Sore itu juga, Hanan beserta Hana dan Hasna menemui Aksa sekaligus Dion yang sudah ada di rumah tersebut bersama Hasan. Di perjalanan tadi, Hasna sudah menginformasikan bahwa akan ada mantan suaminya di sana.
Jawaban Hanan adalah: "Baguslah. Jadi sekalian."
Lantas, sekarang mereka semua berkumpul di ruang tamu rumah Aksa dengan raut dan perasaan yang berbeda-beda. Ibarat Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetap satu juga. Beda perasaan tapi satu ruangan.
Semuanya membisu dengan perasaan masing-masing, sebelum Mimi—ibu tiri Hasna sekaligus istri Aksa—datang menyuguhkan minuman dan camilan untuk tamu-tamunya.
"Silakan diminum!" Mimi mempersilakan mereka menyantap hidangan.
Tak ada yang menyentuh gelas selain Hana dan Hanan. Mereka pernah diajarkan oleh sang nenek, bahwa ketika tuan rumah mempersilakan menikmati hidangan, wajib dicicipi sebagai penghormatan. Sementara yang lain sibuk dengan pikiran masing-masing. Aksa yang duduk di dekat Hasna memegang bahu putrinya. Kemudian, laki-laki itu bersuara.
"Baiklah, apa tujuan kalian datang ke sini?" Mata Aksa menatap tajam ke arah adik-beradik Hanan-Hana.
Hana agak merasa takut. Bukan karena apa-apa, ia takut Aksa tidak merestui Hanan dan Hasna seperti dahulu. Dilihat betapa akrabnya Aksa dengan Dion tadi adalah alasannya.
"Saya hendak melamar Hasna dan menjadikannya sebagai istri saya. Karena itu, tujuan saya mendatangi rumah ini adalah untuk meminta restu Anda, Pak." Hanan begitu lancar mengutarakan maksud kedatangannya.
Dion tertawa sinis. "Tidak jera."
"Dan apa sebutan untukmu? Tidak tahu malu?" Hasna membela Hanan. Dia tak kalah sinis menanggapi Dion yang memandang rendah ke arah laki-laki yang kini menguasai hatinya.
Melihat itu, Aksa paham kalau anaknya sudah tak lagi menyimpan nama Dion dan telah menggantikan Hanan di lubuk hatinya.
"Sepertinya, kami tidak perlu menjawabnya, Hanan." Aksa berkata lagi. "Kami berharap Hasna tetap kembali dengan Dion."
"Ayah!" Hasna menatap ayahnya dengan ekspresi terluka dan tidak menyangka laki-laki yang paling dihormatinya itu tega berkata demikian.
Mimi yang ada di sana juga sependapat dengan Hasna. Tak seharusnya Aksa menjerumuskan Hasna ke lubang buaya. Sejujurnya Mimi memang tidak menyukai Hasan yang pada kenyataannya adalah anak hasil zina dari Dion dan Rumia. Dengan menikah, mungkin saja Hanan akan menyuruh Hasna mengembalikan—yang menurut Mimi dan sebagian keluarga besar Hasna—aib besar itu kepada Dion atau Rumia yang kini telah menikahi pria lain, bahkan sudah memiliki anak. Berbeda dengan semua, Dion menyeringai, merasa senang dan optimis dalam memenangkan perebutan ini, seperti dahulu. Pikirnya, bisa saja insiden tahun dua ribu enam belas akan terjadi lagi kepada Hanan.
"Ayah belum selesai bicara, Sayang." Aksa tersenyum lembut.
"Dulu memang begitu. Namun, ayah tetap seperti dulu. Menerima menantu yang kamu mau."
Hasna memandang haru ayahnya. Andai saja dulu dia lebih dulu sadar bahwa Hanan yang lebih pantas, lalu membujuk ayahnya sampai laki-laki itu luluh, mungkin saja dia tidak akan semenderita ini.
Hana ingin sekali bersorak dengan semangat kemenangan, tetapi karena di depan banyak orang, dia hanya meremas lengan pakaian abangnya, untuk mengekspresikan kesenangannya. Dion memerah, menahan malu dan marah.
"Terima kasih, Ayah." Hasna mendekap ayahandanya.
Dion berdiri, hatinya mendidih. Dia hendak pamit pulang dengan membawa Hasan. Tentu Dion tahu benar kalau Hasan adalah kelemahan Hasna.
"Okey, kalau begitu … saya pamit bersama Hasan." Dion melirik Hasan yang tengah menonton film animasi pada televisi di depan ruang tamu.
Hanan menarik sudut bibir. "Dalam hukum, Anda tidak berhak membawa Hasan. Dia sudah menjadi milik Hasna dan sebentar lagi akan menjadi milik saya juga. Milik kami berdua."
Wajah Dion semakin memerah, amarahnya sudah meletup-letup. Hasna pun memerah, tetapi karena tersipu dan itu menyenangkan baginya.
"Okey, kalau memang demikian, saya pamit tanpa membawa Hasan." Dion mengulurkan tangan dan disambut Hanan dengan semestinya.
"Saya harap, Anda bisa menghadiri pernikahan kami." Hasna berdiri jumawa, sementara Hana keselek minuman.
"Aku enggak bisa janji."
"Saya hanya basa-basi mengundang, tidak begitu mengharapkan janji. Terakhir saya yakin pada janji, saya malah dikhianati."
Raut wajah semua orang menjadi berubah terkejut karena keberanian Hasna yang tak terduga. Semua pun tahu kalau Hasna tengah menyindir Dion.
Senyum Dion semakin kaku. Setelah salam dia ucapkan, tanpa berlama-lama lagi, langsung saja keluar dari rumah itu.
Aksa mengangkat sudut kanan bibir. Rasa sakit hati putrinya kini terbalaskan. Hanya saja, rasa malunya yang tidak terselamatkan terhadap Hanan. Dahulu, dia benci dan salah paham kepada Hanan. Sekarang pemuda itu malah akan menjadi menantunya. Jika dipikir-pikir, Hanan termasuk setia karena masih mencintai Hasna sampai kini. Dia pun tergelitik untuk menanyakan suatu hal.
"Hanan, boleh saya bertanya?"
Hanan kembali duduk, demikian Hasna. Detak jantung mereka berdua menjadi tidak beraturan. Khawatir pada pertanyaan Aksa.
"Silakan, Pak."
"Sebelum engkau datang melamar Hasna tahun dua ribu enam belas lalu, sebenarnya saya sudah pernah melihatmu pada dua kesempatan. Ketika di perumahan kami dulu dan ketika di bengkel, saat itu Hasna dan Hana akan lulus dari SMP." Aksa mengenal Hana dengan baik, meski dulu tidak begitu menyukainya karena Hanan.
"Dari sana, saya langsung tahu bahwa ada pandangan lain di matamu untuk Hasna, padahal dia masih sangat kecil untuk bisa mengenal asmara." Aksa tersenyum mengingat kenangan terdahulu.
"Apa yang membuatmu bisa yakin kalau Hasna akan engkau dapatkan suatu hari?"
Hana, Hasna dan Mimi mendengarkan dengan saksama.
Hanan berdeham. "Anda pun telah melihat, kini Hasna akan menjadi istri saya. Restu dari Anda pun sudah saya dapatkan."
Kemudian, pemuda itu tersenyum. "Saya hanya berkeyakinan, kalau memang ditakdirkan berjodoh, maka berjodoh. Tapi, saya tanyakan lagi kepada Anda. Apakah maksud Anda adalah alasan dari penantian saya yang begitu lama ini?"
Aksa mengangguk, kemudian tertawa kecil. Pandangan matanya terfokus kepada putri sulung Rina.
Hanan mengambil napas. "Dahulu ada Sultan di Jambi bernama Thaha yang mengirimkan surat kepada Khalifah Abdul Majid ke Istanbul Turki. Beliau begitu yakin dan husnudzon kalau sang khalifah akan membalas suratnya dan memberikan perlindungan bagi tanahnya yang sudah mulai dijajah Belanda."
Hanan berhenti sejenak. "Selama empat puluh enam tahun, beliau menanti. Hingga suatu hari beliau mengirim surat kembali, melalui Kemas Abdul Karim."
"Singkatnya, Kemas berhasil membuat haru khalifah yang telah berganti, Sultan Abdul Hamid Khan II. Beliau pun memberikan medali untuk dihadiahkan kepada Sultan Thaha, melalui Kemas sang utusan dari Jambi. Namun, sayangnya Sultan Thaha telah wafat, syahid di tangan para penjajah Belanda."
Hana tidak tahu di mana letak korelasinya antara kisah tadi dengan perjalanan cinta Hanan-Hasna. Namun, tidak mau terlihat bodoh, dia tidak memasang raut wajah kebingungan. Bahkan ia bertingkah layaknya mengetahui segalanya.
"Empat puluh enam tahun, beliau yakin dan berkhusnudzon. Jika pada Khalifah saja beliau begitu yakin, kenapa saya yang kepada Allah tidak bisa lebih yakin daripada Sultan Thaha?"
Lain Hana, lain pula Aksa. Dia jelas tahu makna apa yang terkandung dalam kisah ini dan hubungannya dengan perasaan dan penantian Hanan. Laki-laki tua itu tersenyum.
"Aku tahu kenapa dulu, Hasna tidak bisa menjauhi Hana dan tidak terganggu olehmu walaupun dia tahu kau menyukainya."
Hanan tersenyum lembut. Hasna dan Hana saling pandang, berkomunikasi lewat mata, seakan mereka sedang berkata bahwa begitu senang dengan situasi saat ini.
"Saya telah salah menilaimu. Apakah pintu maaf masih terbuka bagi seseorang yang pernah menyakiti hatimu ini?"
Hanan tersenyum lembut. "Tentu saja."