Richard tersenyum tipis.
Kemudian, pria bertubuh gagah itu berjalan menuju meja kerjanya lalu mengambil telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja. Viona memperhatikan, pria itu tampak asik dengan telepon genggamnya. Rupanya Richard sedang menghubungi seseorang melalui telepon genggamnya.
"Halo, selamat siang Tuan Richard,"sapa suara di seberang telepon.
"Halo, Selamat siang James. Bisakah kau kemari?" tanya Richard tanpa basa basi kepada James Clark, salah satu orang kepercayaannya.
"Oh tentu saja Tuan. Apa ada yang bisa saya bantu untuk anda?" tanya James Clark.
"Tentu saja, James. Can you buy for me a pairs of Celine's shoes? Maksudku bawakan sepasang sepatu high heels Celine ke kantor segera," perintah Richard Alexander.
James terdiam sejenak. "Baik Tuan Richard," balas pria itu dengan sigap.
Dua belas tahun bekerja mengabdi di keluarga Alexander, sebagai asisten pribadi Richard, tentu saja James Clark sudah hafal dengan kebiasaan sang majikan, Richard Alexander yang dikenal sangat loyal terhadap koleganya terutama para wanita. Tanpa banyak basa basi James Clark segera meluncur untuk melaksanakan perintah sang majikan.
***
Sementara, Hati Viona bagai teriris ratusan pisau, mendengar pertanyaan sang atasan. Kedua alis Viona terangkat bersamaan saat mendengar kata cacat.Viona menghela nafas tipis, menenangkan hatinya yang kesal.
Namun, gadis itu memilih untuk diam saja dan tidak berkata apa-apa. Karena tidak ingin berdebat dan terlibat masalah dengan atasan barunya saat ini.Viona memilih untuk tetap melanjutkan pekerjaannya hari itu dengan penuh profesionalitas.
Viona memulai memasukkan data-data file di laptop kerjanya. Meskipun kakinya terasa tidak nyaman akibat lecet dan sebelah heels sepatunya rusak.
Itu bukanlah masalah bagi Viona, yang terpenting saat ini bagi dirinya adalah bekerja dengan menunjukkan dedikasi kerja yang baik sehingga bisa menjadi pegawai tetap di perusahaan ini. Karena saat ini kondisi keluarga Viona sangat memerlukan uang. Jadi mau tidak mau, Viona harus berusaha bertahan di perusahaan LAVABRA ini.
Diam-diam Richard Alexander memperhatikan sekretarisnya itu. Seulas senyuman sinis tersungging di bibir pria itu melihat kesungguhan kerja sekretaris barunya.
Tiga puluh menit berlalu. Tidak lama kemudian, James Clark pun tiba di kantor LAVABRA.
Pihak resepsionis di lantai satu mempersilahkan James untuk naik ke lantai sebelas menemui CEO perusahaan itu.
Terdengar suara pintu diketuk dari luar. James pun telah sampai di lantai sebelas.
"Masuklah James!" perintah Richard dari dalam ruangan.
Tidak lama kemudian, seorang pria berusia setengah baya berusia empat puluh delapan tahun dengan bertubuh tinggi besar, dan berpakaian rapi memasuki ruangan CEO. Tangan kanannya menenteng tiga buah tas kertas berukuran tanggung.
"Selamat siang Tuan Richard. Ini pesanan anda telah tiba," ujar James Clark dengan sopan kepada sang majikan.
"Bagus James, Let me see it!" ujar Richard Alexander dari tempat duduknya.
James pun mengeluarkan satu per satu kotak yang ada di tiga tas kertas yang dibawanya tersebut. Kemudian membawa satu per satu kotak itu ke hadapan sang majikan.
"Kenapa kau membawa banyak sekali, James?!" tanya Richard dengan penasaran.
"Bukankah aku hanya memintamu membawa satu saja, hah?!" omel pria itu kepada bawahannya.
James tertunduk. "Maafkan, saya Tuan Richard. Karena tidak anda tidak memberi tahu ukuran yang pasti jadi, saya terpaksa membeli tiga pasang Celine ini," jelas James.
Richard mendengus pelan mendengar alasan dari sang bawahan. Richard merasa apa yang dikatakan oleh James itu sangat masuk akal. Pria itu menyadari bahwa hal itu bukanlah seratus persen kesalahan James, jadi Richard memaafkan bawahannya itu.
"Hmph, baiklah. Tidak masalah James. I forgive you," dengus Richard.
"Terima kasih banyak, Tuan Muda," balas James. Raut wajah pria itu berubah menjadi sumringah mendengar kemurahan hati sang majikan yang bersedia, langsung memakannya tanpa marah-marah seperti biasanya.
James pun membuka satu per satu, tutup dari ketiga kotak itu. Semuanya berisi sepatu high heels cantik berwarna hitam dengan sol berwarna merah terang. Salah satu ciri khas dari merk kenamaan CELINE.
"Ini nomor 38, 39 dan 40, Tuan Muda," jelas James.
"Hmph, look nice," balas Richard.
Richard pun mengalihkan pandangannya kepada Viona, sekretaris barunya itu.
"Nona Viona! Coba anda kemari sebentar!" panggil Richard Alexander.
"Ya, Tuan Richard," balas Viona.
Gadis itu terkesiap mendengar perkataan sang atasan. Gadis cantik berambut pirang itu pun segera menghampiri sang atasan. James hampir saja tertawa terbahak-bahak melihat cara berjalan Viona yang aneh. Gara-gara melihat cara berjalan Viona yang aneh mirip orang pincang.
Namun, karena takut terkena marah sang majikan James berusaha sebisa mungkin menahan diri agar tidak tertawa.
Tiba-tiba, Richard Alexander berdiri dari kursi kerjanya dan berjalan menghampiri Viona. Pria itu sedikit membungkukkan badannya. Pandangan pria itu tertuju pada sepatu high heels butut milik Viona.
"Sebaiknya anda buang saja sepatu tidak layak pakai ini!" ujar Richard Alexander dengan entengnya.
"Lepaskan sepatu sampah itu! Bunyinya sangat mengganggu di telingaku," perintahnya.
Deg! Perasaan Viona kembali seakan di sayat sembilu, mendengar perkataan tajam Richard Alexander. Hanya sepasang sepatu butut ini yang sudah setia menemani Viona bekerja selama dua bulan di perusahaan LAVABRA.
Memang meskipun bukan sepatu baru, namun sepatu high heels hitam ini memiliki banyak kenangan. Karena pemberian sepatu high heels ini adalah hadiah pemberian dari ibunya. Tidak disangka sepatu high heels ini cepat sekali rusak.
'What? Apa maksudnya saya harus melepaskan sepatu ini dan membuangnya? Kenapa orang ini suka sekali memerintah seenak hatinya sendiri?' batin Viona.
Richard kembali menegakkan badannya kemudian bersedekap sambil memandang ke arah Viona.
"Anda tidak mungkin menggunakan sepatu rusak itu untuk bekerja seharian, bukan?" tandas Richard Alexander.
Viona masih terdiam membeku mencoba mengerti maksud dari sang atasan. Karena tidak mungkin bekerja dengan bertelanjang kaki. Apalagi ini musim dingin dengan suhu udara mencapai 1 derajat celcius.
Richard menghela nafas panjang.
"What is your size? Berapa ukuran anda Nona?" tanya pria itu sekali lagi, memperjelas ucapannya.
Tatapan mata tajam Richard Alexander seakan menembus ke jantung hati Viona Ryders. Sedetik pandangan mata Viona dan Richard bertemu. Di saat yang sama, Viona terpesona oleh keindahan iris mata biru milik sang atasan.
Mata tajam yang terlihat maskulin dengan bulu mata tebal dan alis mata coklat yang tegas. Menambah keindahan dan kesan maskulin sang CEO. Viona merasakan ada sedikit aura misterius nan mempesona di mata indah Sang CEO.
"Maafkan saya, jika perkataan saya tadi membuat anda tersinggung. Tetapi, sepertinya sepatu itu sudah tidak cocok lagi dengan anda Nona Viona," ujar Richard Alexander.
Pipi Viona bersemu merah, saat mendengar perkataan Sang CEO. "Ah, tidak apa-apa Tuan Richard."
Kedua alis CEO itu bertaut saat mendengar jawaban dari sekretaris barunya.
"Ah, anda ini kurang cepat mengerti ya?" sindir Richard.
"Sebagai sekretaris CEO, tentu akan sangat memalukan dan merepotkan. Apabila anda tetap mengenakan sepatu seperti demikian," imbuh Richard Alexander sambil menunjuk ke arah kedua sepatu high heels sekretaris barunya.
Viona buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Ukuran saya 38, Tuan Richard," balas gadis itu, dengan sedikit tersipu malu gadis itu menjawab pertanyaan sang CEO.
"Hmph, 38 rupanya ya," guman Richard.
James yang berdiri di dekat meja kerja Richard terlihat senang. Dengan sigap pria bertubuh tinggi besar itu pun segera mengambilkan sebuah kotak sepatu yang ada di bagian paling kanan.
Lalu membawanya kepada sang majikan.
"Nona, gantilah sepatumu itu dengan yang lebih baik ini," ujar Richard Alexander.
"Anda tidak mungkin menggunakan sepatu rusak itu untuk bekerja seharian, bukan?" imbuhnya.
Pipi Viona bersemu merah, saat mendengar perkataan Sang CEO.
Bersambung....