Chereads / Menghapus Jejak-mu / Chapter 4 - Harus Bangkit

Chapter 4 - Harus Bangkit

Mata Rania mulai mengerjap, berkali-kali membuka dan menutup mata hingga saat kesadarannya mulai pulih. Bangun menyandarkan punggung di kepala ranjang melihat sekeliling ruangan.

Kamar yang penuh poster band beraliran rock, banyak aneka robot kecil di pajang di dalam lemari kaca. Ada beberapa gitar tergantung rapih di dinding.

"Sudah bangun lu," suara dari balik pintu membuat Rania menoleh dan tersenyum.

Segelas air putih hangat di ulurkan dari wanita yang mengenakan jogger pants hitam ke arah bibir Rania. Meneguk sedikit-sedikit hingga tandas.

"Terima kasih Wi,"

"Hmmm,"

"Kamu tadi sengaja ke toko atau bagaimana?"

"Iya sengaja pulang kerja gue mampir, eh belum juga ini kaki gue turun dari motor si Panjul manggil tolong si Neng pingsan. Gue langsung lari tapi nggak terbirit-birit kok. Dan mendapati puteri duyung tak berdaya.

"Ha ha ha ha. Wiiii,"

"Apaaa ...?"

"Ha ha ha ...." Kedua wanita yang bersahabat dari kecil itu pun tertawa bersama.

Rania merapihkan rambutnya yang acak-acakan. Dewi keluar kamar tak lama masuk lagi dengan dua bungkus nasi dan dua botol air mineral.

"Makan Ra!"

"Aku mau pulang Wi. Maaf!"

"Kagok dikit lagi Maghrib. Abis salat Maghrib barulah lu pulang," Rania terdiam setelah mendengar ucapan Dewi.

Tangan mulusnya mengambil satu bungkus nasi lalu membuka karetnya. "Terima kasih nasi rames komplittt-nya,"

"Iya udah makan!"

Rania mengerucutkan bibir lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Dewi. "Gak betah makan di kamar. Ke luar yuk!" bisik Rania.

Sebagai puan rumah yang baik. Dewi mengikuti permintaan tamu yang tadi di gendongnya itu.

Dewi membawa Rania menggunakan mobil Rania dan meminta Mang Panjul untuk bawa motornya ngikutin dari belakang.

Setelah sampai rumah Dewi menggendong raga sahabatnya dan menaruhnya di kasur. Lalu Dewi memberi uang merahanan agar Mang Panjul pulangnya bisa naik angkot atau ngojek.

Rumah yang kental akan warna biru langit itu pun tampak sepi. Ruang santai yang di jadikan pilihan Dewi. Menyalakan televisi dan mulai makan lesehan hanya beralaskan lantai keramik.

"Kalau ada apa-apa tuh cerita dong. Dari kemarin gue antepin berharap cerita sendiri tanpa di tanya juga. Eh hingga detik ini rupanya dikau tak mau berbagi cerita dengan dirikyu. Curhat dong es,"

Cubitan kecil pun mendarat di paha wanita yang hobi balapan motor itu. Meringis kesakitan sedang yang mencubit terus tertawa hingga suara salam bariton dari pintu luar menghentikan kebisingan mereka.

"Dek, ayo pulang!" perintah Baron saat Dewi dan Rania membuka pintu.

"Kok tahu aku ada di sini?" Rania bertanya dan yang di tanya gelagapan. Menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Ayo pulang!"

"Tar dulu ya Mas. Aku makan dulu, sayang nasinya tadi di beliin Dewi," Baron menganggukkan kepala. Rania masuk dan kembali ke luar menemui suaminya. Satu bungkus di makan berdua terlihat romantis bagi yang melihat.

Hati kecil Rania menjerit perih betapa jahat nya lelaki yang di hadapannya itu. 'Akan aku ikuti permainanmu Mas,'

"Tadi katanya ada yang pingsan?" tanya Aziel.

"Iya, mungkin istriku kecapean," Baron yang menjawab. Yang lain terdiam, kehadiran Baron membuat suasana jadi canggung. Karena sebelumnya, dia tidak pernah ikut jika kumpul di rumah Aziel.

Aziel meminta semua untuk masuk rumah dan di saat berjalan bersama menuju ruang tengah bersamaan itu pula ponsel Baron berbunyi.

Dewi tersenyum puas saat Baron ijin akan keluar karena ada urusan mendadak sehubungan bisnis yang akan dia rilis bersama rekan-rekannya.

Nenti dengan perut yang agak buncit membawa beberapa cemilan yang langsung di bantu Rania dan Dewi.

"Laki lu kapan itu pulangnya?" Dewi menginterogasi.

"Sebelum usia kehamilan masuk sembilan bulan juga udah cuti kok," jelas Nenti.

"Syukur dah," jawab Rania dan Dewi serempak.

Duduk lesehan di ruang tengah beralaskan karpet beludru hijau muda.

"Ayo cerita!" tanpa basa-basi Nenti sangat penasaran dengan adik sepupu sekaligus sahabatnya itu.

Semua mata kini tertuju ke Rania semua. Rania seperti seorang terdakwa yang diadili oleh hakim.

"Ada apa?" Rania malah bertanya.

"Ra, jangan bikin esmosi ku naik lift. Ayo Ra mumpung suami lu belum ke sini lagi tuk jemput lu,"

Rania mulai menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sedangkan, Aziel, Nenti dan Dewi terfokus semua melihat Rania.

Posisi duduk mereka segi tiga, Rania duduk sendiri sedang dihadapannya ke tiga orang yang sangat penasaran akan ceritanya itu duduk bersejajar.

Rania mulai menceritakan kejadian kemarin. Nenti menyimak sambil memakan cemilan. Air mata pun mulai membasahi para pendengar yang Budiman itu. Emosi juga mengiringi jiwa mereka.

"Apa rencana mu ke depan fi?" tanya Aziel orang yang sendirian manggil Rania dengan Safi.

"Aku ingin akhiri pernikahan ini. Tapi ... setelah berhasil menyelamatkan hartaku."

"Harta yang kamu miliki itu dari warisan fi. Jadi Baron tidak sedikit pun mendapatkan bagiannya jika perpisahan adalah jalannya."

"Oh iya ya Bang aku lupa akan hal itu. Lalu harta milik bersama yang kami dapat?"

"Bagi dua,"

"Aku nggak rela Bang. Mas Baron berawal dari gembel dan aku pinginnya berakhir dengan ku juga sebagai gembel." Terang Rania yang langsung dapat tarikan hidung dari Aziel.

"Ih sakittt!" bentak Rania membuat yang lain ketawa.

"Ra," panggil Dewi sambil menghapus air matanya itu. Meski tomboy hatinya tetap lah lembut.

"Iya Wi,"

"Maafin gue maaf!" permohonan maaf dari Dewi membuat yang lain jadi melongo dan menyipitkan mata.

"Apa?"

"Semuanya diam ya jangan komen sebelum gue udah ceritanya. Jadi pagi lusa. Aku mau berangkat kerja aku gak sengaja lihat Baron pake motor biasa bisa di bilang jelek lah. Kan aneh ya. Seorang Baron gitu loh. Gue ikutin dan ketika sampai di rumah siapa tuh yang ngurus usaha toko boneka si Baron itu?"

"Nindy Wi. Tadi kan gue udah ceritain. Oh jadi mereka sering diam-diam ketemuan gitu?"

"Ya nggak tahu kalau soal itu. Dan gue sebenarnya tadi sore tuh mau nunjukin ke lu Ra,"

Dewi merogoh celana dan mengambil ponselnya. Lalu memperlihatkan video yang hanya berdurasi dua menit itu.

Aziel menepuk pundak wanita yang sedang mengatur nafas karena emosi itu. Dielus punggung Rania yang mulai bergetar. Satu tetes air matanya turun dan langsung dihapus oleh Dewi.

Nenti dan Dewi memeluk Rania dan mereka nangis bersama. Aziel mundur, mengepalkan tangan dengan nafas yang memburu.

"Lu harus bangkit Ra. Lu tidak boleh kalah dalam permainannya. Please jangan pakai perasaan lagi. Tapi logika, logika Ra!" pukas Dewi dengan suara pelan tapi penuh penekanan di kuping Rania.

"Ra. Ayah harus tahu ini. Anggap lah Ayah dan Ibu ku itu orang tuamu juga. Ayahku kan Abang kandungnya almarhum Ayahmu," kata Nenti dengan nada manja.

"Jangan dulu ya Nen. Masih terlalu dini kayaknya. Nanti setelah ada alasan yang bisa di adukan di pengadilan pasti aku bilang sama Om Bayu,"

"Oh begitu. Aku terserah kamu aja Ra,"

"Aku harus alasan apa ya. Aku nggak mau di sentuh olehnya. Dia sangat menjijikan kini. Cinta memang masih untuknya. Tapi rasa jijik juga bersarang," Rania minta usul.

"Pura-pura lagi datang bulan aja. Lu salatnya kalau lagi gak keliatan doi Ra," usul Dewi yang di anggukan kepala oleh Rania.

Aziel mendekat dan mengelus kepala adik sepupunya itu. "Abang akan bantu kamu,"

"Gratis kan Bang?"

"Enak saja. Gak ada yang gratis lah,"

Rania memajukan bibir lalu menjulurkan lidah ke Aziel membuat Nenti tertawa sambil memegang perut. Rania pun ikut memegang perut Nenti dan mengelusnya pelan.

Dewi masih bergeming dengan jari telunjuk menempel di keningnya. Hingga sikutan dari Nenti membuatnya murka. Memandang dengan mata nyalang seakan serigala yang kelaparan akan menerkam mangsanya.

"Ampun Makkk,"

"Untung kau ini lagi hamil plus bunting. Jadi aku baik lah sama kau ini," kata Dewi yang langsung di tanggapi dengan memutar bola mata malas dari Nenti.

"Kayaknya kesambet ini anak. Mungkin karena banyak perantau yang datang ke kota ini. Jadinya jinnya juga beraneka ragam bahasa di sini." Celetuk Nenti yang langsung dapat pukulan pelan dilengannya oleh Dewi.

"Oh iya mengenai mitos kalau minum alkohol bisa membuat pelakunya berkata jujur. Benarkah,"

"Gak semua. Emang ada yang demikian akan tetapi kondisi tubuh setiap individu itu berbeda-beda. Jadi efeknya nggak sama semua.

"Ehem," deheman dari Aziel membuat semuanya terdiam. Nenti ijin pulang karena sudah jam sepuluh malam. Minta di antar Dewi padahal rumahnya hanya sekitar delapan langkah dari rumah Abangnya itu.

"Bagaimana kalau kita minta bantuan Bagas!" usul Aziel

"Aku nggak mau. Walau bagaimana pun Bagas sahabat Mas Baron pasti dia akan berpihak ke sana,"

"Tapi kayaknya dia suka sama kamu fi."

"Aku tidak mau memanfaatkannya Bang!" gertak Rania. "Maaf," ucapnya kemudian. Menunduk sambil mengelus pahanya.

Aziel tersenyum, ada getaran dari ponsel yang dia simpan di saku t-shirt lengan pendek biru itu. Jemarinya mulai bergeliria di atas ponsel. Dewi sudah kembali lagi dan duduk di samping Rania.

Baron sampai, lalu mengajak istrinya pulang. Tidak ada obrolan dalam mobil. Baron memutar musik pelan.

Sampai rumah, masih sama Rania lebih banyak diam dan itu membuat Baron kesal. Baron mengunci tubuh Rania dengan punggung menempel ke tembok.

"Dek," rengek Baron dengan wajah yang Rania sudah hafal bangat maksudnya kemana.

Rania menepis dan memohon agar Baron tidak menyentuhnya.

"Aku lagi datang bulan Mas."

"Oh," Baron mundur membiarkan Rania keluar dari kuasanya.