Rania panik luar biasa. Bisa-bisanya dia lupa sama mobil. Kemarin dia ke toko cabang sengaja menggunakan jasa ojek agar saat ke rumah baru bersama sang suami. Namun, pada kenyataannya tidak lah sesuai ekspektasi.
Jantungnya seakan memompa lebih cepat. Keringat dingin mulai bercucuran, padahal ini masih pagi. Hatinya makin kesal karena sahabatnya yang tomboy itu sangat pelan membawa kuda besinya.
Sesampainya di toko. Mobil yang kemarin di simpan di parkiran toko tidak ada. Dewi melambaikan tangan dan melajukan motor karena mau berangkat kerja. Berlari menuju rumah Mang Panjul—salah satu karyawan yang tidak jauh dari tokonya itu.
Nyesss
Kepalanya berasa di siram air es seember. Bibirnya pun membentuk bulan sabit saat melihat si merah bertengkar di dalam garasi rumah sederhana. Garasi yang biasa di gunakan untuk menyimpan padi saat musim panen tiba.
"Mang. Ini pasti kerjaan si tomboy ya?" tanya Rania ke pemilik rumah.
"Iya Neng. Lagi malam itu si cewek jadi-jadian ngegedur pintu kirain ada apa eh ternyata mau menyimpan mobil Neng." Terang Mang Panjul sambil memberikan kunci mobil.
Mang Panjul tidak bisa mengendarai mobil. Untuk pengiriman barang ada dua karyawan yang di tugaskan. Kalau Mang Panjul khusus untuk melayani pembeli. Kata almarhum H. Jamal—Ayah dari Rania Mang Panjul terkenal akan kejujurannya.
Kemarin Mang Panjul beserta istrinya pergi dari pagi, karena saudaranya ada yang sedang merayakan khitanan.
Rania membawa mobil yang hanya terhalang lima rumah itu menuju toko. Memarkirkan mobil Lalu dia turun.
Membuka toko dan tak lama Mang Panjul, Mang Castam dan Mang Umay datang merapihkan dan menata barang-barang. Rania menuju ruangannya dan di meja sudah tersedia teh manis hangat. Terlihat istri Mang Panjul sedang menyapu.
"Terima kasih Bi, tehnya," kata Rania begitu ramah.
"Sama-sama Neng," jawab perempuan yang seusia Rania. Namun, karena tidak pernah di rawat jadi terlihat lebih matang dari usianya.
Menatap poto yang terpajang di sudut meja kanan membuat raut wajah cantiknya terlihat mendung. Matanya mulai menghangat dan berembun, cairan bening yang berusaha dia tahan pun bercucuran juga.
Dalam gambar sangat terlihat keluarga harmonis. Seorang perempuan yang menyenderkan kepalanya ke pundak pria yang sedang menggendong putra mereka. Ketiganya tersenyum lebar. Gambaran keluarga yang bahagia.
Menghapus air mata karena terdengar ada pembeli. Dia berusaha setenang dan seceria mungkin untuk menyapa. Melayani pembeli dengan ramah.
Teringat kembali ke poto. Di sudut meja kiri potret kedua orang tuanya. Di peluk erat kedua poto itu sambil memejamkan mata. Terkenang akan permintaan Ayahnya sebelum wafat agar memasukkan Bara putra mereka ke pondok pesantren.
Sebenarnya, sangat berat anak baru berusia lima tahun harus terpisah. Namun, apa mau dikata karena demi kebaikan akhlak dan pemahaman agama anak. Maka harus rela berkorban perasaan.
"Ayah ingin keluarga kita ada yang jadi ulama. Siapa lagi kalau bukan anak kamu Ra. Cukup kamu yang begitu sulit Ayah atur. Ayah tidak menyalahkan mu, ini semua salah Ayah. Ayah dan Ibu mu tidak mau jauh darimu. Setiap hari kamu kami bawa ke toko. Agar tetap bisa bersama. Jangan kan untuk di pondokkan kamu minta nginep di Kak Bayu pun Ayah tak pernah ijinkan. Bukan gak boleh tapi Ayah gak mau jauh."
Teringat akan ucapan lelaki cinta pertamanya. Rania menghela nafas kasar. Dengan tetap memeluk kedua poto. Terasa ada telapak tangan kekar bertopang di pundaknya. Membuat Rania tersentak kaget dan menoleh.
"Ngapain Mas pagi-pagi kemari. Udah buka toko sana, Yang rajin cari nafkahnya dong!" memerintah suami dengan nada gak ada manis-manisnya.
Bukannya menjawab Baron malah berusaha memeluk. Rania terus menghindar dan menangkis tangan yang hendak menyentuhnya itu.
"Maaf dong yang. Mas yakin kamu belum maafin Mas!"
"Mas ini, saya mohon jangan cari keributan nanti mood ku hilang."
"Aku tidak nyari ribut yang. Masa hanya gara-gara aku minum kamu kemarin sampai menepi ke pantai bareng Dewi. Aku tahu kamu tidak di rumah Nenti."
'Tahu dari mana ini. Apa dia membuntuti ku. Semoga saja hanya ke pantainya yang tahu soal rumah tidak.' Batinnya bergejolak.
Kemudian pria yang mengenakan chinos pants coklat susu itu duduk di kursi pembeli berhadapan dengan wanita yang masih cemberut itu yang di batasi meja.
Rania menaruh kembali poto kedua orang tuanya di atas meja. Sedangkan, poto satunya di simpan di dalam laci meja.
"Loh kok gak dipajang lagi yang?"
Rania ingin sekali memuntahkan semua isi perut. Mendengar ucapan suaminya barusan. Padahal sayang atau dek memang panggilan untuknya. Namun, kali ini terdengar jijik.
Rania membuang muka ke sembarang arah. Rasa tidak nyaman bersarang karena dia tidak pernah bisa berakting. Jika kesal maka akan menunjukkan dan jika suka maka akan mengekspresikan. Namun, kali ini dia harus sedikit bersandiwara, pura-pura tidak tahu tentang topeng perasaan suaminya itu.
Belajar dari Dewi saat mantan suaminya mendua dia tidak langsung atau marah-marah melainkan cari bukti-bukti lalu di bawa ke pengadilan.
Kaget bukan kepalang saat Ayah dari Bara duduk di atas meja berhadapan dengan Rania. Bahkan kaki mereka saling beradu. Rania menggeser kursi agar ada jarak.
"Apa kamu punya lelaki idaman lain sayang?" pertanyaan yang membuat wanita yang di tanya itu tersenyum miris.
"Ha ha ha ha," tak mampu menahan Rania tertawa terbahak. Pria di hadapannya itu pun mengerutkan kening.
"Yang. Siapa lelaki itu?"
"Kamu apaan sih Mas? Biasanya ni ya, yang menuduh tanpa bukti, itulah tersangka yang sesungguhnya!" ujar Rania dengan senyum penuh kemenangan.
"Aku mana bisa berpaling darimu sayang," Baron mulai melancarkan aksinya.
'Padahal punya bakat akting yang tidak diragukan lagi. Kenapa tidak jadi aktor saja? Sayang bangat punya bakat terpendam tapi malah dilakukan buat mempermainkan hati anak orang.' Batin Rania.
"Yang. Why?" tanyanya dengan suara lembut. Saat melihat air mata istrinya berderai. Lalu berusaha menghapusnya. Namun, gagal karena sang pemilik selalu menmenangki
'Aku merasa teramat di rendahkan. Ini adalah sebuah penghinaan. Aku harus akhiri! Aku tidak mau terus-terusan jadi perempuan bodoh.' Lagi hanya batinnya yang mampu berucap.
Baron berlutut lalu bersujud di kaki Rania saat akan mencium refleks menyentuh bahunya agar bangun akan tetapi, tak bergeming. Walau bagaimana pun Baron posisinya suami itu yang membuat Rania tidak enak hati.
"Mas please jangan lebay. Bangunlah! Aku bukan ibu,"
"Tidak sebelum kamu jelasin kemarahan mu kemarin antaran apa?" kata Baron yang makin mempererat memegang kaki kaki serta menciumnya lagi.
"Mas aku mau ke depan dulu nggak enak. Tuh lihat karyawan kita lagi ngelayanin para pembeli. Mas please lepasin!"
Baron tetap tidak bangun. Terasa ada cairan hangat yang menjalar di punggung kaki Rania. 'Kau sangat hebat Mas, aku hampir luluh. Bahkan lihatlah kau sampai menangis! Begitu menakjubkan aktingmu Mas.'
"Neng, ada Bang Pengacara," teriakan dari luar yang membuat Baron bangun.
"Bang, apa kabar?"
"Alhamdulillah baik."
Baron menatap tidak suka ke Bang Aziel lalu lelaki yang mengenakan jas hitam itu mengulurkan tangan. Dengan malas Baron menerima.
"Apa kabar Mas?" tanya Bang Aziel ke Baron.
"Baik. Ya sudah aku mau ke toko dulu," pamitnya seraya menyambar tas yang tadi di simpan di meja.
"Ada apa nih pagi-pagi sudah ke sini?"
"Mau ngundang. Seminggu lagi Abang mau tunangan."
"Alhamdulillah ternyata Abang ku normal juga. Heee,"
Jidat si pemilik mata bulat di tekan dan di cubit hidungnya. Lalu pria yang mengenakan jam tangan rolex dibalut platinum putih terang itu terkekeh.
"Sepertinya saya datang tidak tepat waktu,"
"Nggak kok,"
"Ada yang habis nangis nih. Matanya sampai bengkak,"
Upsss. Padahal Rania sengaja pakai bedak lebih tebal dari biasanya. Maskara juga. Berharap bisa menutupi mata bengkaknya.
"Nih. Pakailah! Malu nanti kalau ada pelanggan yang beli. Ketahuan deh habis nangis bombay," seru sang pengacara ganteng seraya memberikan kaca mata hitam yang tadi di pakainya.
"Safi mau diapain juga tetaplah safi," bukannya memuji cantik, malah meledek.
"Oh iya Kak. Ntar malam aku mau ke rumah ya bareng Dewi,"
"Mau ngapain. Jangan bilang mau minjem duit,"
"Astagfirullah haladjim. Woy duit eke juga nyakba tahuuu,"
"Ha ha ha. Ya udah pamit ya. Sampai ketemu ntar malam. Oh iya, tadi Ayah bilang mau ganti cat rumah. Kamu chat gih tunjukkin katalognya mau warna yang mana,"
"Asyikkk. Alhamdulillah rezeki anak Solehah. Sekalian sama tukang catnya kan?" Aziel hanya mangut menanggapi pertanyaan Rania.
Rania juga menyediakan jasa tukang. Baik tukang untuk membuat rumah, dekorasi atau hanya sekedar nge-cat.
Rania tidak mengambil keuntungan sepersen pun. Dia hanya ngepromosiin dan menyarankan agar belanja di tokonya.
"Alhamdulillah rame juga hari ini. Namun, sialnya mata dan hatiku selalu teringan Mas Baron. Tidak bisa di pungkiri masih ada cinta di hatiku ini untuknya. Lagi air mata ini minta turun. Kali ini karena kesal kenapa masih mencintai lelaki bertopeng itu."
Matanya mulai berkunang-kunang. Badannya juga sudah tak berdaya. Raganya roboh jatuh ke lantai.