Chapter 8
Sore harinya kemudian. Kenzo belum juga menutup Restoran karena pelanggan masih ada yang datang berkunjung. Kenzo memasakan makanan dan Juna berdiri di samping pintu sambil mengucapkan selamat datang ketika ada pelanggan yang masuk.
Febee duduk diam di kursi dapur, usaha Kenzo tampaknya di bantu satu pekerja wanita muda yang masih duduk di bangku SMA. Dia Lidia, gadis cantik dan petakilan yang sebulan lalu melamar kerja paruh waktu di Restorannya.
"Mau pesan apa Ibu? Disini ada bla bla bla bla-" Lidia menjelaskan pada salah satu pengunjung Restoran.
Kenzo tersenyum saat tak sengaja melihat semangat Lidia dalam bekerja, siswi SMA tersebut adalah tetangga Kenzo juga sebenarnya dari dua bulan lalu.
"Lidia!" Panggil Kenzo.
Lidia menoleh dan segera berlari kecil menemui Kenzo. "Apa Bang?" Tanya Lidia.
"Antarkan pesanan ini ke meja nomor 7." Suruh Kenzo menyodorkan dua piring berisi menu dalam satu nampan.
Lidia mengangguk dan menerima nampan tersebut lalu berjalan hati hati ke meja yang dituju. Dari nama Lidia adalah tokoh antagonis, tapi di cerita ini Lidia merupakan tokoh menarik selain tokoh utama. Alasannya? Rahasia.
Pandangan Febee tak lepas dari gerak gerik kekasihnya, sedari awal gadis SMA itu datang bekerja Febee sudah tidak suka. Febee melihat Kenzo seakan nyaman dan menyukai Lidia. Terlihat dari senyuman yang sering lelaki itu lontarkan diam diam untuk Lidia dari kejauhan.
Saat bersamanya justru Kenzo irit sekali senyum, bertahun tahun dia menjalin hubungan dengan Kenzo tapi tetap saja hasil perkembangannya nihil.
"Jaga matanya!" Tegur Febee pada Kenzo yang tak henti memperhatikan Lidia sedari gadis itu bekerja.
Kenzo menoleh heran ke arah Febee. "Dasar cemburuan.." Cibir Kenzo lalu lanjut memasak pesanan makanan.
**
Petang tiba, Restoran sudah tidak seramai disiang hari. Kini mereka berempat berkumpul di satu meja, dengan Febee yang dari tadi tak lepas bergelayut di lengan kekasihnya.
"Usaha kita tak sia sia Bos! Uangnya banyak dan tidak seperti kemarin kemarin." Ujar Lidia tersenyum senang melihat itungan pendapatan hari ini lebih banyak dari hari sebelumnya.
Kenzo tersenyum, dia menyimpan uang hasil pendapatan hari ini ke dalam kaleng kue kosong. "Iya, syukurlah." Fuji Kenzo pada Tuhan.
Febee tersenyum, dia sangat bersyukur memiliki kekasih pekerja keras seperti Kenzo. "Sayang.." Panggil Febee.
Kenzo menoleh malas. "Apa?" Meski ekspresinya seakan terpaksa, tapi terlihat Kenzo masih sempat menyahut.
"Anterkan aku pulang sekarang ya, bibi Lim pasti khawatir sekali karena aku tidak pulang pulang dari kemarin. Aku khawatir dia mencari ku," Pinta Febee.
"Siapa suruh kau menginap di sini? Pulang ya pulang saja," Sahut Kenzo.
"Kak Lilan tidak boleh begitu, kacian kak Febee pulang cendilian." Juna ikut nimbrung.
"Tuh.. Juna saja pengertian, masa kamu sebagai pacar tidak? Anterkan aku pulaaaaaang.." Rengek Febee.
"Iya iya!" Kenzo kesal.
Febee tersenyum senang lalu melirik Lidia sinis. "Apa kau?" Tanya Febee ketus.
Lidia yang tadinya hanya menonton langsung memalingkan muka, pacar Bos nya ini galak sekali. Sepertinya dia takut Lidia merebut Bos dari nya, padahal Kenzo jauh sekali dari kata type idealnya.
"Kau mau pulang kan? Ayok!" Lerai Kenzo sebelum ada perang dunia antar wanita.
Bibi Lim adalah Ibu dari Morgan. Kedua orang tua Febee sudah tidak ada semenjak dia dilahirkan di dunia, maka sebab itu dari kecil dirinya diurus oleh keluarga kakak dari Ibunya. Morgan adalah anak dari bibi Lim. Lebih tepatnya Morgan adalah adik sepupunya, tapi karena usia mereka lebih jauh tua Morgan pun Febee rela tidak rela harus memanggil Morgan dengan sebutan kakak.
"Ok sayaaaaang!" Sahut Febee senang gembira.
Kenzo menggeleng mendengat kata sayang dari mulut Febee. "Ouh iya Lidia. Tolong jaga Juna selagi aku di luar, tidak apa apa kan?" Ujar Kenzo.
Lidia mengangguk dibarengi senyuman manis dari Juna. "Siap Bos!" Sahut Lidia.
Febee mendelik tak suka melihatnya, sok imut sekali dia. Sedangkan Juna hanya bisa tersenyum, dia masih kecil dan belum tahu apa itu persaingan yang dilihat dari pandangan Febee sekarang.
**
Di jalan menuju halter bis. Kenzo menggayuh sepedanya dengan membonceng Febee di belakang jok kemudi.
'Tes'
Satu tetes air hujan jatuh tepat mengenai hidung Kenzo. Dia menepikan sepedanya terlebih dahulu, melihat ke atas langit yang kini terlihat mendung dan kelabu.
"Ada apa Ken?" Tanya Febee khawatir.
"Tidak ada apa apa, sepertinya sebentar lagi akan hujan. Kau mau meneduh dulu atau langsung ke halte bis? Langitnya mendung, perjalanannya juga cukup jauh dan menajak." Jawab Kenzo memberi tawaran.
Febee mendongak ke atas melihat langit yang tanpak mendung, dia bingung apa harus terus pergi atau meneduh. "Entahlah Ken. Kalau di lanjut pasti kita basah kuyup," Jawab Febee.
Kenzo tahu jawabannya dan segera mencari tepian yang pas untuk meneduh. Di tepi jalanan di depan gerobak bakso Kenzo berhenti dan memarkirkan sepeda.
Febee turun disusul Kenzo. Lelaki itu menarik lengan Febee untuk mengikutinya meneduh di bawah payung terpal gerobak bakso.
"Ikut neduh ya Kang!" Ijin Kenzo di angguki ramah oleh sipenjual bakso.
Kenzo dan Febee diberi kursi manual plastik untuk duduk. Dengan cuaca yang dingin, terdengar suara riuh dari arah seberang.
"Itu suara apa Ken?" Tanya Febee khawatir.
"Kau juga akan tahu nanti," Jawab Kenzo.
Benar saja, tak lama hujan besar menyambar menghujani tempat mereka dan seisi jalanan perkotaan. Febee baru tahu jika suara riuh yang Ia dengar tadi adalah pertanda hujan besar dengan butiran air besar akan tiba, mungkin karena dirinya terbiasa berada di ruangan tertutup saat hujan.
"Ken.." Panggil Febee.
"Apa?"
"Mau bakso," Pinta Febee setengah berbisik.
"Hah?"
"Mau bakso!" Pinta Febee sedikit menaikan intonasi volume bisikannya.
Kenzo melirik si tukang bakso, si tukang bakso tampak bingung ditatap Kenzo seperti itu.
"Ada apa Mas?" Tanya si penjual Bakso bingung.
"Gadis ini barusan mau bakso, bisa buatkan 1 untuknya?" Jawab Kenzo.
"Satu saja Mas?"
"Iya. Saya sedang ada masalah lambung, jadi pesan satu saja." Jelas Kenzo.
"Ouh.. Siap siap!" Sahut si penjual bakso mengangguk mengerti dan segera membuatkannya.
Febee tersenyum. Pacarnya ini baik sekali, cuaca dingin makan bakso. "Makasi Ken. Tapi kenapa kau tak bilang sakit lambung pada ku? Ujar Febee menggeser kursinya lebih dekat dengan Kenzo.
"Tidak ada gunanya," Jawab Kenzo.
"Aku ini pacar mu Kenzo. Sudah seharusnya aku tahu, kau tahu aku berhak tahu tentang segala hal yang menyangkut diri mu." Ungkap Febee.
"Hemm.." Gumam Kenzo bodo amat.
"Ken!" Panggil Febee.
"Hemm.."
"Kamu tahu bedanya kamu sama Bakso?" Tanya Febee.
Mulai.. Mulai lagi anak ini menggombal. Kenzo meliriknya aneh, biasanya lelaki yang menggombal tapi ini terbalik. Jika harus dirinya pun Kenzo malas berpikir, mencari kata kata gombalan itu susah.
"Tidak tahu,"
"Kenapa tidak tahu?" Tanya Febee.
"Lha?"
"Bedanya kamu sama Bakso itu, kalau Bakso kan bulet kalau kamu itu bulat." Kata Febee.
"Sama aja," Gumam Kenzo.
"Beda, bulet itu Bakso kalau bulat itu kamu. Kayak tekad aku dapetin kamu, bulat gak ada sisi untuk berhenti." Jelas Febee tersenyum kelinci.
Kenzo memutar bola mata malas, tuh kan? "Gombal.." Cibir Kenzo menatap ke arah lain.
Febee terkikik geli melihatnya, senang sekali dia menggombali kekasihnya ini. "Iya kan? Buktinya aja semalem aku berhasil membuat mu memasuki akppppp-"
Segera Kenzo bekap mulut Febee dengan telapak tangannya, bisa bisanya gadis ini keceplosan di tempat umum. Bisa diseret masa dia kalau warga tahu bahwa Kenzo meniduri seorang gadis di rumahnya.
"Sshtt.. Diam!"