Chereads / Second of May / Chapter 7 - Bab Tujuh

Chapter 7 - Bab Tujuh

Sejak kejadian malam itu, Kai menepati janjinya untuk selalu memberitahu Amy kemana pun ia pergi.

"Hei, Amy. Aku baru saja tiba di Hudson Street."

"Aku sedang dalam perjalanan ke Fifth Avenue. Alison memintaku untuk mengambil foto di sana. Ternyata pemandangan di sini lumayan bagus."

"Amy, aku sedang ada di Times Square. Apa kau mau menitip sesuatu?"

"Apa kau sudah melihat foto yang kukirim? Aku sedang berada di Greenwich Village, sedang melakukan pemotretan outdoor."

"Aku sedang mampir di Chinatown. Apa kau mau kubelikan kungpao chicken?"

Dan akhirnya, Amy terkikik geli saat mendengar Kai bertanya, "Amy, kemana aku harus pergi setelah berbelok ke 14th Street? Aku sudah memutari jalan ini hampir tiga kali dan aku belum juga menemukan restoran yang kau maksud. Oh, astaga. Orang-orang ini tidak tahu bagaimana cara meminta maaf setelah menabrak orang."

Sambil menjepit ponselnya di antara bahu dan telinga, Amy mengambil tas tangannya dan menjawab, "Coba belok ke arah utara lalu carilah toko musik. Restoran favoritku ada di sebelah toko musik itu."

Kai baru saja menyelesaikan sebuah pemotretan di Union Square. Dan ketika lelaki itu memberitahunya kalau ia sedang berjalan-jalan di sekitar Fifth Avenue, Amy langsung teringat makanan favoritnya yang terletak tidak jauh dari sana. Lalu akhirnya, Amy meminta Kai untuk pergi ke sana dan membelikan turkey sandwich.

"Ah! Itu dia. Aku menemukannya." Kai menyeletuk setelah beberapa detik terdiam. "Hanya turkey sandwich? Itu saja? Kau tidak mau membelikan sesuatu untukku?"

Amy mendapati senyumnya mengembang. "Aku sudah membelikan sesuatu yang lain untukmu."

"Oh, ya? Apa itu?"

"Makan malam gratis."

"Oh, bagus. Itu yang selalu kunikmati setiap malam," keluh Kai sambil setengah tertawa. "Baiklah, aku akan meneleponmu lagi nanti. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa, Kai. Hati-hati di jalan!"

Amy menutup telepon lalu kembali duduk di balik meja kerjanya. Ketika kedua tangannya mendarat di atas permukaan keyboard komputernya, ponselnya berdering kembali. Amy mengambil telepon genggamnya kemudian mengangkat kedua alis kaget ketika melihat nama Aaron Hale tertera di layar. Dengan gerakan cepat, Amy menjawab panggilan tersebut, "Halo?"

"Hai, Amy. Apa kau sedang sibuk?"

Amy melirik tumpukan kertas dan foto yang berada di sampingnya lalu menyahut, "Tidak. Aku tidak sibuk."

"Oh, benarkah? Kalau begitu, apakah kau bersedia untuk makan siang bersamaku? Aku yang traktir."

Senyum Amy melebar dan ia mengangguk pasti. "Tentu saja. Kau sedang tidak sibuk?"

"Tidak. Aku baru saja menyelesaikan proyekku. Kalau begitu, aku akan menunggumu di Soho. Bagaimana?"

"Baiklah. Aku akan tiba di sana dalam lima belas menit."

Amy mengakhiri panggilan, lalu cepat-cepat bangkit berdiri. Ia membereskan barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tas lalu melesat keluar dari ruang kerjanya. Pekerjaannya sudah hampir selesai, dan ia hanya perlu menyelesaikan beberapa editan gambar untuk minggu depan. Jika ia tidak bisa menyelesaikannya di kantor, ia bisa mengerjakan beberapa di rumah malam ini. Yang terpenting saat ini adalah makan siang bersama Aaron Hale. Ia sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama lelaki itu setelah 10 tahun dan Amy tidak bisa melewatkan kesempatan ini.

* * *

Amy akhirnya tiba di Soho dua puluh menit kemudian. Ia dan Aaron memilih restoran cepat saji yang terletak tidak jauh dari gedung kantor Aaron dan memesan makanan yang dulu menjadi makanan kesukaan mereka. Mereka duduk di meja untuk berdua yang terletak di tengah ruangan dan mulai berbincang sambil menunggu pesanan mereka diantarkan.

"Jadi, Amy, beritahu aku cerita yang belum kudengar," celetuk Aaron sambil mencondongkan badan ke arah Amy.

Amy tidak mengerti. Ia sudah hampir sepuluh tahun tidak melihat wajah Aaron secara langsung seperti ini tapi lelaki itu selalu saja bisa membuatnya menahan napas. Amy menelan ludah dan mencoba terlihat normal. "Hmm, kau tidak melewatkan banyak," jawab Amy. "Aku lulus dari Columbia University dengan nilai cukup baik dan sekarang bekerja di majalah Star Square sebagai asisten editor utama."

"Wah," Aaron Hale menyunggingkan senyum berlesung pipi dan menggelengkan kepala. "Kupikir kau memberitahuku kalau kau bercita-cita menjadi penulis saat kau masih SMA dulu."

Amy mengetukkan jari di atas meja dan memiringkan kepala. "Aku baru menyadari kalau bakat menulisku sangat cocok untuk bekerja di perusahaan majalah."

"Menurutku cocok di bidang apapun," ujar Aaron, setengah menggoda. "Sejak aku pindah ke California, ada satu hal yang selalu menghantuiku. Bahkan sampai sekarang."

Amy mengangkat kedua alisnya. "Apa itu?"

Aaron tidak langsung menjawab. Ia tersenyum pada diri sendiri lalu, "Aku penasaran, dengan siapa kau pergi ke prom ketika aku tidak ada?"

Amy lagi-lagi menahan napas. Ia baru bisa berkedip beberapa detik kemudian. Sambil menahan tawanya, Amy menjawab, "Well, jujur saja, aku tidak pergi dengan siapapun waktu itu. Aku tetap datang ke prom tapi, aku tidak berpasangan dengan siapapun."

"Jadi, kau tidak mendapatkan kesempatan untuk jadi Homecoming Queen?"

Amy tersenyum simpul dan menggeleng pelan. "Tidak, tapi aku mendapatkan penghargaan kostum terbaik."

"Oh, aku benar-benar menyesal," keluh Aaron dengan suara pelan.

Belum sempat Amy memberikan respon, ia dikejutkan oleh dering ponsel dari dalam tas tangannya. Oh, astaga. Itu pasti Kai. Amy merogoh isi tasnya lalu mengeluarkan ponselnya dan menjawab panggilan yang masuk. "Halo?"

"Aku sudah tiba di kantor dan baru saja meletakkan turkey sandwich milikmu di atas meja kerjamu," sapa Kai di ujung sana. "Astaga, Amy. Ruang kerjamu sungguh-sungguh... apakah kau membutuhkan bantuan untuk membersihkan ruangan? Aku bisa membantu kalau kau mau."

Amy mendapati dirinya tersenyum malu. "Jangan mengeluh dan letakkan saja makananku di meja."

"Sudah, princess." Kai setengah mendesah. "Di mana kau sekarang?"

"Aku sedang menemui teman lamaku di Soho," kata Amy, menekankan kata 'teman lama' dengan cukup jelas, berharap Kai mengerti apa dan siapa yang ia maksud.

Namun usahanya gagal. "Oh, baiklah kalau begitu."

Amy hampir memutar bola mata. "Kau tidak makan siang?"

"Aku akan pergi makan siang dengan seorang teman sebentar lagi."

"Cih. Jadi rupanya kau sudah mempunyai teman lain selain aku di New York. Bagus sekali. Apa dia bahkan bisa mengantarmu berkeliling Manhattan seperti yang kulakukan?"

Kai terkekeh. "Kau terdengar cemburu," goda Kai. "Tidak, dia tidak bisa melakukan apa yang kau lakukan. Karena itu, posisimu sebagai Teman Pertama Terbaik di New York tidak akan tergantikan oleh siapapun, Amy."

"Ya, lebih baik begitu. Karena aku tidak suka digantikan oleh siapapun," balas Amy sambil menahan tawanya.

"Akan kuingat baik-baik," sahut Kai. "Kutelepon lagi nanti. Sampai jumpa, Amy."

Amy menjauhkan ponsel dari telinganya lalu memandang layar ponselnya dengan senyuman yang masih tersungging di wajahnya.

"Siapa yang meneleponmu, Amy?" tanya Aaron ketika Amy memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Amy berpaling pada Aaron. "Oh, dia tetangga sekaligus rekan kerjaku. Dia baru saja pindah dari Jepang dan baru menyesuaikan diri dengan New York."

Aaron yang memperhatikan Amy sejak tadi, merasa tidak yakin kalau penelepon yang membuat Amy tidak berhenti tersenyum itu hanyalah seorang tetangga dan rekan kerja. Ia menyadari arti senyuman yang saat ini menghiasi wajah gadis yang duduk di hadapannya itu lalu entah bagaimana, Aaron yakin kalau orang yang menelepon Amy barusan adalah seorang pria.

Sepuluh tahun memang waktu yang lama. Dan ternyata waktu itu pun dapat merubah seseorang. Selama berada di California, Aaron sesekali memikirkan Amy dan bertanya-tanya dimana gadis itu berada dan bagaimana kabarnya. Namun, kalau boleh jujur, ia sudah hampir melupakan Amy. Apalagi setelah ia bertemu banyak orang dan wanita. Memori masa mudanya jarang muncul dan membuatnya jarang memikirkan Amy.

Namun, begitu ia bertemu lagi dengan Amy, ia seperti tertarik ke masa lalu. Perasaan yang dulu sering memenuhi dadanya setiap kali melihat Amy, kembali menghujamnya dan membuat jantungnya berdegup kencang. Dan perasaan itu membuatnya tidak nyaman ketika melihat Amy tersenyum karena orang lain. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk bertanya, "Apakah kau sudah melupakanku, Amy?"

Amy memandang Aaron dengan tidak mengerti. "Apa?"

"Apakah 10 tahun sudah membuatmu melupakanku?"

* * *

Kai memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya lalu keluar dari ruang kerja Amy. Kai tahu dengan siapa Amy sedang menghabiskan waktu saat ini. Gadis itu menekankan kalimat 'teman lama' dan itu pasti berarti pangeran masa mudanya yang tidak lain adalah mantan pacarnya. Kai tidak terlalu ingin membahas siapa pria itu dan apa yang Amy lakukan bersamanya, akhirnya ia hanya berpura-pura tidak tahu dan buru-buru mengalihkan pembicaraan. Sepertinya Kai harus mempersiapkan diri untuk mendengar celotehan Amy tentang pangerannya malam ini.

Kai melirik jam tangannya lalu bergegas keluar gedung. Ia menghela napas panjang dan berjalan cepat menuju Hudson Street, tempat yang menjadi lokasi janji temunya dengan Eijiro.

Pria paruh baya itu meneleponnya tidak lama setelah ia menelepon Amy di Fifth Avenue dan memberitahunya kalau ia akan berada di restoran Jepang yang biasa ia datangi siang ini. Pria itu pun mengajak Kai untuk makan siang bersama jika Kai tidak memiliki janji dengan siapapun. Tidak memiliki alasan untuk menolak, Kai akhirnya menerima tawaran Eijiro.

"Ojisan!" Kai menyapa dengan suara tenang begitu ia tiba di restoran Jepang yang ia tuju. Ia mengambil tempat duduk di hadapan Eijiro kemudian menyahut, "Maaf membuat Anda menunggu lama."

"Aku tidak menunggu lama," balas Eijiro sambil setengah tertawa. "Sebenarnya, aku tidak ingin membuatmu duduk lama di tempat ini. Setelah makan, aku mau mengajakmu ke suatu tempat. Apa kau punya waktu?"

"Oh, tentu saja, Ojisan. Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku dan tidak sibuk saat ini." Kai menjawab dengan semangat. Bagi Kai, Eijiro sudah seperti ayahnya sendiri. Dan entah kenapa, perasaan itu membuat Kai selalu senang mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut pria ini.

"Bagus. Aku ingin mengajakmu ke The Ramble. Fotografer sepertimu pasti sangat menyukai pemandangan di sana," komentar Eijiro dengan senyum lebar.

The Ramble? Kai mengerutkan alis kemudian mengangkatnya dengan kaget. "Apa maksud Ojisan Central Park?"

"Oh, kau sudah pernah ke sana?"

"Ah, ya." Kai tertawa ringan. "Tetanggaku mengajakku ke sana pada hari-hari pertamaku di sini."

"Wah. Tapi, tidak ada salahnya kan kalau kita ke sana lagi? Tidak ada yang pernah bosan dengan Central Park."

Kai menyetujui dengan anggukan. "Aku selalu menyukai pemandangan hijau."

"Ya. Sama seperti puteriku. Puteriku sangat menyukai Central Park dan pemandangan hijau."

Kai hanya tersenyum mendengarkan perkataan Eijiro. Namun ia sedikit penasaran. Seperti apa puteri Eijiro yang selalu diceritakannya itu? Bidadari terakhir yang dimiliki oleh Eijiro, seperti apa wajahnya? Apa dia seorang gadis cantik seperti Kyoko? Jika Eijiro adalah pria yang sangat ramah, apakah puterinya juga seseorang yang baik hati seperti ayahnya?

Kai menggelengkan kepala dan mengenyahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dari pikirannya. Oh, bukan mengenyahkan, lebih tepatnya adalah dihempaskan. Pertanyaan-pertanyaan itu dihempaskan keluar dari benak Kai oleh ingatan tentang Amy. Central Park selalu mengingatkannya pada Amy Hirata.

Kai berharap perjalanannya dengan Eijiro kali ini tidak akan membuatnya pulang terlambat. Kai tidak ingin membuat Amy menunggu lagi. Dan yang lebih penting, ia tidak mau menerima amukan gadis itu yang membuatnya ketakutan.

* * *

Amy memandang layar komputernya yang meredup tanpa berkedip. Kesepuluh jemarinya tak mau bergerak. Isi pikirannya melantur kemana-mana dan ia tidak bisa berpikir jernih. Amy mendengus kasar lalu mendorong kursi kerjanya menjauh dari meja.

Pertanyaan yang dilontarkan Aaron tadi siang membuat Amy tak keruan. Ketika Aaron bertanya apakah ia sudah melupakan pria itu setelah 10 tahun, Amy hanya bisa menjawab, "Tentu saja tidak," sambil tertawa dan mengibaskan tangan. Kemudian, makanan mereka tiba dan percakapan itu teralihkan.

Amy tidak tahu apa yang membuatnya bisa menjawab seperti itu. Ia tidak seharusnya menjawab seperti itu, bukan? Lelaki itu bertanya dengan wajah serius dan itu merupakan kesempatan yang bagus baginya. Seharusnya Amy memberikan jawaban yang lebih masuk akal ketimbang sekedar 'tentu saja tidak'. Oh, astaga. Ada sesuatu yang tidak beres dengannya.

TOK-TOK-TOK.

Sebuah suara dari ambang pintu membuat Amy menengadah. "Siapa di sana?!" tanya Amy, setengah berseru.

Tidak lama setelah itu, pintunya terbuka dan wajah Kai Yunokawa muncul di sela-sela pintu. "Apa kau masih sibuk?"

Amy mengerjap. "Eh, masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai."

"Kalau begitu, apakah kau keberatan kalau aku pulang lebih dulu?"

"Tidak boleh!" Amy menjawab dengan cepat. Saking cepatnya, jawabannya itu hampir terdengar seperti selaan. Amy kemudian mengerutkan dagu. "Aku tidak mau sendirian di sini. Maksudku, kau tinggal di apartemen yang sama denganku. Tidak ada salahnya, kan kalau...." Amy berhenti berbicara. Ia melirik tumpukan pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan di sudut meja.

"Kau mau aku menemanimu di sini?"

"Ya! Tapi bukan di sini!" Amy bangkit dari kursi kerjanya, membereskan barang-barang bawaannya, kemudian mendekap seluruh folder dan dokumen foto di atas meja dengan dua tangan. "Aku akan mengerjakan ini semua di tempatmu malam ini. Kau tidak keberatan, kan? Kebetulan, aku juga membutuhkan saran darimu untuk beberapa foto. Foto yang ada dalam folder ini kebanyakan diambil oleh fotografer lama kita, namanya James. Dia itu...,"

Amy terus mengoceh sambil sesekali membenahi tas tangannya yang merosot turun ke lengannya. Kai memandang Amy yang terlihat seperti gadis kecil yang kerepotan dengan barang bawaannya sambil menahan tawa. Namun senyumnya akhirnya mengembang lalu ia mengambil beberapa kertas yang didekap oleh Amy, "Aku tidak keberatan selama kau tidak keberatan membiarkanku membawa ini."

Amy terkekeh. "Hehe, terima kasih," celetuk Amy sambil tersenyum riang.

Setelah dokumen-dokumen tersebut berpindah tangan, Kai baru menyadari betapa beratnya beban kertas-kertas itu. Ia lalu mengerutkan kening. "Kenapa kau harus menyelesaikan ini semua di rumah?"

"Tidak bisa kukerjakan di sini, tidak ada waktu lagi. Besok lusa Alison sudah meminta draf hasil editanku. Jadi, mau tidak mau aku harus mengerjakannya di rumah. Menyelesaikan semuanya hari ini. Malam ini juga."

"Apakah itu berarti aku juga akan bergadang semalaman?"

Amy tersenyum penuh pada Kai dan memasang wajah menggoda. Kemudian ia mendekati Kai dan memijat pelan bahu pria itu dengan dua tangan. "Kau tidak keberatan kan menemaniku satu-dua jam saja?" Amy kemudian menegakkan badan dan memandang bahu Kai dengan kedua mata melebar. "Bahumu ternyata keras sekali. Kurasa jika kupukul dengan palu, kau tidak akan merasakan apapun."

Kai mengendikkan bahu. "Aku belum pernah mencobanya. Tapi, aku tahu satu hal yang pasti tentang bahuku."

"Apa?"

"Bahuku ini cukup kuat untuk memberikanmu piggy back ride*."

Kedua mata Amy berbinar. "Benarkah? Kalau begitu, apakah aku bisa mendapatkan tumpangan turun tangga setiap pagi?"

Kai meringis dan pura-pura mempertimbangkan. "Kalau kau menambahkan jatah makan malamku, mungkin bisa kupertimbangkan."

"Kenapa masih dipertimbangkan? Kau bilang tadi bahumu sanggup menggendongku, itu berarti kau bisa dan tidak perlu dipertimbangkan lagi."

"Aku akan tinggal di sini selama setahun ke depan atau mungkin lebih. Itu berarti aku akan menggendongmu setiap pagi selama 365 hari. Apakah aku tidak boleh mempertimbangkannya?" Kai bertanya sambil setengah tertawa.

Mereka berdua berjalan keluar dari ruang kerja Amy dan pergi meninggalkan gedung Star Square. Perlahan-lahan, isi pikiran Amy mulai dapat bekerja kembali. Lalu tanpa disadarinya, kejadian tadi siang pun terlupakan.