Kai duduk bersandar di sofa ruang duduk, kedua matanya terpaku pada layar laptop di hadapannya. Ia baru saja selesai mengedit foto Jessica Steel dan sedang mengamati beberapa foto yang baru saja ia pindahkan dari kameranya ketika ia berhenti pada sebuah foto. Sebuah gambar lama yang selalu memenuhi isi otaknya. Foto seseorang yang seharusnya ia hapus sejak lama. Foto Kyoko Nagata.
Kai sadar kalau ia tidak perlu melupakan Kyoko terlalu cepat. Ia tidak perlu menghapus foto-foto Kyoko. Ia pun tidak perlu tenggelam dalam masa lalu dan menyesali kejadian tragis yang sudah merenggut nyawa Kyoko. Tetapi, ia merasa ada sesuatu yang mengganggunya. Walaupun sudah satu tahun berlalu sejak meninggalnya Kyoko, Kai masih merasa ada perasaan mengganggu yang mengusiknya terus menerus hingga saat ini. Dan ia tidak tahu apa itu.
Kai yang sedang melamun, tiba-tiba dikagetkan oleh suara ketukan pada pintu apartemennya. Tangannya dengan cepat menutup semua aplikasi dalam laptopnya. Kemudian ia langsung bergegas membuka pintu.
"Hei, Kai!"
Kai tidak dapat menahan senyumnya untuk tidak mengembang ketika melihat Amy Hirata berdiri di hadapannya dengan sebuah kantung plastik putih yang diangkat tinggi.
"Hai, Amy." Kai balas menyapa.
"Aku membeli dua cheese burger dan onion rings. Makan malam bersama?"
Oh, siapa yang bisa menolak ajakan makan malam seseorang seperti Amy Hirata. Kai tersenyum dan mengangguk. "Selama kau tidak keberatan," jawab Kai kemudian menepi untuk membiarkan Amy masuk.
"Aku tidak pernah keberatan," sahut Amy sambil berjalan masuk. "Ah, rasanya berbeda ya memasuki apartemen orang lain. Walaupun pada dasarnya luas apartemen kita sama, tapi tampaknya apartemenmu ini jauh terasa lebih nyaman daripada milikku." Amy melesat menuju ruang duduk apartemen Kai lalu duduk di atas sofa panjang yang menghadap ke arah jendela.
Kai menyusul Amy dan duduk bersila di samping gadis itu. Aroma khas junk-food mulai menyebar ke seluruh ruang duduknya dan membuat perutnya keroncongan. Kai baru sadar ia belum makan apapun sejak tadi siang.
"Aku tidak tahu makanan apa yang kau suka selain makanan Asia dan aku ingat kau tidak punya masalah dengan junk-food. Jadi, aku membeli ini," celetuk Amy sambil mengeluarkan makanan yang ia beli dari dalam plastik dan meletakkannya di hadapan Kai. Amy memutar posisi duduknya hingga berhadapan dengan Kai kemudian ikut duduk bersila.
"Sebenarnya, aku ini omnivora," gumam Kai sambil mengambil burger di hadapannya yang masih terbungkus kertas pembungkus makanan.
Amy mengangkat kedua alis dengan lugu. "Kalau begitu aku akan menentukan semua menu makan siang dan makan malam kita. Kau, tidak boleh mengeluh," celoteh Amy sambil mengunyah beberapa buah onion ring yang sudah memasuki mulutnya. "Kau tahu, entah kenapa, aku senang sekali bisa mempunyai teman baru sepertimu. Aku senang memiliki seseorang untuk diajak bicara di dalam mobil, seseorang untuk kuajak makan siang dan makan malam bersama. Dan terlebih lagi, kau orang Jepang! Sama sepertiku! Selama 26 tahun hidupku, aku tidak pernah berteman dengan orang Jepang. Kau adalah yang pertama."
Kai memandang Amy dengan senyum penuh. Mendengar pernyataan Amy barusan, Kai tiba-tiba merasa seperti baru saja memenangkan sesuatu. Ia merasa senang.
* * *
Amy melihat Kai tersenyum kemudian menyahut, "Jadi umurmu 26 tahun?"
"Apa? Apa aku terlihat lebih tua dari umurku?" tanya Amy sambil mengerutkan dagu. Ia mengusap-usap pipinya kemudian mencubitnya pelan.
Kai tersenyum dan mengelak, "Tidak. Kau justru terlihat sebaliknya. Terlalu muda untuk umur 26 tahun."
"Kau sendiri? Berapa umurmu?"
"Tidak jauh berbeda darimu," ujar Kai sambil mengangkat bahu.
"27? 28?"
"30."
Amy berhenti mengunyah dan hampir membelalakkan kedua matanya. "Tidak mungkin. Kau terlihat seperti baru saja menyentuh angka 25 tahun."
"Begitu juga denganmu," sambung Kai. "Kau terlihat seperti gadis yang baru menyentuh angka 20 tahun di mataku."
Amy terkekeh dan menepuk lututnya. "Kita berdua terlihat lebih muda dari yang seharusnya!" Di tengah-tengah tawanya, Amy tiba-tiba teringat sesuatu yang terjadi tadi siang. Saat ia sedang menunggu Tucker untuk memunculkan batang hidungnya. Saat ia bertemu kembali dengan Aaron Hale. Oh, ini benar-benar cerita yang bagus untuk disampaikan pada Kai.
Sebelum Kai sempat menanggapi ucapannya, Amy langsung menyergah, "Aku ingat ada yang ingin kuceritakan padamu, Kai!"
Kai tampak ingin tahu. Senyumnya terus mengembang di wajahnya. "Oh, ya? Apa itu?"
Amy menegakkan posisi duduknya kemudian membasahi bibirnya sebelum melanjutkan, "Tadi siang, saat aku menunggu seseorang untuk rapat makan siang, aku bertemu dengan mantan pacarku!"
Amy yakin nada suaranya hampir melengking saat ia menyebutkan kalimat 'mantan pacar'. Ia pikir Kai akan tersenyum dengan sangat lebar seperti yang selalu dilakukan Alison ketika ia menyampaikan kabar gembira. Tapi, dugaannya salah. Kai hanya bergeming dan mengangkat alis samar.
Amy yang teringat lagi akan kejadian tadi siang, kembali merasa senang. Lalu ia meletakkan bungkusan burgernya kemudian melanjutkan ceritanya. "Namanya Aaron Hale. Dulu dia adalah kapten futbol di sekolahku dan dia adalah pacar pertamaku saat duduk di bangku SMA. Dan kau tahu apa?" Amy tidak menunggu Kai untuk menjawab, akhirnya ia menyahut lagi, "Dia tidak berubah sama sekali. Matanya yang hijau masih mempesona, rambutnya masih setebal dulu dan... oh! Ada sesuatu yang berubah darinya. Dia tampak lebih tinggi dan tentu saja, lebih tampan."
Kai menunduk dan menggigit roti burgernya. "Benarkah?"
"Ya! Dan dia masih mengingatku. Dia masih mengingatku dengan baik. Dia bahkan masih ingat kalau aku lahir di Queens dan besar di Bronx."
"Kalian sudah lama tidak bertemu?" tanya Kai sambil mengunyah.
"Ya. Dia pindah dari Queens saat aku kelas 11 dan kami harus berpisah. Sejak saat itu kami jarang dan bahkan hampir tidak pernah berhubungan sama sekali. Sampai akhirnya takdir mempertemukan kami lagi tadi siang. Oh! Hari ini benar-benar hari yang indah!" Amy tersenyum mengernyit dan tanpa sadar meremas cheese burgernya yang sudah hampir mendingin. "Dia bilang dia akan bekerja di sini dan dia memberikanku kartu namanya. Bukankah itu bagus? Aku bertemu lagi dengan pangeran masa mudaku."
"Amy!!! Turun ke bawah, Ibu mengajakmu makan malam!! Kau dan pacarmu!!!"
Sebuah suara yang nyaring menyerukan namanya dan membuat Amy menegakkan badan dengan kaget. Beberapa detik kemudian ia mengenali suara tersebut. "Ugh, itu Jeremy. Sudah kubilang padanya berulang kali kalau kita tidak pacaran," keluh Amy sambil memandang Kai dan menggeleng-geleng. "Sepertinya Mrs. Lewis memasak makan malam. Ck. Aku tahu sejak awal membeli makan malam di luar bukan ide yang bagus."
"Mrs. Lewis mengundang kita untuk makan malam?"
Amy mengangguk dengan tatapan sungkan.
"Tapi, kita sedang makan malam sekarang," gumam Kai, memandangi burger dalam genggaman tangannya.
Amy meletakkan burgernya yang masih terbalut oleh kertas pembungkus di atas meja pendek di depan sofa lalu bangkit berdiri. "Well, kau tidak keberatan untuk ronde kedua, bukan?"
Kai mengerjap bingung. "Ronde kedua?"
* * *
Beberapa menit kemudian, Kai dan Amy sudah berada di ruang makan keluarga Lewis. Sebenarnya Kai sudah cukup kenyang. Ia tidak yakin apakah ia masih punya ruang dalam perutnya untuk memuat lebih banyak makanan. Tapi, entah kenapa, Kai tidak merasa terganggu.
Sejujurnya, Kai justru merasa senang bisa diundang makan malam lagi oleh Mrs. Lewis. Apalagi ketika ia mendengar suara Jeremy memotong pembicaraannya dengan Amy tadi. Entah kenapa, Kai merasa Jeremy adalah penyelamatnya. Ia tidak perlu mendengar Amy bercerita lebih banyak tentang pangerannya.
"Amy, bisakah kau membantuku sebentar? Aku memerlukan sedikit bantuanmu di dapur." Mrs. Lewis menyeletuk begitu ia dan Amy menginjakkan kaki di ruang makan.
"Tentu saja, Mrs. Lewis. Ayo." Amy mengangguk dengan pasti kemudian menghilang ke dapur bersama Mrs. Lewis dan celemeknya.
Begitu Amy pergi ke dapur, Kai mengambil tempat duduk yang sama yang ia tempati pada hari pertamanya menikmati sarapan bersama keluarga Lewis. Para lelaki, Lewis bersaudara, juga menempati tempat duduk yang sama di seberang Kai.
Tepat pada saat Kai menduduki kursi kayu yang ia pilih, Jeremy –bocah lelaki yang duduk di hadapannya– menyeletuk, "Hei, bro. Kau ini, benar-benar bukan pacar Amy?"
Kai mendongak menatap Jeremy lalu tertawa ringan. Sambil menggeleng, ia menjawab, "Bukan. Aku hanya...,"
"Hanya teman, tidak punya hubungan apa-apa lalu apa lagi? Semua orang yang berpacaran pada awalnya pasti mengucapkan hal-hal seperti itu." Lelaki tertua dari Lewis bersaudara, Jesse, ikut menambahi. "Aku dan Lily juga awalnya begitu."
Jesse ini sepertinya merasa seperti pria yang mengerti segalanya tentang berpacaran. Kai tersenyum geli lalu mencondongkan tubuhnya pada Jesse. "Sudah berapa lama kau dan Lily berpacaran?" tanya Kai dengan sedikit nada jahil.
Jesse menghitung-hitung sejenak lalu menjawab, "Tiga bulan."
"Wah. Kalau begitu kau belum merasakan bagaimana berjuang melawan rasa bosan, ya?"
"Rasa bosan?" Jesse tampak penasaran.
Kai menarik sudut-sudut bibirnya ke bawah dan mengangguk. "Ya, rasa bosan. Rasa dimana kau merasa wanitamu tidak lagi menarik, tapi kau tidak mau menjadi orang jahat yang memutuskan hubungan dengannya. Akhirnya, kau bertahan dengan rasa bosan itu."
Kini, raut muka Jesse berubah menjadi agak khawatir. "Memangnya, akan ada perasaan semacam itu?"
Kai akhirnya tertawa. "Kau akan merasakannya sendiri nanti. Kalau suatu saat kau benar-benar merasa bosan, beritahu aku. Aku punya solusi yang kau butuhkan."
"Kenapa kau tidak memberitahuku sekarang saja?"
"Karena saat ini kau belum merasa bosan," jawab Kai ringan.
Jesse tampak sedikit tersinggung. Namun, kemudian ia balas bertanya, "Kau sendiri bagaimana? Memangnya kau pernah merasa bosan dengan pacarmu?"
Dengan mudah dan tanpa berpikir panjang, Kai menjawab, "Tidak."
"Tidak pernah?" Kini Jesse mencondongkan tubuhnya pada Kai dengan wajah tidak percaya.
"Tidak pernah sekali pun."
Jesse tertegun selama beberapa detik lalu memiringkan kepalanya. "Bagaimana mungkin?"
"Karena jika kau sungguh-sungguh mencintai seseorang, kau tidak akan pernah merasa bosan pada orang tersebut. Kau akan terlalu sibuk mencari cara untuk selalu membuat wanitamu bahagia."
Tepat pada saat Kai mengakhiri kalimatnya, Amy dan Mrs. Lewis kembali ke meja makan dengan sepiring besar daging lapis yang tampak asing bagi Kai.
"Turducken* datang!" seru Mrs. Lewis dengan suara lantang sambil meletakkan hidangannya di atas meja. "Ayo mulai makan."
Tidak lama kemudian, Kai merasa lengannya disiku. Ia menoleh dan mendapati Amy menaik-turunkan kedua alisnya dengan wajah jahil. "Siap untuk ronde kedua?"
Kai mendapati dirinya tersenyum sambil mengangguk. "Tentu saja."
Di sisi lain, Jesse Lewis memandang Kai dan Amy yang saling tertawa satu sama lain dengan kedua mata menyipit. Begitu melihat senyuman Amy pada Kai, Jesse tiba-tiba teringat kata-kata Kai tadi. Dan ia pun tiba-tiba mengerti apa yang dimaksud oleh Kai. Kau akan terlalu sibuk mencari cara untuk selalu membuat wanitamu bahagia.