"Ibu, apa kabar?" tanya Rania saat melihat Ibu mertuanya sedang duduk santai di depan rumah tipe 70 lantai dua minimalis modern. Mencium penuh takzim tangan yang mulai keriput.
"Baik sayang, " jawab wanita yang mengenakan daster panjang bercorak bunga lili. Kedua wanita yang beda generasi itu lalu saling cipika-cipiki.
Rania dan Ibu mertua masuk rumah jalan bersisian. Dewi jalan lebih dulu menuju meja makan. Membuka tudung saji mata Dewi membulat sempurna karena ada ikan mas pepes kesukaannya.
"Ayo Bu kita makan!" seakan tuan rumah Dewi mengajak makan Ibu mertua sahabatnya.
"Ayo Bu!" ajak tuan rumah yang asli. Disiapkan piring serta gelas untuk Ibu mertua tercinta.
"Tumben sekali mak Edoh jam segini sudah matang masak," kata Dewi sambil menyendok nasi hingga sepiring penuh.
"Ibu hajah Halimah yang masak," terdengar suara cempreng dari arah pintu belakang. Rania dan Dewi saling tatap dan menyengir kuda. Wajah kedua perempuan satu generasi itu pun bersemu merah.
"Makasih Bu. Ibu dari tadi?" tanya Rania.
"Dari jam empat tadi Ibu baru sampai. Kamu dari mana sayang kok sekitar setengah jam an lagi mau Maghrib baru pulang?"
Rania tersenyum kaku mendengar pertanyaan Bu Halimah. Dewi cuek tetap makan dengan lahapnya. Karena memang Dewi juga belum tahu persoalan yang terjadi. Dewi hanya mengantarkan ke tempat permintaan sahabatnya itu.
"Aku tadi ke pantai," jawab Rania sambil menunduk. Tidak ada obrolan lagi ketiga wanita yang saling terdiam itu, makan dalam keadaan mode hening.
"Neng, Mak mau pulang ya! Kan gak masak buat makan malam ya," jelas Mak Edoh seraya mengambil lauk dan memasukkannya ke rantang.
"Iya Mak. Makasih ya,"
"Sama-sama, makasih ya Bu hajah saya malam ini jadi nggak masak."
"Sama-sama Doh."
Mak Edoh kerja di rumah Rania dari pagi hingga siang. Lalu sekitar ba'da Ashar sampai menjelang Isya baru pulang. Karena rumahnya dekat jadi tidak tinggal bersama majikannya.
Setiap masak maka akan ada bagian untuk keluarga Mak Edoh. Rania selalu membebaskan mau bawa lauk sebanyak apa pun. Yang terpenting pekerjaan di rumah sudah beres.
Kumandang Adzan Maghrib pun menyapa. Begitu indah di pendengaran hingga memberi efek kedamaian di hati.
Biasanya Baron sudah pulang sebelum Maghrib tapi kali ini tidak. Rania tidak seperti biasa selesai salat menyalakan televisi.
Sudah lama jarang di baca membuat lidah agak kesusahan untuk menyebut tiap huruf lafaz Al-qur'an. Rania terisak. Isakan penyesalan bukan teringat kejadian tadi siang. Melainkan, akan kelalaiannya selama ini ke sang pencipta.
Suara pintu terbuka tak mengalihkan fokus Rania yang terus berusaha mengembalikan keluwesan lidahnya dalam mengaji.
"Dek,"
"Dek," tetap tidak ada sahutan.
"Rania Shafiqa," panggil lelaki yang duduk di samping Rania. Perempuan yang dipanggil namanya menoleh, lalu mengecup punggung tangan lelaki yang telah memporak porandakan hatinya itu.
"Maaf ya. Mas janji nggak akan minum lagi!"
"Hmmm,"
"Dek, please maaf ya," ucap lelaki yang menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Aku butuh waktu!" gertak Rania dengan pandangan nyalang.
"Please Dek. Nggak perlu di besar-besarkan masalah ini. Aku hanya minum dan itu pun hanya baru setengah botol. Lelaki di luaran sana lebih parah kesalahannya selingkuh, main tangan lah ada juga yang memperkosa orang terdekat. Tapi istrinya memaafkan."
"Maaf Mas. Aku bukan para istri yang seperti Mas sebut barusan. Aku adalah Rania—istrimu yang banyak kekurangannya. Namun, cintaku untuk Mas begitu sempurna. Dulu."
"Kok dulu sih Dek? Mas mencintaimu dulu kini hingga nanti sayang." Ucapnya mantap.
Mendengar itu wanita yang mulai membuka mukena tersenyum miris. Menggeleng dan hampir saja air matanya tumpah lagi. Sekuat tenaga dia tahan.
"Iya maaf Mas sekarang dan mungkin selamanya aku tidak jamin perasaanku akan seperti dulu lagi atau tidak,"
"Dek. Harus apa agar Mas dapat maaf darimu, maafin Mas?"
'Pergi dari rumah ini,' tentu itu hanya ucapan di dalam hati saja.
"Mas yang minta Ibu ke sini kan?"
"Apa keberatan ada Ibu di sini?"
'Ini lelaki menyebalkan sekali. Nggak nyambung.' Gerutu Rania dalam hati.
"Tidak lah Mas. Aku senang ada Ibu. Tapi aku tidak suka jika Ibu hanya kamu jadikan umpan agar aku tidak bisa marah sama kamu. Iya kan?"
"Ra ...," suara panggilan dari balik pintu kamar membuat Rania membukakan pintu.
"Iya Bu," sahut Rania sopan.
Bu Halimah menarik lengan mantu terbaiknya. Membawanya duduk di ruang santai. Tak lama Baron menghampiri dengan senyum yang menciptakan kedua pipinya bolong hingga memberi kesan manis.
Tak bisa di pungkiri pesona Baron memang sangat menawan. Tinggi badan 170, berotot, memiliki hidung mancung, alis tebal, mata elang, bibir agak tebal tapi kecil serta dagu belah.
Hampir hati wanita yang mengenakan baju piyama maroon itu luluh. Sebisa mungkin di tahan. Jangan sampai harga diri jatuh hanya karena terpesona keindahan semu.
"Sayang maafkan anak Ibu ya!"
Rania menatap sendu ke wanita di sampingnya dengan posisi duduk saling menghadap. Wanita kedua yang dia sayang setelah Mamah kandungnya.
Air mata Rania luruh juga dia sangat menyayangi Ibu Halimah sampai di berangkatkan haji paket ONH plus. Namun, anaknya telah menaburkan garam di luka yang menganga.
Seluruh persendian Rania berasa hilang dari tempatnya. Melihat air mata mertuanya itu jatuh. Dihapus lembut yang menyebabkan Bu Halimah menutup mata. Meresapi tiap sentuhan tulus dari sang menantu.
"Ra, kamu bersedia kan memaafkan Baron—suamimu?"
"Iya Bu," jawabnya lirih bersama air mata yang hanya dibagian mata kanan itu luruh.
'Tapi tidak untuk kebohongannya. Aku juga masih penasaran apa Ibu juga bersandiwara dalam menyayangiku?' gejolak hati Rania.
"Terima kasih sayang,"
Rania hanya mengangguk lalu kedua wanita yang berbeda usia itu saling berpeluk erat. Baron hendak mengusap pucuk kepala wanita yang berstatus istrinya itu. Namun, Rania menghindar.
"Terima kasih sayang. Mas janji gak akan minum lagi," ucap Baron mantap.
Bu Halimah mengambil jari kelingking kanan Rania serta Baron lalu melilitkannya.
"Ibu berharap kalian akan tetap langgeng. Cukup Ibu yang merasakan pahitnya perpisahan karena perceraian. Kalian harus tetap bersama baik di kala suka atau pun duka."
"Iya Bu," jawab Baron. Rania hanya terdiam. Jiwanya terguncang akan tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Bukti pun dia belum punya. Karena Baron pasti akan punya banyak cara untuk mengelak.
Pasangan suami istri yang telah dikarunia satu putra bernama Bara Prasetyo Jamaludin pun masuk ke kamar karena di perintah Ibu Halimah.
Dengan tetap memasang wajah cemberut Rania duduk di tepi ranjang sebelah kiri. Baron mendekat, refleks Rania menggeser posisi duduknya.
"Maaf maaf maaf," racau Baron sambil menunduk.
"Sudahlah Mas. Kan sudah terselesaikan tadi sama Ibu,"
"Berarti kamu sudah memaafkan Mas?"
"Insya Allah untuk yang ini,"
"Emang ada lagi Dek, kesalahan Mas?"
"Menurut Mas?"
"Nggak lah," dengan penuh percaya diri Baron berucap
Pagi, Rania sudah tampil cantik dengan celana kulot panjang dan kaos lengan pendek. Rambutnya kali ini di kuncir asal.
Memasak serta makan sarapan di temani Ibu mertua adalah hal yang menyenangkan bagi Rania. Kehadiran Baron hanya dianggap angin lalu. Wanita yang mengenakan lip matte pink itu pamit akan ke toko.
"Aku antar!" tawar Baron.
"Nggak perlu Mas,"
"Mobilmu?"
Tid tid tid
Suara klakson dari luar rumah seakan menyelamatkannya. Rania lari menghampiri wanita yang seperempat cowok itu.
"Terima kasih Wi. Datang di saat yang tepat,"
"Gue kan inget mobil lu masih di toko. Dengan kecepatan ekstra gue langsung cus aja," pukas Dewi dengan mengendarai kuda besi nya pelan.
"Astagfirullah haladjim. Iya ya mobil. Aduhh,"