamar," ucap Diandra dengan nada yang gemetar menahan tangis.
[Serius? Kamu gak pa-pa? Kok kayak mau nangis? Jujur sama aku, kamu kenapa?]
"Iya, aku serius kok, Raf ... aku gak pa-pa ... ini tadi kamu kok lama? Dari tadi aku telfonin kamu loh, aku pikir kamu—"
[Menjauhi kamu setelah semua yang terjadi tadi?]
Rafli menyela ucapan Diandra hingga membuat Diandra terdiam.
[Aku sudah berjalan sejauh ini, Dii ... mana mungkin aku menyerah! Aku gak angkat telfon kamu karena tadi kan aku lagi di jalan, tadi begitu aku mau ke rumah kamu, HP aku, aku silent. Takutnya pas kita lagi ngobrol sama orangtua kamu ada yang telfon kan gak lucu, terus aku lupa deringnya gak diubah lagi makanya pas kamu telfon gak kedengeran dan ini aku baru aja parkir di basement apartment. Masih di dalem mobil malah, kamu kenapa? Pasti ada yang gak baik-baik aja kan?]
"Setelah kamu pergi semua baik-baik aja kok, Papa sama Mama aku langsung masuk ke kamar dan aku tadi ngobrol sama Dennis," ucap Diandra.
[Ngobrol sama Dennis? Ngobrol apa?] tanya Rafli yang berada di seberang telepon sana.
"Ini alasan aku telepon kamu, aku mau bicarain apa yang Dennis omongin ke aku tadi sama kamu," ucap Diandra.
[Ya udah, cerita. Dennis ngomong apa?]
Diandra menoleh melihat ke arah pintu, dia berjalan ke arah pintu dan memastikan kalau pintu kamarnya sudah tertutup rapat, dia lalu berjalan ke arah balkon dan keluar.
Diandra memejamkan mata, dia menarik napas, menghirup udara angin malam dan mengembuskannya. "Dennis tuh mikirnya kita dijebak," ucap Diandra.
[Dijebak? Maksudnya dijebak gimana?]
"Tadi tuh kan aku berkali-kali bilang kalau kamu gak bersalah, terus tadi aku juga hampir aja keceplosan kenapa kamu gak salah, aku bilang kalau dia yang salah! Bukan kamu, dia yang aku maksud itu Andra kan, aku hampir aja keceplosan nyebut nama dia."
[Hah? Kamu keceplosan nyebut nama dia? Terus? Gimana? Kok bisa sih sampe keceplosan? Dii—]
"Aku belum selesai bicara Rafli, dengerin dulu kenapa sih," ucap Diandra memotong ucapan Rafli.
[Ya udah, apa? Terusin.]
"Aku keceplosan hampir bilang semuanya tapi enggak kok, aku gak ada sebut nama Andra, jadi masih aman, cuma tuh karena keceplosan itu, Dennis mikirnya kita dijebak sama orang yang aku sebut dia."
[Maksudnya gimana? Aku masih gak paham sama maksud kamu, Dii.]
"Aku kan bersikukuh kalau kamu itu gak salah dan yang salah itu dia, terus aku juga sempet keceplosan menyalahkan dia. Jadi Dennis tuh berpikirnya kalau kita dijebak sama orang itu untuk melakukan hubungan itu." Diandra lalu menceritakan semua yang tadi dia bicarakan bersama dengan Dennis pada Rafli. Dia bercerita sedetail mungkin pada Rafli. "Si Dennis tuh mikirnya terlalu dramatis. Tadi aku tidak mengiyakan ucapan dia atau mengtidakkan, tapi aku yakin dia yakin banget kalau ceritanya kayak begitu. Dan aku juga yakin kalau dia pasti sekarang lagi jelasin sama orangtua aku."
Rafli tak mengucapkan sepatah katapun saat Diandra bercerita.
"Raf? Kamu masih di sana kan? Kami dengerin aku kan?" tanya Diandra saat tak ada jawaban dari Rafli.
[Iya aku denger kok, Dii.]
"Terus sekarang gimana? Apa kita jujur aja? Kita bilang yang sebenernya terjadi kayak gimana," ucap Diandra.
[Enggak! Jangan!]
"Kenapa?" tanya Diandra.
[Justru bagus, Dii, kalau Dennis berpikir seperti itu, kita jadi tidak perlu banyak berbicara. Kita juga jadinya tidak terlalu disalahkan sama orangtua kamu, karena mereka berpikir ini bukan kemauan kita. Jadi udah ... biarin aja Dennis berpikir seperti itu, biarkan orangtua kamu juga berpikir seperti, biar kita tidak perlu banyak mengucapkan kata.]
Bersambung