"Kau dimana?" ucap seorang wanita di seberang sana.
Daniel memejamkan mata sejenak, menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan kekasihnya yang menelfon di seberang.
"Hai? Bagaimana kabarmu? Apa kau masih marah padaku?" sapa Daniel berusaha untuk setenang mungkin menjawab pertanyaan kekasihnya.
"Daniel, jawab aku. Dimana kau sekarang? Sudah satu minggu kau pergi! Bahkan tak sekalipun kau memberi kabar padaku, setidaknya mengirim pesan. Agar aku tak begitu khawatir padamu."
"Senang rasanya mendengarmu khawatir lagi padaku."
"DANIEL! JAWAB AKU! Dimana kau sekarang!"
"Aku berada di tempat yang aman, honey. Jangan khawatir. Setelah mendengar suaramu. Aku menjadi semakin rindu padamu."
"Jangan membual Daniel! Aku tau kau di Phuket. Jika kau tak mau pulang. Maka batalkan saja pernikahan kita."
"Luna! Apa maksudmu? Jangan berucap sembarangan. Pernikahan kita akan tetap berlangsung. Aku sudah membicarakan ini dengan orang tuaku. Dan mereka sepakat, akan mengadakan pernikahan kita dua bulan lagi."
"Dua bulan?"
"DANIEL! Kita sudah menunggu-nunggu hari itu. Hari dimana kita mengikrarkan janji suci dihadapan Tuhan. Kita sudah menyiapkan semuanya dengan sangat matang. Lalu kenapa kau mengiyakan saran orang tuamu? Kenapa kau mengundurnya terlalu lama? Apa karena aku sakit?"
"Daniel! Aku sudah sembuh! Aku ini sehat! Aku baik-baik saja. Harusnya pernikahan kita tetap berlangsung di tanggal yang sama. Tak perlu adanya perubahan apalagi diundur sampai dua bulan. Harusnya kau bisa meyakinkan orang tuamu."
"LUNA! Ini sudah menjadi keputusanku. Aku ingin kau benar-benar pulih, dan menstabilkan emosimu. Pernikahan kita akan sia-sia, jika kau masih saja bersikap seperti ini. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri, Luna. Kau masih saja egois!"
"Apa kau bilang? Memikirkan diriku sendiri? Egois?"
"Jadi maksudmu, hanya aku yang menginginkan pernikahan ini? Sedangkan kau tidak?"
Luna terkekeh getir disana. Ia meremat rambutnya kasar. Tak habis pikir dengan ucapan pria yang masih berstatus tunangannya.
"Bukan begi—"
"Diam!" bentak Luna. Ia mengambil nafas panjang sebelum kembali berucap.
"Baik. Anggap saja aku yang egois disini. Karena begitu menginginkan pernikahan kita. Tapi Daniel, ada sesuatu yang membuatku penasaran." Luna menjeda ucapannya.
"Apa benar, bahwa orang tuamu yang menginginkan pengunduran pernikahan kita? Bukan kau?"
"Maksudmu apa Luna? Kau tak percaya padaku?"
"Aku sangat percaya padamu. Sangat amat percaya. Bahkan aku sampai merasa bodoh, karena begitu percaya padamu! Tapi Daniel,"
"Ucapanmu yang mengatakan aku egois. Membuatku berpikir. Bahkan kaulah yang sebenarnya ingin menunda pernikahan kita."
"LUNA! APA MAKSUD UCAPANMU? Aku juga menginginkan pernikahan kit—"
"Baby? Siapa?" terdengar suara wanita samar-samar di seberang telfon. Luna menekukkan alis, penasaran.
"Daniel? Siapa wanita itu?"
"Ah maafkan aku, sekretarisku memanggilku. Aku harus kembali bekerja. Nanti akan kuhubungi lagi."
"Tapi aku belum sele—"
Bip.
Dan telfon pun diputus secara sepihak oleh Daniel.
"Sial! Rupanya kau bersama baby-mu itu Daniel?"
Luna meremat kuat ponsel dalam genggamannya. Tatapannya begitu tajam, menyala bagai kobaran api yang siap meledaknya segala benda yang ada di dekatnya.
Luna segera menekan layar ponselnya. Mencari nama seseorang disana.
"Anji, kau dimana sekarang?"
*
*
"Luna, calm down." Rosa menggenggam tangan Luna. Mencoba menenangkan sahabatnya yang terlihat begitu gelisah, dengan emosi yang tidak stabil.
"Selamat siang Nona Luna?"
Luna dan Rosa menoleh, mendapati Anji. Sekretaris Daniel telah datang.
"Hai? Silahkan duduk." Rosa dengan sopan mempersilahkan Anji untuk duduk.
Mereka kini sedang berada di sebuah cafe dekat apartemen Luna. Ia sengaja mengajak Rosa dan Anji bertemu. Karena jika dia seorang diri yang bertemu Anji. Luna takut emosinya semakin tak terkendali. Dan Anji tak mau menjawab jujur semua pertanyaannya.
"Nona Luna, apa yang membuatmu mengajakku bertemu disini?" tanya Anji dengan sopan. Mengingat Luna adalah tunangan dari bosnya.
"Sebelum kau kesini. Apa kau sempat menelfon Daniel, bahwa kau akan bertemu denganku?" tanya Luna memastikan.
Anji sempat menggigit bibirnya, merasa gugup dan ragu menjawab pertanyaan Luna.
"Anji, jawab aku."
"Sebenarnya Tuan Daniel menyuruhku untuk selalu melapor padanya, tentang semua hal yang berkaitan denganmu Nona. Jadi, saat kau selesai menelfonku. Aku langsung menelfon tuan Daniel. Namun Tuan Daniel tak menjawab telfonku."
Plok...plok...plokk....
Rosa dan Anji tertegun, melihat Luna tiba-tiba bertepuk tangan setelah Anji menyelesaikan kalimatnya.
"Benar-benar amatiran. Bahkan dia sangat bodoh menyembunyikan kebohongannya padaku." Ujar Luna.
"Maksud anda apa Nona?"
"Maksudku adalah," Luna menatap lekat Anji yang begitu penasaran akan maksud ucapan Luna.
"Bosmu yang genius itu, sangat bodoh menyembunyikan perselingkuhannya di belakangku."
"Apa?" Anji memekik tak percaya. "Siapa yang selingkuh Nona?"
"Tentu saja bos yang selalu kau patuhi itu." Ujar Luna.
"Apa? Tuan Daniel selingkuh? Tidak mungkin Nona. Aku tak pernah sekalipun melihatnya dengan wanita lain. Lagipula dia sudah bertunangan denganmu. Dan setauky, tuan Daniel begitu mencintai Nona. Dia sangat setia padamu Nona."
Luna kembali terkekeh lirih. Ia melirik Anji dengan ekor matanya.
"Setia kau bilang?"
"Kalau begitu, lihat ini."
Luna menekan layar ponselnya. Mencari nama seseorang disana, lalu menekan tombol memanggil.
"Halo Honey? Masih sibuk disana?" sapa Luna seraya menatap Anji di depannya.
"Ah, Hai honey? Maaf tadi aku menutup telfonnya lebih dulu. Sekretarisku memangilku, ya kau tau sendirilah bagaimana sekretarisku kalau soal pekerjaan. Harus disiplin waktu."
"Tidak apa-apa honey. Aku sangat mengerti dengan kesibukanmu. Tapi setidaknya kau menelfonku sesekali. Mengabari bagaimana keadaanmu disana."
"Maaf honey. Aku hanya tak ingin mengganggu waktumu. Kau harus banyak istirahat dan menenangkan pikiranmu."
"Ouchh Honey, kamu manis sekali. Aku jadi merindukanmu."
"Aku juga sangat merindukanmu, honey. Aku ingin memelukmu sekarang."
"Ah, aku jadi kesal dengan sekretarismu. Karena telah menculikmu ke Phuket. Dan membuatmu sibuk dengan segudang jadwal yang disusunnya." Luna melirik Anji yang membelalak padanya.
Anji benar-benar tidak paham akan situasi saat ini. Kenapa ia harus berada disini. Dan kenapa, bosnya menyeret namanya masuk ke dalam rencana yang bahkan ia tak ketahui.
"Kau benar honey. Aku juga terkadang kesal padanya. Tapi jika bukan dia. Aku akan keteteran dengan jadwal-jadwal tak tersusun rapi. Sekretarisku memegang penting peranan dalam kesuksesanku , honey."
"Ah benarkah begitu? Maka aku harus memberi hadiah spesial padanya. Karena telah bekerja dengan baik sangat baik untukmu."
"Kau terlalu berlebihan Honey. Anji tak perlu kau berikan hadiah. Cukup aku saja yang berhak menerima hadiah darimu."
"Ah, jadi Anji yang menculikmu ke Phuket dan menyuruhmu berkerja jauh dariku, honey?"
Anji merasa tercekik. Orang yang dibicarakan mereka sejak tadi adalah dirinya. Orang yang tak tau apapun dari segala rencana busuk bosnya. Anji bersumpah akan mencekik Daniel, ketika pria itu kembali ke kantor. Dan meminta penjelasan padanya. Kenapa telah menyeret namanya ke dalam permasalahan dua kekasih ini.
"Iya Anji. Siapa lagi? Kau tau sendiri kan, aku hanya memiliki satu sekretaris. Dan dia hanya Anji. Lagipula aku tak mau memiliki banyak sekretaris. Cukup Anji saja. Selain kerjanya bagus. Anji juga tak akan membuatmu cemburu, karena dia pria. Aku khawatir kau akan cemburu jika aku memiliki sekretaris wanita, honey."
"Kukira kau bersama sekretaris yang lain Honey. Baiklah, kurasa sudah terlalu lama aku mengambil waktumu. Lanjutkan pekerjaanmu honey. Sebelum Anji memarahiku karena telah merebut waktu bosnya yang tak disiplin waktu."
"Kau ada-ada saja honey. Anji tak akan berani memarahiku. Tapi sepertinya aku memang harus kembali bekerja. Nanti kutelfon lagi ya honey. I love you."
"Ya, selamat bekerja."
Bip.
Luna menutup sambungan telfon, tanpa membalas ucapan cinta kekasihnya.
"Bagaimana? Sekarang kau percaya? Bahkan namamu selalu dibawa-bawa olehnya. Yang jelas-jelas ada di depanku sekarang. Jika bukan kau yang bersamanya di Phuket. Lalu siapa?"
"Nona, aku benar-benar tidak tau masalah ini. Bahkan aku sangat terkejut mendengar namaku dijadikan alasan untuk kepergiannya ke Phuket. Aku bahkan tidak tau Tuan Daniel berangkat ke Phuket. Dia hanya mengatakan padaku akan keluar Kota. Dan menyerahkan semua pekerjaan padaku."
"Lupakan soal pekerjaan. Jika Daniel menyerahkan semua pekerjaannya padamu. Lalu apa yang dia lakukan di Phuket?"
"Dan siapa wanita itu."
"Apa dia adalah orang yang kau curigai Na?" Ujar Rosa curiga.
Luna menatap sahabatnya. "Kurasa iya. Karena telingaku tidak tuli. Meskipun samar, aku mendengar. Seorang wanita memanggilnya dengan panggilan baby."
*
*
Bersambung