"Sial ada apa denganku," gumamnya sambil melihat layar Hp nya yang menunjukkan sebuah kontak yang bernama Elora.
Iya ingin sekali memencet tombol untuk panggilan lagi, namun dari tadi malam dirinya sudah menelpon sebanyak 105 panggilan, namun tiada jawaban tiada telpon balik.
"Elora…apa aku telpon lagi?" tanyanya entah pada siapa.
Tanpa seperngatahuan Brian, Jerom telah melihatnya seperti orang yang sedang kebingungan, mondar mandir membawa handpone. Ia ingin menjahili adik satu-satunya itu dan akhirnya..
"DOR!"
"Ah! Astaga Kakak!"
Brian sukses terkejut akibat Jerom yang tiba-tiba muncul dengan gertakanya.
"Ada apa sih… adikku sepertinya sedang bimbang" ucap Jerom sambil melirik layar Hp Brian.
"Elora ya" gumamnya dalam hati.
"Ehem, jika kau rindu telpon saja dia. Daripada nanti nyesel," ucap Jerom dengan genit.
"Hn."
"Jadi, sudah bukan gadis kecil itu lagi nih toko utama dalam kehidupan adikku yang manis ini."
"…."
Tidak ada jawaban dari Brian, menandakan dirinya sekarang sedang dilanda kebimbangan.
"Tidak apa-apa Brian. Bukan salahmu jika kamu membuka hati bagi orang lain. Itu wajar."
Jerom tau apa isi hati adiknya ini, pasti dia masih merasa bersalah pada gadis kecil yang ayahnya telah ia bunuh dan gadis yang telah menggores luka di lengan Brian. Akibatnya Brian tidak bisa memakai baju yang mengespos lengan kekarnya itu.
"Tapi aku pantas jatuh cinta lagi ? setelah menghancurkan kehidupan gadis yang menjadi cinta pertamaku? Aku masih belum bisa melupakanya, namun aku juga ingin melangkah kedepan."
Jerom merangkul pundak Brian. "Sudah berapa kali aku berkata. Tidak apa-apa Brian, jangan merasa bersalah. Toh sekarang kamu belum menemukan dia kembali kan?"
"Tapi-"
"Terserahmu sajalah. Kakak Cuma kasih saran.dan semuanya balik lagi ke sini," ujar Jerom sambil menunjuk dada Brian.
Jerom meninggalkan Brian yang sedang bimbang dan gelisah. Di sisi lain ia masih mengingat alessa disisi lain ia khawatir dengan keadaan Elora.
"Aaahhh!" teriaknya sambil mengacak-ngacak rambut hitamnya yang sudah tertata rapi.
"Telpon lagi ajalah," gumamnya.
Tuuttt Tuuuttt Tuutt
"Halo," Ujar suara lembut, suara yang dirindukan Brian namun dia belum menyadari akan perasaanya.
***
"Halo," ucap Elora setelah melihat nomor yang sudah menelfonnya tadi malam sekarang menelponnya kembali.
"Siapa?" tanya Kenza.
"Tidak tau, dia tidak bicara apa-apa," bisik Elora kepada Kenza yang penasaran.
"Halo…? "
"…"
"Kalau kamu tidak bicara aku matikan saja Tel-"
"Elora!"
DEG
"eh… ini siapa? Kok sepertinya aku kenal suaranya" ucapnya dalam hati.
"Kak Brian?" tanyaya memastikan.
"Hn."
"Kak briaann…!" teriak Elora tanpa suara.
Kenza hanya bisa tersenyum penuh goda kepada Elora. Kemudian ia melanjutkan acara makanya.
"Ada apa kak?"
"Bagaimana keadaanmu? Apa sudah makan?" ucap Brian di seberang sana.
"Aish frontal sekali aku," ringisnya dalam hati.
Brian merutuki dirina sendiri karena terlalu frontal dan terlalu to the point, sekarang martabatnya sebagai pria cuek dan cool sudah runtuh di depan Elora.
"Hehehe sudah kak, ini lagi makan nasi pecel."
"Apa nasi pecel itu?"
Elora benar-benar bingung ketika Brian menanyakan apa nasi pecel itu. ia juga baru kali ini makan makanan seperti ini, namun Elora tidak membantahnya, rasanya memang sangat enak tidak kallah enaknya dengan nasi padang yang ada di restoran terkenal.
"Ummm… nasi pecel itu ada nasinya, ada sambal kac-kacang terus ada kerupuk ditengahnya ada ikan kecilnya."
"Ini apa namanya?" ujar Elora memberi kode pada Kenza untuk menjawab sesuatu yang ia tunjuk.
"Rempeyek" jawab Kenza dengan suara kecil.
"Oh iya ada rempeyeknya, banyak pokoknya," ucap Elora sambil gruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Oh" jawab Brian yang membuat raut muka Elora berubah drastis. Ia mengira balasan Brian tidak sekedar kata 'Hn' atau 'Oh'. Namun ternyata masih sama saja.
"Kak Brian sudah makan?"
"Sudah," ujar suara di sebrang sana.
"Makan apa kakak?"
"Cuma spageti."
"Uwaahh enaknya" ujar Elora. Ia sangat rindu sekali makan spageti bersama orang tuanya pada saat 6 tahun yang lalu. Saat kedua orang tuanya masih belum berantem dan masih menunjukkan keharmonisan di depan Elora.
"aku akan kesana membawa spageti kalau kamu mau," ucap Brian dengan tulus.
"Ah! Tidak kak! Jangan… aku tidak mau merepoti. Tadi malam juga kakak yang mengantar aku dan Kenza ke kosan."
"Hn"
"Oh iya, omong-omong kenapa kakak tadi malam spam telpon? Heheheh," ucap Elora sambil terkekeh.
"…."
Tidak ada jawaban dari Brian, ia bingug harus mengatakan seperti apa. Sedangkan Elora terkekeh geli, ia sudah akrab dengan pria yang ia temui dengan kesal sekarang ia seperti merasakan perasaan yang asing di dadanya.
"Baiklah kalau kamu baik-baik saja. Bisakah nanti malam bertemu?" tanya Brian guna mengalihkan pembicaraan.
Elora tidak tau bagaimana keadaan Brian ketika mengajaknya bertemu. Sekrang wajahnya benar-benar memerah. Selama 27 tahun ia melajang hanya karena mencari dan memikirkan cinta pertamanya yaitu Alessa.
"Ah maaf kak. Aku ada urusan dengan kakek. Bagaimana kalau besok?" ucapnya dengan pasrah.
Sebenarnya Elora juga ingin bisa pergi dengan Brian, namun ia sudah memiliki janji dengan kakeknya yang sangat ia rindukan karena seumur hidup Elora, ia hanya bertemu 2 kali dengan kakeknya, satu saat dirinya masih bayi dan satu lagi saat perayaan anyversary orang tuanya saat umurnya masih 5 tahun. Saat kedua orang tua mereka masih harmonis.
***
"Baiklah sampai bertemu besok."
Setelah mengucapkan tersebut, Brian langsung mematikan telponya.
Deg Deg Deg
"Ada apa ini. Tolong tenanglah," ujarnya sambil memegang dadanya.
"Hahhh"
"Alessa ya… dimana kamu berada. Tak puaskah kamu menyiksaku seperti ini? Kamu terus berada di sini-" Brian menunjuk kembali dadanya. "-ya di lubuk hatiku. Kenapa kamu terus bersarang disana…. Aku sudah berusaha mencarimu tapi sekalipun tidak ada hasilnya. Jika aku punya kesempatan bertemu denganmu… aku akan menjelaskan alasanku membunuh ayahmu. Tolong jangan salah paham kepadaku dan membenciku alessa. Setiap aku ingin menyukai seseorang, dirimu seperti tak merelakanya. Padahal pertemuan kita hanya singkat, namun sangat membekas. Ya… membekas," ucapnya secara panjang lebar,
Brian menyentuh luka di lenganya. Ia sangat ingat dulu 18 tahun yang lalu lenganya di sayat dengan pisau kecil oleh alessa.
"Bekas ini adalah tanda bahwa aku pernah menggendongmu meski yang aku gendong adalah gadis yang membenciku."
Tiada angin tiada hujan Brian berkata seakan-akan mengungkapkamn semua isi hatinya kepada alam. Ia berharap angina akan mengantarkan suaranya ke Tempat alessa berada. Namun sepertinya sia-sia saja. Ia belum tau bahwa alessa yang selama ini ia cari sudah meninggal dan sudah bereinkarnasi menjadi gadis cantik yang akhir-akhir ini mengusik kehidupanya, perasaanya dan pikiranya.