"Jadi kau sedang berada di New Jersey sekarang?" tanya Amy pada ponselnya. Ia sedang menikmati makan siang di sebuah restoran di Greenwich Village bersama Sharon ketika ia menerima telepon dari Kai yang memberitahunya kalau lelaki itu sedang melakukan pemotretan bersama Alison di New Jersey.
"Ya," jawab Kai di ujung sana. "Alison baru saja selesai mewawancarai seorang CEO pemilik brand baju ternama di sini. Dan aku baru akan mengambil gambar wanita itu setelah makan siang."
"Wanita?" tanya Amy tanpa sadar. "CEOnya seorang wanita? Apa dia cantik?"
Kai terkekeh. "Ya, dia seorang wanita dan... ya, dia cantik."
Amy tanpa sadar mengerutkan dagu lalu mengalihkan pembicaraan. "Suaramu masih terdengar sumbang. Kau sudah merasa baikan?"
"Ya. Aku sudah baikan. Satu-satunya hal yang menggangguku saat ini hanyalah hidungku."
"Apa kau akan pulang terlambat hari ini?"
"Sepertinya tidak. Setelah pengambilan gambarnya selesai, aku dan Alison serta tim jurnalis akan segera kembali ke New York. Dan aku akan tiba kira-kira sebelum jam enam. Kau akan menungguku?"
Amy mengangkat sebelah bahu dan menopang dagu. "Tidak masalah. Tapi kau perlu mengingat kalau aku tidak suka menunggu lama-lama."
Amy mendengar Kai tertawa. Dan entah bagaimana, tawa itu menghipnotis Amy untuk tersenyum. "Aku tahu dan aku mengingatnya dengan baik. Tapi, jangan khawatir. Kurasa penantianmu tidak akan sia-sia karena malam ini aku akan mengajakmu ke suatu tempat begitu aku kembali nanti."
Kedua mata Amy melebar seketika. "Oh, ya?"
"Mm-hmm."
"Ke mana?"
"Rahasia," jawab Kai dengan nada suara menggoda. "Yang pasti, aku akan menepati janjiku malam ini."
Tanpa diduga, Amy telah mencondongkan tubuhnya dengan tidak sabar. "Kalau begitu, aku akan menunggu. Tepati janjimu, Kai."
"Tentu saja aku akan menepati ucapanku. Kau hanya perlu bersiap-siap. Sampai jumpa nanti malam."
"Sampai jumpa." Amy menutup telepon kemudian kembali menyantap steak panggang yang menjadi menu makan siangnya.
Sharon yang duduk di hadapannya, tiba-tiba menyeletuk, "Apa itu tadi Kai?"
"Yup." Amy menjawab dengan mulut yang penuh.
"Kau bilang kau akan menunggunya. Jadi, kalian punya rencana malam ini?"
Amy mengangkat wajah pada Sharon. Kedua mata temannya yang satu itu tiba-tiba memancarkan cahaya rasa ingin tahu yang silau. Amy mencibir kemudian mengendikkan bahu. "Entahlah. Mungkin?"
"Mungkin?" tanya Sharon sambil tertawa tidak percaya. "Kau begitu terlihat tidak sabar dan senang saat berbicara dengan Kai tadi. Aku tidak yakin kalau malam ini kalian hanya akan melakukan 'mungkin' bersama."
Amy tertawa dan menggelengkan kepala. "Well, dia bilang dia akan mengajakku ke suatu tempat setelah dia kembali dari New Jersey dan dia tidak mengatakan kemana dia akan mengajakku. Itulah kenapa aku hanya bilang 'mungkin'."
Kali ini Sharon yang mencondongkan badan dengan wajah tidak percaya. "Benarkah?"
Amy mengangguk sambil mengunyah steaknya.
"Sepertinya dia akan mengikuti saranku," gumam Sharon sambil tersenyum sendiri.
"Apa?" Amy memandang Sharon tidak mengerti.
"Tidak apa-apa," ujar Sharon.
Tidak lama setelah itu, Amy dikejutkan kembali dengan suara ponselnya yang berdering. Amy mengambil telepon genggamnya lalu mengangkat kedua alis kaget ketika melihat nama Aaron Hale muncul pada layar ponsel. Amy mengusap permukaan mulutnya dengan tisu lalu buru-buru menjawab panggilan tersebut. "Halo?"
"Hei, Amy. Apa aku mengganggumu?"
"Oh, tidak. Tidak sama sekali. Bagaimana kabarmu, Aaron?"
Amy dapat melihat Sharon melebarkan kedua matanya dengan penasaran saat mendengar nama pria yang meneleponnya.
"Aku baik-baik saja. Eh... apa kau sedang sibuk?"
Suara Aaron terdengar sangat merdu kapan pun dan dimana pun. Dan Amy selalu berhasil tersenyum dibuatnya. "Tidak, aku tidak sibuk sama sekali. Aku sedang makan siang bersama temanku."
Sharon mencibir saat mendengar Amy menekankan kata 'tidak sibuk'.
"Ngomong-ngomong, aku ingin bertanya padamu. Apakah kau ada acara malam ini?"
"Oh, memangnya ada apa?" Amy balas bertanya dengan bingung.
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin mengajakmu makan malam bersama di Tribeca jika kau punya waktu kosong malam ini. Apa... kau bisa?"
"Oh, benarkah? Senyum Amy mengembang. Kemudian ia teringat kalau ia sudah terlebih dulu punya janji dengan Kai. Amy langsung menjawab, "Oh, maafkan aku, Aaron. Aku tidak bisa pergi bersamamu karena aku sudah memiliki janji dengan temanku malam ini. Tapi, aku sungguh-sungguh ingin pergi jika tidak punya acara."
"Ah, begitu rupanya. Bagaimana kalau besok malam? Apa kau bebas?"
"Besok?" Amy mengingat-ingat jadwalnya dengan cepat lalu, "Besok aku tidak punya janji apapun. Kita bisa pergi besok."
"Okay, baiklah kalau begitu. Sampai bertemu besok, Amy."
"Sampai jumpa."Amy menjauhkan telepon genggamnya dari telinga dan memandang Sharon dengan senyum simpul. "Aaron mengajakku pergi lagi."
Sharon menyeruput ice cappucinonya dengan sedotan lalu menggelengkan kepala. "Aku tidak mengerti," ujar Sharon lalu memandang Amy dengan tatapan mencurigai. "Kau terlihat sangat gembira ketika mendapat telepon dari Kai dan sekarang kau juga tersenyum tidak jelas begitu Aaron mengajakmu pergi. Sebenarnya siapa yang mau kau pilih?"
Amy mengerjap kaget. "Pi-pilih?" tanya Amy dengan nada tinggi. "Apa maksudmu?"
"Yang mana yang kau suka? Kau tidak bisa kan berkencan dengan dua pria sekaligus? Itu namanya perselingkuhan. Dan –aku bukannya berpihak pada Kai– tapi, sepertinya pria baik seperti Kai tidak pantas diselingkuhi."
Amy mendecakkan lidah lalu menggeleng-geleng. Sejak diceritakan cerita mengenai masa lalunya dengan Aaron Hale, Sharon jadi lebih sering ikut campur dalam masalah hubungannya dengan pria. Dan Amy hanya bisa mengelak setiap saat Sharon mengangkat pembicaraan ini. "Aku ini bukan sedang mengadakan sayembara pemilihan pria pendamping hidup," kata Amy. "Ini hanya kebetulan saja. Kai mengajakku pergi malam ini dan Aaron mengajakku pada malam berikutnya. Aku tidak perlu memilih."
Sharon mendesis lalu menghela napas. "Tapi, entah kenapa, menurutku kau lebih cocok dengan Kai."
Alis Amy berkerut.
"Yah, walaupun aku tidak tahu apakah kau menyukai Kai sebesar aku menyukai melihat kalian berdua bersama." Sharon menimpali sebelum Amy sempat mengatakan sesuatu. "Tapi, ingat ya. Hari ini atau besok atau kapanpun, kau akan diperhadapkan dengan pilihan. Dan saat itulah kau harus memilih."
Sharon kemudian melambaikan tangan pada seorang pramusaji dan memberikan tanda kalau ia meminta bon untuk diantarkan. Pada saat itu, Amy tertegun.
Sambil memandang ponselnya yang tergeletak di sampingnya, Amy menggigit bibir. Ia tidak yakin siapa yang akan dipilihnya. Tapi, yang ia tahu pasti, ia baru saja menolak ajakan Aaron demi pergi bersama Kai. Dan pria itu lebih baik menyiapkan segala sesuatunya dengan baik sebelum ia berubah pikiran dan meminta Aaron untuk mengajaknya lagi.
* * *
Sudah jam enam. Dan Kai serta rombongannya belum juga kembali. Amy mendengus lalu kembali memainkan permainan kartu membosankan di dalam komputernya. Ia meletakkan dagu di atas meja lalu mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya dengan enggan di atas permukaan mouse.
Tidak lama kemudian, Amy samar-samar mendengar suara Alison di koridor di depan ruang kerjanya.
"Oh, Simon! Tolong kirimkan seluruh berkasnya pada Sharon malam ini juga. Aku mau dia melihat drafmu segera. Thanks!"
Tidak salah lagi. Itu Alison. Mereka sudah kembali! Amy menegakkan badan lalu langsung bangkit dari kursi kerjanya. Ia melesat keluar ruangan lalu menghampiri Alison yang baru saja hendak memasuki ruangannya.
"Oh, hai, Amy. Kau belum pulang?" tanya Alison sambil berjalan masuk ke ruangannya.
Amy mengikuti Alison dari belakang lalu menggeleng. "Belum. Aku menunggu Kai. Di mana dia?"
Alison yang sedang membereskan mejanya langsung berhenti bergerak ketika mendengar pertanyaan Amy. Kemudian ia menegakkan badan dan menatap Amy dengan kedua alis terangkat. "Kau belum tahu?"
Amy mengerutkan sebelah alis. "Tidak. Tahu apa?"
"Ah, sepertinya Kai belum menghubungimu." Alison kembali membereskan mejanya. "Jake –salah satu staf magang baru di tim jurnalis– mengalami kecelakaan kecil saat menyeberang jalan. Akibatnya, dia tidak bisa ikut pulang bersama kami. Dan Kai memutuskan untuk menemani Jake di rumah sakit sampai besok."
"Oh, ya ampun." Amy tanpa sadar mengangkat tangannya ke depan mulut. "Apakah Kai baik-baik saja?"
Alison mengerutkan kening sambil tersenyum bingung. "Bukankah seharusnya kau menanyakan keadaan Jake?" Alison setengah tertawa. "Tentu saja Kai baik-baik saja. Yang terluka hanya Jake."
Amy diam-diam bernapas lega lalu melangkah mundur. "Oh, baiklah. Terima kasih atas informasinya, Al."
Amy bergegas kembali ke ruangannya. Hal pertama yang ia cari adalah ponselnya. Ia buru-buru menyalakan ponselnya dan baru hendak menghubungi Kai ketika ia melihat banyak panggilan tak terjawab. Oh, celaka. Semua panggilan tersebut berasal dari Kai. Dan ia baru ingat kalau ia membiarkan telepon genggamnya dalam mode sunyi. Pantas saja ia tidak mendengar apapun sejak tadi.
Amy menggigit bibir lalu menekan nomor Kai. Tidak sampai satu menit, pria itu menjawab, "Amy? Kau baik-baik saja?"
Amy baru bisa bernapas lega ketika mendengar suara Kai. "Kenapa kau bertanya begitu?"
"Aku mencoba menghubungimu berulang kali dan kau tidak menjawab. Aku takut sesuatu terjadi padamu. Apa kau baik-baik saja?"
Seulas senyum kecil tersungging di wajah Amy. Lelaki itu mengkhawatirkannya. "Ya, aku baik-baik saja." Lalu Amy teringat sesuatu yang membuat senyumnya menyusut seketika. "Kau tidak pulang malam ini."
"Ah, ya. Aku meneleponmu untuk memberitahu kalau-,"
"Alison sudah memberitahuku. Kau harus menemani Jake di rumah sakit, bukan?" sela Amy sambil berkacak-pinggang di ujung meja kerjanya.
"Ya, dan aku benar-benar minta maaf. Aku jadi tidak bisa pergi denganmu."
Amy meniup dahinya. "Sebenarnya kau bisa saja kan tidak menemani Jake di sana? Maksudku ada orang lain yang bisa menemaninya. Kenapa harus kau?"
Kai menghela napas di ujung sana. "Alison meminta salah satu dari kami untuk menemani Jake di sini. Dan semua staf mengaku kalau mereka benar-benar sibuk. Hanya aku satu-satunya yang memiliki waktu fleksibel. Jadi, aku memutuskan untuk tinggal di sini sampai besok."
"Bukankah kau juga sibuk? Kau punya rencana dan janji."
"Aku tahu. Tapi aku tidak bisa menolak." Kai mendesah dan suaranya terdengar amat kecewa. "Aku minta maaf, Amy. Aku janji aku akan menepati janjiku begitu aku kembali."
"Tidak bisa. Besok aku pergi dengan Aaron," jawab Amy, terlalu cepat.
Kai tidak langsung menjawab. Lelaki itu terdiam beberapa detik sebelum akhirnya kembali menyahut, "Bagaimana dengan besok lusa?"
Amy menggigit bibir lalu menunduk menatap meja kerjanya. "Entahlah. Mungkin," celetuk Amy sambil mengendikkan bahu.
"Aku sudah menyiapkan sesuatu."
"Bagus." Dan ia sangat ingin melihatnya hari ini, malam ini. Tapi pria itu menundanya. Benar-benar bagus.
"Kalau begitu, aku akan meneleponmu lagi besok. Maaf, kau harus pulang sendiri, Amy."
"Tidak apa-apa."
"Menyetirlah dengan hati-hati. Selamat malam."
"Mm." Hanya itu yang Amy ucapkan sebelum akhirnya menutup telepon.
Amy sudah mengharapkan sesuatu yang amat istimewa malam ini. Ia berpikir Kai akan mengajaknya nonton bersama, makan malam di sebuah restoran Itali atau semacamnya lalu berjalan-jalan di taman seperti yang selalu dilakukan oleh siapapun yang sedang berkencan. Tapi, harapannya itu menguap seketika. Rencananya batal dan ia harus pulang sendirian malam ini.
Amy mendengus kesal kemudian membereskan mejanya dan bersiap-siap pulang. Ketika ia baru saja keluar dari ruangannya, ponselnya bergetar. Ada pesan masuk. Amy berhenti berjalan dan membacanya.
Jangan marah terlalu lama. Kau tahu, kau sangat menyeramkan jika sedang marah. Dan lagi, aku pernah membaca sebuah artikel di internet yang mengatakan kalau seseorang bisa cepat menua jika terlalu sering marah. Dan kurasa, menurutku kau jauh terlihat lebih cantik jika sedang tertawa.
Amy mendapati dirinya tersenyum kecil ketika menyadari Kai adalah pengirim pesan tersebut. Kemudian, sambil berjalan menuju lift, Amy membalas:
Aku tidak marah. Dan aku tidak sering marah.
Amy sudah berada di dalam mobilnya saat ponselnya kembali bergetar.
Aku memiliki radar di dalam tubuhku yang bisa mendeteksi kapan kau sedang marah. Dan aku selalu ketakutan setengah mati setiap saat lampu merah pada radarku berkedip-kedip.
Senyuman di wajah Amy melebar. Kemudian, sebelum ia menyalakan mesin mobil, Amy kembali mengirimkan balasan:
Well, kalau begitu radarmu itu perlu diperbaiki. Aku sedang tidak marah.
Amy meletakkan ponselnya di atas kursi penumpang di sampingnya lalu mulai mengemudi. Pesan balasan dari Kai sudah tiba beberapa menit kemudian, namun Amy tidak langsung melihatnya. Ia fokus menyetir sampai akhirnya ia tiba di apartemen lima belas menit kemudian. Sambil bersenandung kecil, Amy turun dari mobilnya dan membaca pesan dari Kai.
Lihat apa yang kubeli untuk makan malam.
Di bawah tulisan pesan tersebut, terdapat sebuah foto makanan yang dikirim oleh Kai. Amy memperbesar foto tersebut lalu tersenyum geli. "Kungpao Chicken," celetuk Amy, menyebutkan nama makanan yang dikirim oleh Kai. Amy sedang menaiki tangga menuju apartemennya saat membalas:
Kau memakannya tanpa aku. Bagus.
Melihat gambar Kungpao Chicken milik Kai membuat Amy menjadi lapar. Apa yang harus ia makan malam ini? Amy mengecek isi lemari esnya begitu ia sudah tiba di apartemennya. Ia lalu mengeluarkan sebutir telur dan mentega setelah memutuskan akan membuat sandwich sederhana. Amy baru akan mulai memasak ketika ponselnya bergetar lagi, menandakan ada pesan yang masuk.
Kau salah. Aku justru sedang memakannya bersamamu saat ini.
Amy mendengus lalu membalas:
Bagaimana mungkin?
Lalu tidak sampai dua menit kemudian, pesan balasan dari Kai tiba.
Karena aku memakannya sambil memikirkanmu.
Amy hampir saja menjatuhkan ponselnya saat ia merasakan jantungnya melonjak. Ia memandangi layar ponselnya cukup lama lalu mendapati sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Amy belum sempat membalas pesan Kai saat ponselnya kembali bergetar. Pesan lagi.
Radarku sudah berhenti berkedip. Sepertinya kau sudah tidak marah. Sekarang aku bisa makan dengan tenang.
Kai berhasil membuat Amy tertawa sendiri.
Nikmati makan malammu dan berhentilah mengirim pesan kalau kau tidak mau Kungpao Chickenmu dingin. PS: aku sedang berusaha makan di sini dan aku tidak marah.
Amy mengirim pesan balasannya yang langsung dibalas oleh Kai satu menit kemudian.
Baiklah. Selamat menikmati makan malammu, Amy. Dan selamat beristirahat.
Amy meletakkan ponselnya di atas meja dapur lalu mulai memasak. Selama kedua tangannya bergerak lincah membuat makan malam, isi pikiran Amy tidak henti-hentinya memikirkan pesan-pesan yang dikirim oleh Kai. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Amy merasa bahagia. Lalu, tiba-tiba ucapan Sharon tadi siang menerobos masuk ke dalam benaknya dan membuat Amy bergeming.
Hari ini atau besok atau kapanpun, kau akan diperhadapkan dengan pilihan. Dan saat itulah kau harus memilih.