"Kasih jalan buat Tuan Putrinya gue," seru Altan ketika memasuki kelas 2-4.
Siswa-siswi yang menghalangai jalan langsung menepi, mempersilakan Anna dan Altan berjalan bak putri dan pangeran. Anna tersipu malu. Walau menurut orang normal perlakuan seperti ini konyol dan memalukan, bagi Anna, ini adalah bahagianya. But, only with Altan.
"Ajegile ... kang bucin dateng," sambut Juno yang tadi sedang sibuk ngobrol.
"Ih, Bian. Aku iri," ucap Yuni sambil merangkul Fabian yang ada disebelahnya.
"Kita bukan couple goals kaya mereka, Yun. Sadar diri aja. Kalo kita yang ngelakuin, dianggepnya orang gila," jelas Fabian seadanya yang dibalas decakan sebal Yuni.
"Bener tuh," timpal Yoga. Yuni menatap Yoga sinis tapi lelaki itu hanya tertawa.
Kelas 2-4 heboh. Banyak juga murid lainnya yang mengintip dari luar jendela untuk melihat Altan dan Anna.
"Berarti si akun gosip itu bohong, ya."
"Buktinya sih, iya."
Anna sudah duduk dibangkunya. Altan menatap sekeliling kelas.
"Buat kalian yang masih ngeraguin hubungan gue sama Anna, gue kasih tau, ya. Gue ini cinta mati sama Anna, apapun yang terjadi dan apapun yang akun gosip itu omongin, gue gak akan terpengaruh sama sekali," jelas Altan dengan tegas lalu mengelus lembut kepala Anna.
"An, gimana perasaan lo?" tanya Lira yang duduk di depan Anna.
"Anna, kasih tau gue gimana rasanya dibucin cogan jenius?!" jerit Yuni histeris. Padahal di sebelah gadis itu ada kekasihnya.
"Yun, aku disini, ya. Aku juga bucin kamu loh," ucap Fabian mematap Yuni. Gadis bernama Yuni itu malah menatap sinis Fabian.1
Bel masuk kelas berbunyi. Altan pamit untuk kembali ke kelasnya pada Anna. Tapi ketika di depan papan tulis, Altan menatap sekeliling kelas 2-4.
"Karna kelas gue beda, tolong jagain Tuan Putri gue, ya, guys," ucap Altan senyum sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Aduh ... aduh ... gue dikedipin Altan," ucap Rani heboh.
"Anjay! Berasa jadi Anna gue," ucap Lira heboh.
"Bye, Anna sayang. Love you," ucap Altan sambil memberikan flying kissnya, lalu benar-benar pergi dari kelas 2-4.
"An, jangan marah, ya, kalo gue ngerasa Altan ngasih flying kiss itu buat gue," seru Rani heboh.
"Buat gue itu," timpal Yuni.
"Apasih, gue lah," tambah Lira.
"Udah guys," lerai Luna pelan. "Itu tadi buat gue." Luna bertingkah lebay sambil memegangi wajah malunya membuat Rani, Yuni dan Lira menyorakinya.
Anna hanya tersenyum melihat tingkah teman-temannya. Anna sama sekali tidak marah. Altan memang sangat baik dan ramah, lelaki itu juga tidak sombong, maka dari itu banyak orang yang menyukainya. Cemburu? Untuk apa cemburu kalau lelaki itu terlihat sangat mencintainya dengan tulus.
'Tapi, kalo tiba-tiba Altan ninggalin aku gimana, ya?' batin Anna, tiba-tiba memikirkan hal yang mustahil. Ia menjadi merenung, memikirkan nasibnya tanpa Altan dihidupnya.
"Kampungan," dengus Pika sinis.
Lira hendak membalas ucapan Pika, tapi mulutnya terkatup lagi ketika Pak Rudi datang.
"Kangen 'kan sama Bapak?" tanya Pak Rudi senyum.
"Ih, Bapak udah masuk aja. Padahal kemaren enak gak ada Bapak," ucap Fabian sekenanya.
"Masa sih, kalian gak kangen Bapak?" tanya Pak Rudi sambil duduk di bangkunya.
"Enggak, Pak. Ke pelajaran Bapak aja aku gak kangen," timpal Juno sekenanya.
"Yaudah kalo gak ada yang kangen, saatnya belajar," ucap Pak Rudi dengan senyum menyebalkannya.
"Hhhhhh," dengus semua murud kesal.
Pelajaran Matematika dimulai. Mereka sangat serius belajar Matematika. Pak Rudi mulai menulis tentang persamaan linear di papan tulis. Anna giat mencatat walau terkadang bukunya basah akibat keringat.
Semakin banyak keringat yang membasahi bukunya, ia berhenti menulis. Anna mengambil ponselnya di kolong meja lalu mengirim oesan pada Altan.
-Aku nulis sedikit catetan matematika. Tangan aku basah terus licin, bukuku juga basah-
Drrrttt!
-Gak papa Anna sayang ... nanti aku tulisin buat kamu. Pelajaran kita kan sama-
Anna tersenyum membaca pesan itu. Kekhawatirannya pada pikiran negatifnya hilang begitu saja.
"Anna, kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Pak Rudi membuat Anna terlonjak kaget.
"Gak apa-apa, Pak," jawab Anna menggeleng.
"Kalo lagi belajar, gak boleh main hp, ya. Apalagi mengganggu yang lain," ucap Pak Rudi datar.
"Iya, Pak," jawab Anna mengangguk.
"Lain kali kalau ketauan, Bapak sita hp nya."
Anna paham betul kalau Pak Rudi sedang menyindir dirinya.
'Altan 'kan punya aku, terserah aku lah mau chat dia kapan aja,' batin Anna kesal. Sebenarnya, Anna sangat tidak suka guru matematika ini.
Walau kesal, gadis cantik nan mungil itu kembali fokus pada pelajaran Matematika. Ia hanya pura-pura menulis alias hanya mencoret-coret selembar kerta. Karna jika menulis dibuku, bukunya akan basah seperti terkena hujan.
Pak Rudi mulai menjelaskan apa yang ditulisnya di papan tulis. Tapi, gadis itu beralih menatap luar jendela kelas. Melihat awan cerah yang indah. Dengan menatap penuh harap, ia ingin hidup secerah awan bukan sepekat mendung.
Drrrrrttt!
Anna mengambil ponselnya dengan raut wajah tersenyum. Tapi, ketika melihat nama si pengirim, senyumnya luntur perlahan.
-Jangan pulang kalo kamu gak mau liat hal yang gak kamu suka-
Wajah Anna terlihat kesal dan marah.
'Pasti Ibu melakukan hal bodoh lagi," batinnya kesal.
Namun tiba-tiba, dadanya terasa sesak. Nafasnya terengah-engah. Merasa tersiksa, ia memukul-mukul meja membuat semua mata tertuju padanya.
"Kenapa, An?" tanya Lira panik. Gadis itu langsung bangun dari duduknya dan menghampiri Anna.
Anna tidak membalas pertanyaan Lira, ia terus memukul-mukul meja agar merasa baikkan. Tapi sayang, dadanya terus sesak.
"Hhhhhhh."
"An ... An ..., coba kamu pelan-pelan keluarin napasnya, ya," ujar Lira pelan tapi wajahnya panik.
Anna mengangguk. Lira mulai mempraktekkan menarik dan membuang napas perlahan, Anna mengikutinya. Murid lainnya ikut mengerubungi Anna, mereka juga khawatir dan panik, tapi tidak tau harus berbuat apa.
"Hey, hey! Duduk di tempat kalian masing-masin. Kalau kalian berkumpul, Anna kesusahan!" tegas Pak Rudi sambil menghampiri bangku Anna. Sebagian menurut, sebagian lagi masih mengelilingi Anna dan Lira.
Anna masih mengikuti arahan Lira sambil meremas kerah bajunya, tapi beberapa detik kemudian, "Telpon bu Naya!" teriak Lira panik ketika nafas Anna semakin memburu dan tak terkendali.
Rilham segera berlari keluar entah kemana. Pika langsung menelpon bu Naya dengan harap-harap cemas. Wajah Lira memerah menahan tangis melihat Anna yang kesusahan bernafas. Lira sangat bingung dan panik. Wajah Anna terlihat pucat dan terlihat jelas keringat di wajahnya. Padahal, semua jendela kelas ini terbuka, bahkan, murid lain pun tidak ada yang berkeringat sebanyak Anna.
"Anna, kenapa?" tanya Yuni panik juga takut.
"Gue juga gak tau," jawab Rani juga khawatir dan panik.
Yang lain hanya melihat dengan raut kasihan, cemas, khawatir dan panik tapi tidak bisa membantu.
Brak!
Seseorang masuk setelah membuka dengan keras pintu kelas 2-4.
Tbc ...