"Sebenarnya sepertinya aku sudah menemukan sosok yang persis dengan dia," ucapnya dalam hati.
Kini Brian berada di depan ruangan yang bertuliskan 'ruang kesehatan mahasiswa'. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba langkahnya mengarah sendiri kesini.
Brian memegang gagang pintu dan membukanya. Kini terlihat Kenza yang sedang duduk di samping Elora yang berbaring.
"Sudah sadar?" ucap Brian ketika melihat Elora telah siuman dari pingsanya.
"Kau!" ujar Elora ketika melihat sosok yang baru masuk ke ruangan.
"Kenapa kau disini?!"
"Ka-kalian sudah saling kenal?" ucap Kenza di tengah-tengah pertanyaan Elora.
"Sudah kuduga, kau tak sadar saat di absen tadi ," ucap Brian dengan ekspresi datar.
"Ha?"
Elora masih tidak mengerti apa yang dikatakan, seingatnya tadi dia tidak di absen. Bahkan dia tidak ingat dirinya ada di sini.
"Aku pengisi perkuliahan tamu di kelasmu."
"Iya Elora. di-dia juga yang aku maksud tadi, orang yang membawamu ke ruangan ini."
Kenza tadi sempat menjelaskan kepada Elora bahwa dirinya tadi dibopong oleh laki-laki yang asing di fakultas dan laki-laki itu juga meminta dirinya untuk menunggu Elora di ruangan kesehatan ini.
Ekspresi Elora seketika berubah, yang tadinya marah sekarang ia meniunjukkan ekspresi bersalah.
"Maaf ya. aku nggak tau kamu yang menolongku."
"Elora kamu harus panggil dia dengan sopan," bisik Kenza di telinga Elora, namun Brian masih bisa mendengar bisikan Kenza.
"Tidak papa, panggil aku Brian saja. Toh aku masih kelihatan muda," ucap Brian dengan wajah tanpa ekspresi namun seakan-akan menunjukkan kesombonganya karena masih terlihat muda di usianya yang ke 27 tahun.
Elora memandang Brian dengan pandangan jijik. Barusan hatinya luluh karena kebaikannya ,namun sekarang dia merasa kesal lagi pada laki-laki dihadapanya ini.
"Kenza kamu boleh pergi," ucap Brian.
Kenza berdiri dari posisi duduknya dan bersiap meninggalkan Elora. Namun sebelum itu ia mendekati telinga Elora dan mengatakan sesuatu.
"Jangan lupa apa kataku tadi ya," bisiknya dengan nada pelan sekali. Sehingga bisikan yang satu ini tidak bisa Brian dengar dengan telinganya yang jeli.
Elora menganggung sebagai jawaban atas perkataan Kenza.
"Ba-baik. Saya duluan ya pak," ucap Kenza sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu.
"Saya juga harus pulang," ucap Elora sambil menurunkan satu kakinya ke lantai.
"Tetaplah disini dulu."
Brian mencegah pergerakan Elora. Ia ingin Elora beristirahat terlebih dahulu.
"Ini. Makanlah," ucapnya sambil menodongkan sebungkus roti dan air minum.
Elora yang mendapatkan perlakuan seperti ini makin curiga. "Kenapa kau begitu baik? Aku jadi curiga."
"Sudahlah makanlah."
"Apa pedulimu? Bukankah seharusnya kamu marah kepadaku karena kejadian tadi pagi?"
Elora bertanya dengan kepala miring dan ekspresi yang menurut Brian sangat imut. Elora sangat bingung dengan perlakuan seseorang yang tidak ia kenal. Namun Elora masih tau tata karma terhadap seseorang. Selanjutnya ia mengucapkan terima kasih karena sudah menolongnya dan memberikan ia sebungkus roti dan minuman.
"Kalau boleh tau, siapa namamu?" ucap Elora ditengah kunyahanya memakan roti.
"Apakah harus ku ulangi lagi?"
"Ah! Aku lupa tadi jika kamu sudah memperkenalkan diri."
"Hn. Panggil Brian saja," ucap Brian dengan nada dingin.
"Aww" ringis Elora ketika merasakan kepalanya yang berdenyut begitu hebat.
"Kenapa?" tanya Brian dengan nada khawatir namun raut wajahnya masih dingin.
"Kepalaku sakit sekali," jawab Elora dengan memagangi kepalanya.
Elora merasakan ada sesuatu yang mengalir dari hisungnya. Benar saja cairan berbau anyir itu keluar dan terjun bebas di baju Elora.
"Aah!" ringis Elora ketika merasakan denyutan yang sangat hebat kembali. Kemudian ia mengingat ucapan Kenza tadi.
'Jika kamu tidak segera pergi. Maka jiwa di dalam tubuhmu akan berontak'
"Apakah ini yang dimaksud Kenza," gumamnya dengan tangan yang menadahi darah yang keluar dari hidungnya.
Sementara itu Brian dengan cepat mencari keberadaan tisu di dalam ruangan ini, dan segera memberikanya pada Elora.
"Te-terimakasih," ucapnya terbata-bata karena merasakan sakit di kepalanya.
"Biar ku antar pulang"
"ha?" Elora tidak percaya bahwa pria di hadapanya ini sampai melakukan hal yang sangat perhatian. Namun Elora masih agak canggung jadi dia menolak ajakan Brian. "Terimakasih tidak usah."
"Kau mau menabrak orang-oarang lagi seperti tadi pagi?" ucap Brian yang membuat Elora sadar bahwa ada benarnya ucapan Brian. Ia tidak mungkin mengendarai mobil sendiri dengan keadaan yang seperti ini.
"Lalu bagaimana dengan mobilku?"
"Sopirku akan membawanya. Kamu naiklah ke mobilku saja."
Brian mulai menuntun Elora untuk berdiri. Ia berjalan dengan pegangan tangan Brian. Elora benar-benat tidak menyangka akan jadi seperti ini. Jantungnya sangat berdebar karena sebelumnya dirinya memang tidak pernah mendapatkan perlakukan seperti ini.
"Ayo masuklah," ucap Brian ketika mereka berdua sudah sampai di depan mobil.
Deg Deg Deg
Detakkan jantung Elora bertambah cepat.
"Tenanglah Elora. Dia Cuma menolongmu, jangan sampai kamu terbawa perasaan" ucapnya dalam hati.
Brian mulai melajukan mobil keluar dari kampus. Elora memandanga wajah Brian dari samping dan ia baru sadar bahwa Brian adalah pria yang sangat tampan.
Sedangkan tanpa mereka berdua sadari. Sedari tadi terdapat empat mata yang tengah mengawasi mereka.
"Awas saja kau Elora!" ucap gadis yang melihat Elora dan Brian memasuki mobil yang sama.
"Sabar Naya. Suatu saat dia pasti milikmu hahaha," ucap gadis satunya.
"Huh" Naya hanya mengendus kesal.
Naya adalah teman satu UKM dengan Elora namun ia sangat membenci anak itu karena Elora selalu selalu selangkah lebih di dapan dibanding dirinya. Semua mahasiswa yang ia kencani selalu menanyakan Elora. Karena memang keluarga mereka dekat namun tidak dengan dirinya dan eora. Mereka berdua seperti tikus dan kucing yang tidak pernah akur.
Brian membuak pintu mobil dan membantu Elora keluar dari mobilnya.
"Ini rumahmu?"
"Iya… kenapa? Seperti tiada kehidupan ya," ucap Elora pada Brian yang sedang asik mengedarkan pandangan ke rumah besar di hadapanya.
Brian tidak menyadari bahwa ekspresi Elora berubah menjadi sedih.
"Ayo masuk dulu," ucap Elora.
"Aku harus segera pulang," ucapnya kepada Elora.
"Baiklah, terimakasih banyak kak Brian."
Elora melambaikan tangan kepada Brian dan dibalas senyuman tipis dari Brian.
"Ayo pulang paman."
"Wah tuan muda udah move on nih," ucap sopir Brian.
Brian dan sopirnya memang sudah dekat dari kecil, karena memang sejak kecil sopir inilah yang memngantarnya kemanapun dan kapanpun.
Brian tidak menjawab pertanyaan dari sopirnya dan mereka berdua mulai pergi meninggalkan kediaman Elora.
"Astaga… ternyata kak Brian tidak aman buat jantungku," ucap Elora ketika memasuki rumah. Ia memegang dadanya yang masih berdisko di dalamnya.
Jika biasanya dia pulang dengan wajah yang lesu, sekarang dia pulang dengan wajah yang sumringah meskipun kepalanya sangat terasa berat.
'jika kamu tidak segera pergi. Maka jiwa di dalam tubuhmu akan berontak'
Tiba-tiba ucapan Kenza kembali memenuhi kepalanya. Namun ia tidak memperdulikan kata-katab tersebut dulu. Ia bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan sisa darah dari mimisam tadi dan mengganti bajunya.
Ia membuka kertas misterius itu. dan menghela nafas.
"Hah… apa aku benar-benar harus pergi? Aku seperti di dalam dunia fantasi. Ku kira ini hanya ada di dalam novel. Tapi hal seperti inio ternyata ada," Gumamnya kepada diri sendiri.
Elora harus memutuskan dengan tegas sebelum bulan purnama tiba. Karena jika ia terlambat. Jiwa di dalam tubuh Elora akan stidak terkendali dan bisa saja dia akan mati.
Tiba-tiba salah satu ucapan Kenza terputar kembali di kepalanya. 'kalau kamu mau pergi, aku akan menemanimu.'
"Hah… keputusan yang sulit" ujarnya dengan helaan nafas yang lelah.