Chereads / ARKALA / Chapter 27 - Ancaman Mandi Di Sekolah

Chapter 27 - Ancaman Mandi Di Sekolah

"Emangnya sejak kapan gue takut sama lo? Apa lo lupa, kalau selama ini gue nggak pernah takut sama siapa pun?"

Arkala mendengkus kesal. Semakin hari, Arsena semakin keterlaluan. Di saat semua orang takut dan menghargai dirinya, wanita itu justru selalu mencari masalah dan berujung dengan perdebatan yang kadang terdengar sepele.

"Gue mau piket, anjir. Kenapa lo malah ngambil sapu gue?"

"Piket?" Gadis belia itu tertawa meremehkan. "Baru tahu gue, kalau anak dari yang punya sekolah piket."

"Emangnya kenapa? Ada masalah? Justru bagus, dong. Itu artinya gue nggak manja. Makanya, jangan pernah menilai seseorang dari luarnya doang!"

Bibir Arsena mencebik beberapa kali. Mengesalkan sekali memang, punya teman seperti Arkala. Dan anehnya, kenapa semua gadis menyukai lelaki itu?

"Tapi sayangnya, hari ini gue juga piket. Dan yang pertama kali liat sapu ini tuh, gue!" Arsena membuang wajah dan berlalu begitu saja, dengan sebuah sapu di tangan kanannya.

Gadis berambut panjang itu mulai membersihkan kelas dari mulai barisan paling belakang. Sebagai anggota kelas yang baik, tentu saja dia tidak boleh lalai pada tugas dan kewajibannya.

Biasanya orang-orang akan mengerjakan tugas piket mereka di sore hari, sepulang sekolah. Namun, Arsena sengaja mengambil jadwal pagi, karena dia akan sudah berjanji untuk menemui Rangga sore nanti.

Hubungannya dengan Rangga semakin dekat, setelah insiden kursi dan berakhir dengan bertukar nomor ponsel.

"Lo kenapa, sih? Cewek-cewek biasanya ngambil jadwal piket sore. Lo kenapa malah pagi? Emangnya nggak takut keringetan?"

"Keringetan itu manusiawi," sahut Arsena tanpa menoleh. "Lagian badan gue wangi, kok. Kalau misal bau keringet, tinggal mandi aja di toilet sekolah."

Jawaban Arsena berhasil membuat Arkala dan teman-temannya melongo. Seumur mereka sekolah di sana, belum pernah ada siswi yang berani mandi di toilet sekolah.

Bukan karena tempat itu berhantu. Tapi, kebanyakan dari mereka lebih memikirkan imej. Apalagi yang mereka injak itu adalah sekolah paling besar dan terkenal.

"Lo gila, ya?" cercah Gavin. "Lo suka mandi di toilet sekolah?"

Arsena menghentikan kegiatannya dan memutar bola mata malas. "Emangnya kenapa, sih? Apa yang disebut gila, coba? Toilet itu disediain bukan cuma buat buang air kecil atau besar doang. Kalian tahu fungsi toilet gak, sih?" Gadis itu menatap ketiga lelaki di depannya. "Gue udah bayar mahal-mahal buat sekolah di sini. Jadi sayang aja, kalau semua fasilitasnya nggak digunakan dengan baik."

"Sinting lo!" Arkala mulai frustasi menghadapi Arsena. Wanita ajaib itu selalu berhasil membuat kepalanya berdenyut tidak percaya.

"Bos, kayaknya lo harus ngomong sama bokap lo deh, supaya kamar mandi di sekolah ini jangan pake shower. Entar yang ada, Arsena malah sengaja nggak mandi dari rumah."

Arkala langsung terdiam, mencerna apa yang baru saja Gavin bisikan padanya. Pemuda itu melirik gadis aneh di depannya dengan kening berkerut dan ekspresi julid bukan main.

"Lo jangan mandi di sekolah ini lagi!" celetuknya tiba-tiba.

"Lha, emangnya kenapa? Ada masalah sama lo? Lagian gue mandi di toilet cewek, kok."

"Y-ya jangan! Pokoknya jangan. Atau gue bilang bokap, supaya kamar mandi di sekolah ini direnov ulang!"

"Sena, ada Rangga di depan."

Arsena menoleh ke arah jendela dan melihat seorang lelaki tengah melambaikan tangan padanya. Gadis itu tersenyum lebar, lalu menyerahkan sapu di tangannya pada Arkala.

"Heh, kenapa malah dikasih ke gue?!"

"Lanjutin, Kal. Katanya lo mau nyapu juga!"

Semua mata tertuju pada Arsena yang berlari menghampiri Rangga. Mereka terlihat berdiri di depan kaca jendela, yang otomatis bisa dilihat oleh seisi kelas.

"Si Rangga gercep juga, ya," ucap Gavin, sembari menggeleng takjub.

"Itu namanya gentlemen." Alvaro tumben sekali bersuara. Mungkin karena sudah bertemu dengan Kinan.

"Tapi gue denger-denger, si Rangga itu plabyboy di sekolah ini deh. Kalian inget, nggak, waktu kelas sepuluh ada cewek yang nangis di lapangan karena diselingkuhi Rangga?"

Gavin mengangguk antusias, dengan bola mata membulat. "Iya gue inget. Kalau nggak salah, cewek itu nangis sambil guling-guling."

"Bener!" Matteo menjentikkan jarinya.

"Terus cewek itu ke mana sekarang?" Arkala tidak terlalu memperhatikan orang-orang di sekitarnya sejak dulu. Makanya dia tidak tahu, seperti apa riwayat percintaan kapten tim basket sekolah mereka.

"Dia pindah sekolah, Kal. Karena nggak tahan dibully."

"Dibully?"

Matteo mengangguk. "Dia dibully sama cewek barunya si Rangga. Lo tahu sendiri lah, cewek kalau udah cemburu dan ngerebutin cowok itu kayak gimana."

Arkala mengerti sekarang. Dia langsung menoleh pada dua orang berlainan jenis yang masih berbincang sambil tertawa di luar sana.

Jika melihat dari ekspresi wajah Arsena, gadis itu sepertinya mulai terpesona dengan ketampanan Rangga. Yah ... siapa juga yang tidak tertarik pada ketua tim basket?

Selain tampan dan mempunya bentuk badan idealis, mereka juga terkenal. Bayangkan saja, jika Arsena menjalin hubungan dengan lelaki itu, sudah pasti namanya akan dikenal hingga seluruh sekolah.

"Lo lanjutin."

Gavin melongo di tempatnya, sembari menatap gagang sapu yang tiba-tiba diberikan padanya. Sedangkan si pelaku, pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan.

"Gue nggak lupa kok. Emangnya ... lo mau ngajak gue ke mana?"

"Jalan-jalan aja, sih, sebenernya. Sekalian mampir ke toko buku."

"Ekhem!"

Arsena dan Rangga menoleh ke belakang. Gadis itu menatap sengit lelaki yang saat ini tengah melangkah ke arah mereka.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Arsena, dengan nada sinisnya.

"Nggak. Sebagai orang yang bertanggung jawab di kelas kita, gue cuma mastiin aja, kalau kalian nggak melakukan hubungan yang nggak senonoh."

"Idih, lo apaan, sih?" Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada. "Gue sama Rangga cuma ngobrol. Dan dia, bukan cowok brengsek seperti yang lo pikirin."

Arkala memberi senyum mengejek, sambil menutup mulutnya dengan tangan. "Gue tahu. Tapi, isi hati dan kepala orang, siapa yang tahu?" Dia menatap Rangga dengan sorot dingin, namun terlihat jelas, kalau Arkala tidak menyukai Rangga.

Pemuda yang ditatap seperti itu pun hanya bisa tertawa dan menepuk bahu kanan Arkala, meski langsung ditepis oleh lawan bicaranya.

"Lo tenang aja. Gue nggak ada maksud apa-apa sama Sena. Kita cuma mau keluar jalan-jalan dan nyari buku. Apa itu salah?"

"Nggak, sih. Tapi gue cuma mau ngingetin, kalau kalian jangan terlalu sering berduaan. Nanti ada yang fitnah, terus marah-marah dan ngaku diselingkuhin."

Kening Arsena berkerut seketika. Dia melirik dia lelaki di depannya bergantian. Sebagai seorang siswi baru, dia tentu saja tidak mengerti dengan apa yang Arkala katakan.

"Lo tenang aja. Gue nggak punya cewek," ucap Rangga sambil tersenyum penuh maksud. "Sena, gue balik kelas dulu, ya. Nanti sore gue jemput ke sini."

Arsena tersenyum dan mengangguk. Dia memperhatikan punggung Rangga yang semakin menjauh.

"Disamperin cowok cakep, baru nyengir. Emang ya, semua cewek itu sama aja."