"Kau sudah menelepon orang tuamu?"
Kai berdiri di balik jendela kamar tidurnya, memandangi pemandangan jalan North Madison Square yang sibuk di pagi hari seraya sebelah telinganya mendengar Keisuke bertanya lewat telepon genggamnya. Ia menyunggingkan senyum miring lalu menjawab, "Sudah. Aku sudah menghubungi mereka sejak aku keluar dari pesawat. Kau adalah orang terakhir yang kuhubungi."
"Ya, kau tahu kan betapa mereka mengkhawatirkan keadaanmu sejak kejadian itu. Kau harus selalu memberitahu mereka kalau kau baik-baik saja," komentar Keisuke di ujung sana.
Kai mendesah dan mengusap bagian belakang lehernya. Sepertinya kejadian setahun lalu yang merenggut nyawa Kyoko itu telah membuat banyak orang mengkhawatirkannya. Yah, sebenarnya, ia memang sedang tidak baik-baik saja. Ia merasakan banyak hal bergejolak dalam dirinya. Tapi, itu bukan berarti ia tidak bisa menjaga dirinya, bukan? Ia merasa risih dengan banyak orang yang mencemaskannya akan melakukan hal yang aneh-aneh.
"Jadi? Bagaimana kesan pertamamu di New York?" Keisuke bertanya lagi, mengalihkan pembicaraan.
"New York benar-benar mengesankan. Yah, sejauh ini," gumam Kai. "Aku belum sempat berjalan-jalan kemana pun. Tapi, aku sudah bertemu dengan beberapa rekan kerjaku." Kai membuka jendela kamarnya dan membiarkan udara segar kota New York memasuki kamar tidurnya. Oh, bukan udara segar. Tapi polusi.
Kai baru sadar ternyata daerah tempat tinggalnya ini adalah kawasan yang sibuk. Sejauh yang ia perhatikan, gang serta jalan besar North Madison Square dipenuhi dengan pejalan kaki serta kendaraan roda empat yang berjalan lalu-lalang. Sepertinya lingkungan ini tidak jauh berbeda dengan Tokyo; kota yang sibuk, ramai dan sesak. Sebenarnya, awalnya Kai ingin mendapatkan ketenangan untuk bisa menenangkan diri. Sekarang ia sadar, ketenangan itu tidak akan ia dapatkan di sini.
"Apakah mereka orang-orang yang baik?" Suara Keisuke terdengar ingin tahu.
"Ya. Mereka benar-benar orang yang baik. Bahkan salah satu dari mereka sampai mengantarkanku ke apartemen."
Keisuke mendecakkan lidah dan setengah tertawa dan mendesah. "Kau benar-benar beruntung, Kai. Aku perlu 3 tahun 4 bulan untuk bisa meyakinkan rekan-rekan kerjaku kalau aku tidak menggigit. Aku bahkan harus bisa melewati masa-masa 'membeli kopi' selama tiga bulan pertama."
"Itu karena kau bekerja di dunia perkantoran," Kai ikut tertawa dan menggeleng.
"Ya, di situlah permasalahannya. Kau bekerja di bidang seni sedangkan aku, aku bekerja di dunia yang meliput bidangmu itu," Keisuke mendengus. Kemudian dengusannya itu disusul oleh suara uapan. "Hei, aku tidur dulu ya. Di sana pasti baru jam 8 pagi kan?"
Kai mengangkat jam tangannya lalu menegakkan tubuh. "Ah, ya. Aku lupa kalau di Tokyo sekarang sudah malam. Kau dapat jadwal pagi besok?"
"Ya. Mereka tidak akan menggantinya setidaknya sampai... tiga bulan ke depan. Jadi, mau tidak mau aku harus bangun setiap jam 5 subuh setiap hari," Keisuke mengerang. "Kapan-kapan kutelepon lagi. Jaga dirimu baik-baik, ya?"
"Ya, tentu saja. Kau juga. Sampai jumpa."
Kai menutup telepon lalu mengamati layar ponselnya yang menghitam sejenak. Kemudian ia mengambil kameranya dan melongok keluar ke jendela. Ia mendekatkan kameranya ke sebelah matanya dan mulai mengambil gambar jalanan yang tampak agak ramai dengan pejalan kaki. Saat ia sedang sibuk memotret, tiba-tiba gerakannya terhenti. Kedua matanya menangkap sesosok wanita yang ia kenal. Itu Amy Hirata. Kai mengangkat wajah untuk melihat dengan jelas.
Gadis itu sedang membuang sampah yang berukuran cukup besar ke tong sampah yang terletak di seberang jalan. Ia melemparnya dengan kekuatan penuh lalu membersihkan kedua telapak tangannya. Lalu Kai dapat melihat Amy bertolak-pinggang menghadap tong sampah dan menendang tempat penampung sampah yang berukuran persegi itu dengan sebelah kakinya. Kelihatannya gadis itu sedang mengomel sendiri.
Setelah menendang tempat sampah tersebut dua-tiga kali, Amy lalu menyeberang jalan kembali ke gedung apartemen. Oh, lihat cara gadis itu berjalan. Itu pemandangan yang bagus. Tanpa pikir panjang, Kai langsung mendekatkan kembali kameranya dan membidik Amy dari kejauhan. Ia mengambil gambar sebanyak yang ia mampu. Lalu akhirnya Amy tidak terlihat lagi di jalanan. Gadis itu pasti sudah memasuki gedung apartemen.
Kai melihat hasil jepretannya lalu mendapati dirinya tersenyum sendiri. Amy Hirata yang masih mengenakan piyama dan sandal kelinci itu tampak benar-benar lucu. Kai tidak tahu berapa lama ia sudah mengamati foto Amy. Ia baru tersadar ketika ia mendengar ada suara ketukan di pintu depan apartemennya. Begitu mendengarnya, Kai langsung bergegas membuka pintu.
Ia hampir melonjak kaget saat mendapati objek bidikannya berdiri di depan pintu apartemennya. Seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
"Selamat pagi, Kai!" Amy Hirata mengangkat sebelah tangan dan menyapa sambil tersenyum menyeringai. "Bagaimana tidurmu? Cukup nyenyak?"
Kai tersenyum kikuk dan terhipnotis untuk mengangkat sebelah tangannya. "Selamat pagi, Amy. Tidurku nyenyak. Terima kasih atas saranmu, tentunya."
"Ah, kau benar-benar menutup jendela kemarin malam? Haha. Well, sebenarnya, kau memang harus menutup jendela kan setiap sebelum tidur? Maling bisa saja masuk dari sana." Amy terkekeh. "Kau sudah sarapan?"
"Belum," jawab Kai, ragu. "Tapi aku bisa-,"
"Mrs. Lewis selalu menyiapkan sarapan setiap pagi di sini. Seluruh penghuni apartemen diperbolehkan untuk makan di bawah. Gratis! Dan sebagai penghuni baru, Mrs. Lewis mengajakmu untuk makan bersama. Kau tidak keberatan untuk bergabung, kan?"
Entah kenapa, Kai merasakan otot punggungnya mengendur. Jadi, Mrs. Lewis yang membuat Amy Hirata mengetuk pintunya?
"Oh, ya. Te-tentu saja," Kai berusaha membuat nada bicaranya terdengar biasa.
"Baiklah, ayo."
Kai akhirnya mengikuti Amy turun ke lantai satu. Lalu gadis itu membawanya ke sebuah ruang makan yang memiliki meja makan panjang dan sepuluh bangku. Kai hampir mengangkat alis kaget saat melihat ada tiga orang lelaki duduk mengelilingi meja tersebut. Ternyata ia bukan satu-satunya tamu undangan di sini.
"Selamat pagi, Kai! Kuharap tidurmu nyenyak semalam. Kau suka waffle dan pancake? Aku membuatnya untuk sarapan pagi ini." Mrs. Lewis menyapanya sambil menuangkan teh hangat ke setiap cangkir teh di sekeliling meja.
"Tidurku nyaman, Mrs. Lewis. Terima kasih. Dan aku sangat menyukai waffle dan pancake," jawab Kai. Sejujurnya, ia tidak biasa memakan makanan manis di pagi hari sebagai sarapannya. Ia terbiasa dengan nasi. Tapi, apa boleh buat? Ia harus menyesuaikan diri, bukan?
Kai duduk di sebelah Amy lalu mulai menikmati hidangan yang disajikan oleh Mrs. Lewis. Lalu, Mrs. Lewis yang duduk di seberangnya, tiba-tiba menyeletuk. "Oh, kau pasti belum berkenalan dengan anak-anakku."
Kai mengerjap bingung.
Amy yang duduk di sampingnya, tertawa. "Aku saja yang memberitahunya," tukas Amy lalu menunjuk ke seorang pria berambut pirang bergelombang yang duduk di samping Mrs. Lewis. "Dia adalah anak bungsu Mrs. Lewis, umurnya 13 tahun, namanya Jeremy." Lalu Amy menunjuk laki-laki yang duduk di sebelah Jeremy, "Dia, kakak Jeremy, namanya Jonathan. Umurnya 15 tahun." Amy lalu menggerakkan jari telunjuknya ke arah laki-laki terakhir yang duduk di sebelah Jonathan, "Yang ini adalah putera tertua Mrs. Lewis. Namanya Jesse, umurnya 17 tahun. Mereka semua masih bocah, jadi beradaptasilah."
"Hei, tahun depan aku sudah kuliah! Apa maksudmu, bocah?" Anak lelaki yang bernama Jesse itu mengeluh dengan mulut yang penuh.
Kai tertawa kecil. "Kau tidak kelihatan seperti 17 tahun bagiku."
Jesse berpaling pada Kai dan menjentikkan jarinya. "Nah! Aku suka gaya bicaramu! Kau... masuk ke kubuku. Sekarang Amy tidak akan pernah bisa lagi menang. 4 lawan 1," celetuk Jesse lalu menjulurkan lidahnya.
"Pria yang duduk di sebelahku ini adalah kawan sebangsaku! Tentu saja dia masuk ke kubuku!" Amy membela diri.
Sebelum sempat Kai ditarik ke dalam pertengkeran tersebut, Mrs. Lewis menyahut, "Hei, kalian ini. Jangan memberikan kesan pertama yang buruk pada keluarga baru kita di sini." Mrs. Lewis memandang Kai dengan senyum sungkan. "Jangan hiraukan kelakuan mereka."
"Aku tidak akan memberikan kesan pertama yang buruk pada Kai," ujar Amy lalu menopang dagu dan memandang Kai sambil tersenyum. "Beritahu aku, tempat apa yang ingin kau kunjungi di New York? Kita akan ke sana hari ini."
Kai menoleh pada Amy dan mengangkat sebelah alisnya. "Kita?"
"Alison mengijinkanku untuk mengambil cuti hari ini, jadi kita bisa pergi bersama."
"Ah, tapi aku tidak tahu apapun tentang New York," gumam Kai, kecewa.
"Ajak dia ke 42nd Street. Aku baru saja mengajak Lily ke sana minggu lalu dan dia benar-benar menyukainya," celetuk Jesse sambil tersenyum yakin.
Amy mengibaskan sebelah tangannya dan menggeleng. "Tidak semua orang suka Broadway, Jesse. Kai seorang fotografer. Dia butuh pemandangan yang bagus, bukan musik."
"Aku yakin Kai akan menyukai The Ramble," Mrs. Lewis menyuguhkan idenya.
"The Ramble! Central Park! Ide bagus, Mrs. Lewis." Amy bertepuk-tangan kecil dengan gembira.
Kai tidak paham dengan nama-nama tempat yang diucapkan orang-orang di sekelilingnya, tapi ia sepertinya yakin tempat-tempat itu adalah tempat yang menarik. Kai jadi penasaran, seperti apa tempat-tempat itu.
Amy tiba-tiba menepuk bahu Kai dan tersenyum lebar. "Aku yakin kau akan sangat suka Central Park."
* * *
"Ini benar-benar tempat yang mengagumkan," gumam Kai dengan kagum.
Kai mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, memandangi rumput hijau dan pepohonan cerah yang mengelilinginya dengan senyum yang mengembang. Ternyata tempat yang disebut-sebut dengan Central Park ini memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk membangun surga dunia. Taman ini dipenuhi dengan jutaan pohon hijau, lapangan berumput terang dan juga jalanan yang bersih. Berbeda dengan kawasan NoMad, Central Park memiliki udara yang segar yang bisa membuat paru-parumu terasa lega.
Kai sedang menginjakkan kaki di lapangan luas berumput hijau dimana banyak orang berpiknik di berbagai sudut, berbincang-bincang sambil tertawa. Beberapa anak kecil berlarian kesana kemari, bermain dengan teman-teman dan hewan peliharaan mereka. Mereka sungguh-sungguh tampak bahagia.
"Bagaimana? Kau suka? Pilihanku tidak buruk, kan?" tanya Amy sambil bertolak pinggang di hadapan Kai.
Kai tersenyum dan mulai mengeluarkan kamera dari tasnya. "Hmm, sebenarnya ini pilihan Mrs. Lewis," sindir Kai lalu mengangkat bahu. "Tapi, aku benar-benar menyukai tempat ini. Dan aku harus berterima kasih padamu karena sudah membawaku ke sini."
Amy terkikik. "Kalau begitu, lain kali aku akan membawamu ke tempat-tempat yang seperti ini. Kalau kau menyukai Central Park, berarti kau juga akan menyukai Bryant Park, museum The Cloister, Battery Park. Oh, aku benar-benar merasa seperti pemandu tur yang keren! Hihi. Oh, apa kau suka naik kapal, Kai? Kita bisa mencoba naik kapal di New York Harbor."
Kai menggeleng. Ia baru menyadari betapa menyenangkannya mendengar Amy berceloteh. Ia suka mendengar suara Amy.
"Aku dan Alison lebih senang berjalan-jalan ke Times Square," sahut Amy lagi. "Di sana banyak toko-toko baju, make-up, restoran. Tempatnya sangat sibuk. Kalau di Jepang, Times Square itu sama dengan Harajuku. Tempat yang benar-benar sesak dan... fiuh! Kau pasti tidak terlalu senang pemandangan di sana. Yah, sebenarnya aku sendiri tidak senang. Tapi Times Square adalah tempat yang tepat bagi siapapun untuk mencari inspirasi jika mereka bekerja di perusahaan majalah. Seperti aku."
Tubuh Amy perlahan-lahan berputar membelakangi Kai. Amy mengoceh sendiri selama beberapa detik lalu menoleh lagi pada Kai. "Aku harap kau menyukai New York," ujar Amy sambil tersenyum menyeringai.
"Aku pun berharap begitu," Kai terus tersenyum. Amy memiliki senyum yang benar-benar manis. Sepertinya selama berada di dekat gadis ini, Kai akan terus tersihir.
"Mulailah mengambil gambar, Kai!"
Kai menegapkan tubuh lalu menjentikkan jari. "Kau benar."
Kai mendekatkan kameranya kemudian mulai membidik. Ia berhasil mengambil gambar anak-anak yang tertawa, pasangan yang sedang saling bertatapan, keluarga yang sedang bersenang-senang dan seekor anjing jenis Golden Retriever yang sedang menangkap frisbee*. Ia memutar tubuhnya mencari pemandangan lain yang pantas disimpan. Kemudian, kameranya berhenti pada Amy.
Gadis itu sedang duduk di rumput sambil menekuk kedua lututnya. Wajahnya terangkat menghadap langit dan kedua matanya tertutup. Sinar matahari yang hangat menyinari gadis itu dan membuatnya tersenyum kecil.
Sudut-sudut bibir Kai tertarik membentuk senyuman. Sebelum gadis itu sempat mengubah posisi itu, Kai buru-buru mengambil gambar Amy. Ia membidik sampai tiga kali, lalu melihat hasil jepretannya. Ah, pose duduk Amy benar-benar indah. Sempurna.
"Kai! Aku ingat ada tempat lain yang bisa kita kunjungi. Kita harus ke jembatan!" Kai mendengar Amy berseru.
Tidak lama kemudian, ia dan Amy sudah berada di jembatan yang mengatasi sebuah sungai jernih di sepanjang taman. Sama seperti lapangan sebelumnya, jembatan ini pun banyak dipenuhi oleh orang-orang pejalan kaki. Kai mengabadikan semua pemandangan yang nyaman di matanya lalu tersenyum puas begitu melihat hasilnya.
Cuaca hari ini cerah, matahari tidak bersinar terlalu terik. Ditambah lagi, ia ditemani dengan seseorang yang menyenangkan. Hari ini benar-benar hari yang indah. Kai sungguh merasa gembira. Ah, sudah lama sekali sejak ia merasakan perasaan ini. Terakhir kalinya ia merasa senang adalah setahun yang lalu. Sebelum kejadian itu mengambil Kyoko darinya.
"Wah, hasil jepretanmu benar-benar sempurna."
Kai menoleh dan terkejut saat menyadari Amy sedang berjinjit di sampingnya, mencondongkan kepalanya ke arah kamera yang sedang digenggam oleh Kai. Memerlukan beberapa detik bagi Kai untuk menyadari kalau ia menahan napas.
"Dari mana kau belajar memotret?" Amy akhirnya menarik diri dan bertanya dengan kedua alis terangkat.
"Ah... aku mengambil jurusan fotografi saat kuliah dulu," aku Kai.
Amy mengulas senyum. "Keren sekali," ujarnya dengan nada riang. "Tidak heran kalau Alison benar-benar menginginkanmu untuk bergabung di Star Square."
"Aku masih belajar sampai saat ini."
Amy kemudian melipat tangan di dada. Senyumnya masih tersungging di wajahnya. "Ngomong-ngomong, apa yang akan kita makan untuk makan malam hari ini, ya?"
Kai memiringkan kepala dan menutup lensa kameranya. "Bagaimana kalau makanan Asia?"
Kedua mata Amy melebar dengan kagum. "Pilihan yang bagus! Apa kau suka makanan Korea?"
"Korea?"
"Mm-hmm," Amy mengangguk-angguk.
"Aku tidak pernah punya masalah dengan masakan Korea."
Amy menepuk tangan penuh semangat. "Bagus!" serunya. "Aku punya teman baik sejak SMA yang memiliki restoran di Koreatown. Dia selalu memberikan potongan harga setiap kali aku makan di sana. Kita harus pergi ke sana sore ini."
"Temanmu... laki-laki?"
"Tidak, dia perempuan."
"Ah, kupikir...."
Amy menyipitkan sebelah mata. "Memangnya ada apa?"
"Kalau temanmu itu laki-laki, sepertinya aku tahu alasan mengapa kau selalu mendapatkan potongan harga di sana."
"Oh, ya? Karena apa?"
"Tentu saja karena dia menyukaimu."
Amy tiba-tiba tertawa dengan cukup kencang. "Oh, yang benar saja. Seumur hidupku, belum pernah ada seorang pria pun yang melakukan itu untukku. Semua pria yang menyukaiku bukan pria yang romantis."
"Dan... kau mengharapkan seseorang yang romantis?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Kai tanpa sempat dicerna terlebih dulu oleh otaknya.
Untungnya, Amy menanggapi dengan normal. "Sepertinya semua wanita mengharapkan pria yang romantis. Bukan begitu? Kalau aku, aku tidak begitu mengharapkan seseorang yang romantis. Aku lebih menyukai seseorang yang selalu bisa membuatku tersenyum. Membuat seseorang tersenyum tidak selalu memerlukan hal-hal romantis, kan?"
"Hmm, menurutku seseorang yang selalu bisa membuatmu bahagia adalah seseorang yang romantis."
"Benar juga," Amy terkekeh. "Oh, aku baru ingat!" Amy tiba-tiba menegakkan tubuhnya dan mengangkat jari telunjuknya. "Kita harus ke The Ramble. Pemandangan di sana tidak kalah menarik dari ini. Ayo!"
Amy menarik lengan Kai dan membuat Kai berjalan cepat mengikuti langkah Amy.
* * *
Setelah selesai menyusuri seluk-beluk Central Park, Amy Hirata menepati janjinya untuk membawanya ke sebuah restoran Korea yang terletak tidak terlalu jauh dari Central Park. Sebuah restoran makanan Korea yang terletak di Koreatown. Restoran tersebut terletak di pinggir jalan raya yang sibuk, memiliki tiga lantai dan sebuah jendela kaca yang dihiasi dengan lampu neon berbentuk abjad Korea yang tidak dimengerti oleh Kai.
Amy berjalan memasuki restoran tersebut dengan wajah gembira. Lalu, tidak lama setelah Kai menyusul gadis itu, sebuah suara riang yang muncul dari balik meja kasir menyambut kedatangan mereka.
"Amy Hirata!"
Amy menoleh dan mendapati dirinya melonjak kaget begitu melihat seorang gadis berambut panjang berjalan menghampirinya. "Rachel! Oh, ya Tuhan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku ke sini."
Gadis yang disebut sebagai Rachel itu mencengkeram kedua bahu Amy lalu memberikan pelukan erat. "Aku benar-benar merindukanmu! Aku mempunyai berita gembira!"
"Oh, oh, tahan dulu kabar gembiranya. Ada seseorang yang harus kuperkenalkan padamu," potong Amy lalu berbalik ke arah Kai. "Kai, ini teman baikku yang kuceritakan tadi, namanya Rachel Song," sahut Amy.
Kai menghampiri Rachel dan membungkukkan badan, memberi salam. "Senang bertemu denganmu. Namaku Kai Yunokawa."
Kai dapat melihat kedua mata Rachel melebar dengan penuh arti. Lalu mulutnya tiba-tiba terbuka dan akhirnya menggumamkan sesuatu, "Apa dia...?"
"Dia rekan kerjaku. Dia fotografer baru pengganti fotografer lama di tempat kerjaku," jelas Amy.
"Ah, begitu rupanya." Rachel mengangguk-angguk. "Oh, ayo duduk!"
Rachel kemudian memimpinnya dan Amy ke sebuah meja untuk empat orang yang terletak di tengah ruangan.
"Silahkan lihat menunya," Rachel menyodorkan menu restorannya pada Kai kemudian menarik lengan Amy yang belum sempat mengambil tempat duduk di hadapannya. "Selama kau melihat-lihat, kau tidak keberatan kan jika aku meminjam Amy sebentar?"
Kai mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja."
Amy mengangkat sebelah bahu lalu mengernyit. "Tidak sampai lima menit. Aku akan kembali."
"Jangan khawatirkan aku." Kai mencoba meyakinkan. Tidak sampai lima detik kemudian, Amy dan Rachel menghilang ke sebuah ruangan yang terletak di belakang meja kasir. Sebuah ruangan yang menurut Kai adalah sebuah dapur.
Selama menunggu Amy kembali, Kai mengeluarkan kameranya dan melihat gambar-gambar yang sudah ia ambil selama di Central Park. Hmm, mari kita lihat.
Pemandangan hijau... hutan The Ramble... burung-burung... pemandangan hijau lagi... Amy Hirata yang sedang tersenyum memandangi langit... pemandangan jembatan... Amy Hirata yang memejamkan mata menghadap langit... anak-anak kecil yang sedang bermain dan terakhir, Amy Hirata yang duduk memeluk lutut dengan cahaya matahari yang menyinarinya.
Kai baru sadar kalau ia mengambil cukup banyak gambar Amy. Dan Kai juga baru menyadari kalau Amy Hirata memiliki pose yang sama dalam beberapa foto yang ia ambil. Amy sering tertangkap sedang memandang langit dan memejamkan mata, merasakan angin yang berhembus sambil tersenyum. Dari foto-foto itu, Kai bisa menyimpulkan kalau Amy Hirata adalah gadis pecinta alam. Dan Kai yakin, Amy pun seseorang yang mencintai kebebasan.
Kebebasan. Kai jadi penasaran, seperti apa rasanya menjadi bebas? Bukan secara fisik, tetapi mental.
"Maaf membuatmu menunggu, Kai. Jika sudah bertemu, anak itu memang sangat susah membedakan mana waktu dan mana keabadian." Suara Amy yang tiba-tiba muncul di hadapannya, membuat Kai mendongak. Ia pun buru-buru mematikan kameranya ketika menyadari kalau layar pada kameranya masih menampilkan foto Amy. "Jadi, kau sudah membuat pilihanmu?"
Kai meletakkan kameranya di ujung meja lalu berbohong, "Semuanya terlihat enak, aku jadi bingung. Bagaimana kalau kau yang menentukan menunya?"
"Oh, begitukah? Baiklah!" Amy terkikik lalu mengangkat tangan pada seorang pelayan pria. Gadis itu menyebutkan nama-nama menu pesanannya lalu membuat pelayan pria yang berwajah Asia itu bergegas ke ruangan di balik meja kasir.
"Jadi, bagaimana reuni dengan temanmu?" Kai angkat bicara dan melipat tangan di atas meja.
Amy ikut melakukan hal yang sama lalu tertawa. "Rachel memberikanku kabar gembira. Dia baru menikah tahun lalu dan hari ini, dia memberitahuku kalau dia sudah hamil," Amy menggelengkan kepala. "Usia kandungannya sudah memasuki satu bulan dan dia sangat tidak sabar."
"Oh? Temanmu itu sudah menikah?"
"Ya. Dia memutuskan untuk menikah muda," Amy mengendikkan sebelah bahu. "Sayang sekali. Padahal sebelum Rachel menikah, aku sangat sering menghabiskan waktu dengannya. Dia sudah seperti kakak kandungku."
"Kau memiliki saudara?" tanya Kai, tiba-tiba.
Amy yang sebelumnya menunduk, mendongak pada Kai. Lalu seulas senyum pahit tersungging di wajah gadis itu. Amy kemudian menggeleng perlahan, "Aku seharusnya... punya. Tapi sejak kecil aku tidak pernah bertemu dengannya."
Sejak pertama kali bertemu dengan Amy, Kai belum mendengar penjelasan apapun tentang gadis ini. Ini adalah pertama kalinya Amy Hirata menceritakan sesuatu tentang dirinya. Dan pernyataan Amy tersebut membangkitkan rasa penasaran Kai. "Kau tidak pernah bertemu dengan saudaramu?"
Amy mengangguk. "Begitulah. Sejak aku bayi, orang tuaku bercerai. Ayahku membawaku ke sini sedangkan ibu kandungku tinggal di Jepang bersama kakak perempuanku. Kami tidak pernah bertemu sama sekali sampai saat ini. Aku tidak tahu seperti apa wajah kakak maupun ibuku. Aku hanya mendengar cerita dari ayahku kalau kakakku berumur lima tahun lebih tua dariku dan bahwa ibuku berwajah mirip denganku."
Kai ragu sejenak, lalu akhirnya memutuskan untuk bertanya, "Kau tidak ingin mencari mereka?"
Amy mengerjap lalu mengulas senyum paksa. "Ayahku tidak pernah mengijinkanku untuk bertemu dengan ibu dan kakakku. Beliau bilang, jika aku mencari mereka, aku tidak akan pernah menjadi puterinya lagi."
Kai masih ingin mencari tahu lebih lanjut, tapi ia menahan diri. Dari nada bicara gadis itu, sepertinya Amy tidak terlalu suka membicarakan masa lalunya. Dan lagipula, sepertinya cerita tentang keluarga gadis itu bukanlah cerita yang menyenangkan.
Tapi, cerita gadis itu mengingatkan Kai tentang keluarga Kyoko. Keluarga Amy memiliki cerita yang hampir sama dengan Kyoko. Bedanya, Kyoko hidup bersama ibunya dan Amy hidup bersama ayahnya. Dan lagi, ayah kandung serta adik Kyoko sudah meninggal dunia sejak Kyoko masih kecil. Dan ibu kandung Kyoko tidak menikah lagi sampai saat ini.
"Kau sendiri bagaimana, Kai?" Amy menyeletuk, mencoba membangun suasana ceria dengan nada bicaranya yang riang.
"Aku?" tanya Kai.
"Ya. Apa kau memiliki saudara?"
Kai tersenyum tanda mengerti lalu menjawab, "Aku anak tunggal. Tapi aku memiliki banyak sepupu yang sudah kuanggap seperti saudara kandungku sendiri."
"Wah, enaknya." Amy menopang dagu dan memandang Kai dengan tatapan iri. "Ibu tiriku tidak memberikanku adik sejak menikah dengan ayahku. Jadi aku pun anak tunggal di keluargaku dan tidak sepertimu, aku tidak memiliki banyak sepupu. Hanya dua dan mereka tinggal sangat jauh dariku di Australia."
"Kalau begitu kau pasti sangat kesepian."
"Yah, sangat. Tapi sekarang tidak lagi. Aku punya pekerjaan yang kuimpikan, aku dikelilingi oleh orang-orang hebat yang baik hati. Dan juga Mrs. Lewis serta si Three Muskeeters yang selalu menggangguku. Aku memiliki keluarga baru yang sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri."
"Three Musketeers?" Kai mengangkat sebelah alisnya, tidak mengerti.
"Jeremy, Jonathan dan Jesse. Aku menyebut mereka Three Musketeers."
"Oh." Kai tertawa sambil menggelengkan kepala. "Itu panggilan yang keren."
Tidak lama kemudian, makanan pesanan Amy tiba. Sepiring Bulgogi, Kimchi pedas dan Seolleongtang menghiasi meja mereka dan menggelitik perut Kai yang sudah kosong seketika. Mereka bersiap-siap menyantap makanan mereka dan saat itulah Kai menyeletuk, "Terima kasih, Amy."
Amy mengangkat wajah dan mengerjap. "Apa? Untuk apa?"
Karena sudah memberikan hari yang indah setelah sekian lama. "Karena kau sudah mengajakku kemari. Terima kasih."
"Oh, bukan apa-apa. Aku akan memastikan kalau kau akan terus berterima-kasih padaku mulai besok," balas Amy sambil mengedipkan sebelah mata. Mereka berdua tertawa dan mulai menikmati makan malam mereka.
_______________________
*Frisbee : piringan bundar yang biasa digunakan untuk permainan anjing.