Mobil SUV berwarna putih memecah jalanan, menerbangkan dedaunan kering yang terkumpul di sisi trotoar. Seorang pemuda yang berada di balik roda setir itu nampak memasang wajah serius dengan pikiran yang melayang. Iya, mendapat kabar mengejutkan dari temannya, mendadak membuat kepalanya pening dan harus dipaksakan untuk berpikir. Pun mendadak memicu banyak kekhawatiran dalam daksanya.
Jari-jari yang sejak tadi meremat roda setir serta rahangnya menegas hingga menciptakan suara gemertaknya, menandakan jika ada emosi yang sebisa mungkin tak membuncah. Tungkainya menambah kecepatan pada pedal gas demi bisa mempercepat perjalanannya sampai kantor. Sekilas melirik arlojinya guna memperkirakan waktu yang akan dia tempuh.
Hingga akhirnya mobil itu berhenti tepat di depan pintu lobi kantornya, Rayhan bergerak cepat mencari lift. Seketika mengabaikan semua sapaan para karyawannya. Mungkin memang terlihat arogan, namun parasnya tak bisa melakukan hati itu ketika daksa dan pikirannya tengah kacau, kendati itu hanya sebuah senyuman. Tak bisa ia pungkiri saat pribadinya menyadari banyak juga pegawainya yang memasang tampang keheranan menatapnya.
Sampai pada lantai dimana letak ruangannya berada, tungkainya berlari dan sedikit membuat gebrakan begitu membuka pintu. Di sana Farrel tengah duduk dengan beberapa berkas yang memusingkan kepalanya. Pun hanya sekilas melirik ke arah sanga atasan sebelum kembali menatap kertas itu. Laki-laki yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil itu melempar berkas yang dipegangnya ke meja.
"Lihatlah, kita mengalami penurunan," keluhnya seraya menyandarkan tubuh dan memijat pelipisnya.
Membaca semua tulisan dari data dan grafik yang tercetak lengkap di kertas itu sukses membuat Rayhan mengerutkan dahi. Lidahnya kelu, ia kehilangan kata-kata untuk dibicarakan. Jika tidak segera ditangani, maka perusahaan ini akan dalam masalah.
"Kita juga mendapat banyak keluhan dari pelanggan tentang produk yang luncur satu tahun lalu," kata Farrel lagi.
Sebisa mungkin Rayhan memutar otak guna memikirkan strategi untuk mengamankan posisi perusahaannya. Lantas dirinya bangkit dan berjalan menuju mejanya, bersamaan dengan menyalakan layar komputer ia kembali menatap semua data yang membuat perusahaan ini menerima banyak keluhan. Rupanya ada satu hal yang mengalihkan perhatiannya saat Farrel memberikan berkas lainnya berupa data milik perusahaan lain.
"Hentikan pengembangan produk baru," pribadinya terduduk seraya menatap layar komputer. "Sempurnakan produk lama berdasarkan keluhan pelanggan," pungkasnya.
Tepat setelah kalimat itu lahir, Farrel segera keluar bersama beberapa berkas yang dia butuhkan. Sedangkan Rayhan masih mencari tahu tentang perusahaan lain yang membuat produk perusahaannya menjadi bahan perbandingan. Netranya menatap lekat logo perusahaan yang tertera di layar komputer. Rasanya tak asing, hingga beberapa detik setelahnya tangannya bergerak mengambil ponsel yang berada di saku jaketnya. Mencari nomor milik sang istri.
Iya, sangat yakin jika ia pernah melihat logo itu sebelumnya pada kartu nama yang ia selipkan pada buku catatannya. Entah milik siapa perusahaan itu, namun Rayhan mulai merasa ada sesuatu yang ganjil saat pihak sana memberikan kartu nama pada sekretarisnya.
"Nara, tolong bukakan buku catatan dekat komputer di mejaku. Ada kartu nama di sana, kirimkan berupa foto segera,"
-
-
-
Sungguh, Nara terkejut mendengar suara tegas milik sang suami. Sejak keluar tadi, Nara memang menaruh rasa khawatir terhadap Rayhan. Sesuai dengan titahnya, Nara bergerak mencari buku yang dimaksud, lembaran demi lembaran ia buka namun tidak ada. Lantas ia mengangkat buku itu dengan posisi terbalik sampai terdapat lembaran kecil terjatuh ke lantai. Nuraninya berkata jika itu yang dibutuhkan Rayhan.
Baru saja pesannya terkirim, Nara mengambil kartu itu untuk dibaca dan diamati lekat. Entah kenapa pikirannya juga terdorong untuk mencari tahu tentang kartu ini. Hampir saja menyentuh komputer Rayhan, pribadinya memilih untuk mencari menggunakan ponsel. Khawatir jika sang suami akan melihat riwayat pencariannya.
Duduk di sofa dengan ibu jari yang sengaja digigit adalah posisi Nara saat ini. Pandangannya sama sekali tak terputus dari layar yang berdenyar, yang juga membuat dahinya berkerut. Memang bukan ahlinya, karena Nara tidak dapat informasi sedalam mungkin. Helaan nafas yang keluar membuktikan jika dia sudah lelah mencari.
Saat ponselnya diletakkan, Nara tersadar jika sudah melewati jam pulang kantor Rayhan. Presensi itu melupakan jika dirinya belum menyiapkan makanan yang sudah dibeli. Hanya saja, tungkainya sempat terhenti ketika keraguan mendatanginya. Sang suami belum memberi kabar apakah pulang tepat waktu atau tidak. Nara tidak ingin makanannya akan dingin kembali lantaran menunggu kepulangan Rayhan. Kendati dia tahu jika mengganggunya, Nara tetap akan menghubungi Rayhan.
Belum saja menghubungi, secara mendadak pintu rumah terbuka, menampilkan presensi sang suami memasang wajah lelahnya. Duduk bersebelahan dengannya, meletakkan jaket di sisi tubuh. Wajahnya nampak lebih lesu dengan bola mata yang bergerak acak, seperti tersimpan sesuatu dibalik retinanya.
"Ada apa, mas?" tanya Nara.
Beberapa menit tak diperhatikan, pun laki-laki itu akhirnya menoleh dan melihat keberadaan Nara di sana. Senyum tipis yang ia torehkan sebelum akhirnya menurunkan pandangannya pada kakinya sendiri. "Kepalaku sakit," jawabnya.
Jari-jari lentiknya langsung bekerja tanpa mendapatkan perintah tepat setelah Nara mendekat pada sang suami. Dalam diamnya, Nara berharap jika Rayhan mau mengatakan apa yang terjadi sejak tadi. Nampak Rayhan menepuk pahanya, yang berarti jika suaminya ingin Nara berada di atas pangkuannya. Pun hal itu tidak dibantah Nara.
"Sudah mandi?" tanya Rayhan yang langsung dijawab Nara dengan mengangguk yakin. "Ya sudah, siapkan makanannya. Aku akan mandi," sambungnya.
Tunggu dulu, Nara pikir Rayhan akan menceritakannya saat ia duduk di atas paha kekar itu. Wajahnya linglung, apalagi ketika tangan Rayhan menurunkan tubuhnya dari atas pangkuan. Kedua maniknya hanya menyimak langkah panjang Rayhan menuju kamar.
Mengesampingkannya, Nara hanya melakukan tugasnya sebagai istri. Yang mana ia menghangatkan makanan yang dimasukkan ke kulkas, serta membuatkan minuman yang mampu membuat perasaan suaminya lebih tenang. Lantas dibawa menuju meja makan, menunggu Rayhan datang.
"Mas, ini teh chamomile, untuk mengurangi kecemasan," ucapnya bersamaan meletakkan secangkir teh di depannya.
Keduanya siap untuk makan malam, Nara juga sudah mempersiapkan ketika sang suami masih berada di dalam kamar. Tak ada obrolan apapun yang terjadi saat ini, hanya suara dentingan sendok dan piring yang beradu. Namun, tenggorokan Nara sudah tak mampu menahan kalimat ini yang bahkan sulit untuk dia telan lagi.
"Mas," panggilnya lembut. "Apa sesuatu sedang terjadi?" tanyanya.
Kedua tangan Rayhan berhenti bergerak, matanya mengerjap beberapa kali sebelum mengangguk dengan senyum sumbang. Dagunya terangkat di melihat wajah damai Nara. "Ada masalah di kantor. Banyak keluhan yang diberikan pelanggan, dan menjadikan bahan perbandingan dengan produk dari perusahaan lain," jelasnya.
Terdiam beberapa saat guna menelaah kalimat sang suami, Nara mulai mengerti tujuan suaminya meminta foto kartu nama itu.
"Dan kartu nama itu.."
"Iya, perusahaan itu yang menarik semua pelanggan. Dan produk dari sanalah yang dibandingkan dengan produk dari perusahaan kita," Rayhan menyela kalimat sang istri.
Meletakkan semua alat makannya, Nara bergerak di samping tubuh sang suami, memberikan pelukan hangat. Ia tak ingin menuangkan komentar apapun atas episode hidup tak mengenakkan yang menimpa suaminya. Hanya usapan penuh afeksi yang bisa ia berikan saat ini.