Suasana menjadi hening. Tidak ada siapapun yang berani membuka suara. Menunggu reaksi dari Almira.
Semua kasat mata mengarah kepada wanita berusia 23 tahun itu. Tanpa berkedip, seolah mengharapkan jika Almira akan menerima kenyataan ini dengan lapang dada.
"Sayang...." panggil Khairul, merasa tidak tenang atas diamnya sang istri. Namun tidak ada jawaban sedikitpun dari Almira. Ia bungkam tanpa tahu harus mengatakan apa pada berita mengejutkan yang ia dengar saat ini.
Khairul merasa khawatir dengan tingkah tidak biasa istrinya. Padahal Almira bukanlah orang yang akan mendiamkan sebuah masalah. Namun kali ini, ia benar-benar di buat bingung dan merasa bersalah oleh istrinya.
Sikap Almira membuat seluruh keluarga Khairul yakin jika Almira tidak akan menerima kenyataan ini. Mereka pun sudah menyiapkan clue jika saja Almira akan menolak semua ini. Tapi tak di sangka, justru Almira tersenyum meski dengan senyuman pahitnya.
Almira menatap getir ke arah wanita di hadapannya ini. Zara hanya bisa menunduk tanpa berani melihat ke arah Almira. Merasa bersalah karena telah menikahi suami wanita itu. Namun ia bisa apa, sebagai wanita Zara juga menginginkan kehidupan normal seperti yang lainnya. Terutama, Zara memikirkan anaknya. Ia yakin jika Khairul bisa mendidik anaknya itu menjadi pribadi berakhlak mulia dan juga beradab.
Sedikit banyak Zara mengetahui tentang suaminya itu. Khairul memang bukanlah manusia yang sempurna. Tapi dari setiap tutur katanya dan sikapnya menunjukkan bahwa dia adalah lelaki yang baik. Sehingga ketika ayah dan ibunya membicarakan perjodohannya dengan Khairul, ia pun menerimanya dengan senang hati.
"Jadi, kamu namanya Zara yah?" tanya Almira, meski dengan suara yang berusaha ia tekan agar tidak terdengar bergetar.
Semua orang kaget dengan reaksi Almira. Sungguh tidak menyangka jika Almira akan begitu berbesar hati menerima madu-nya itu. Padahal, tanpa mereka ketahui. Hati Almira begitu hancur. Sehingga susah baginya untuk meluapkan perasaanya. Lagipula, ia tidak pantas untuk menodong suaminya dengan berbagai macam pertanyaan sedangkan ada keluarga suaminya di sini.
"Iya, Mbak," jawab Zara, gugup. Karena reaksi Almira tidak sesuai dengan ekspetasinya. Ia pikir, Almira akan mengamuk, tidak menerima atau lebih parahnya meminta cerai dari Khairul. Namun nyatanya, hal itu tidak terjadi. Dan Zara bersyukur akan itu.
"Kalau begitu selamat datang yah di keluarga kecil kami. Semoga kamu bahagia dengan Mas Khairul."
Setelah mengucapkan kata menyakitkan itu, Almira bangkit dari duduknya. Hendak melangkah pergi. Namun sebelum itu ia pamit terlebih dahulu.
"Papa sama Mama dan yang lainnya silakan menikmati cemilannya, anggap saja rumah sendiri. Mira harus masuk dulu, permisi," pamitnya. Kemudian segera beranjak dari ruangan menyesakkan tersebut.
Khairul semakin panik. Ia sangat mengenal istrinya luar dan dalam. Jika sedang seperti itu, artinya Almira sudah terlalu sakit hingga tidak mampu mengatakan apapun untuk mencurahkan kesedihannya. Rasa bersalah semakin menggerayangi hati Khairul.
Keluarga Khairul juga nampak tidak enak hati dengan keadaan ini. Namun berbeda dengan sang Papa. Pria itu, lebih memilih bersikap dan berpikir bijak daripada harus menggunakan perasaannya untuk saat ini.
"Tidak perlu terlalu khawatir, Rul. Almira hanya sedang butuh waktu saja kok. Lagipula, ini sudah menjadi konsekuensi dia menikah dengan salah satu anggota keluarga kita. Jadi dia harus lebih memahami keadaannya."
Khairul menatap tajam ke arah Papanya dan mengepalkan tangannya. Ia tidak menyangka jika Papanya semudah itu mengatakan bahwa dirinya tidak perlu khawatir. Padahal saat ini, ia sedang sangat ketakutan. Takut jika harus kehilangan wanita yang sangat di cintainya itu.
Melihat reaksi anaknya yang sedang tidak baik. Mama Khairul memilih untuk mencairkan suasana dan mengajak keluarga untuk pulang. Ia tahu, jika Khairul saat ini butuh berbicara dari hati ke hati dengan istrinya-Almira.
"Sebaiknya kita pulang. Biarkan Khairul menyelesaikan rumah tangganya. Kalau kita di sini terus, pasti masalahnya tidak akan pernah bisa terselesaikan." Mama Khairul bangkit dari duduknya. Lalu mengarahkan pandanganya pada Zara menantunya yang lain.
"Zara ikut kami pulang dulu. Khairul akan menjemput kamu jika masalahnya sudah beres."
Zara mengangguk, "Baik, Mah," ucapnya, pasrah. Ia juga tidak mungkin masih terus berada di sana dalam keadaan canggung seperti itu.
"Kalau begitu kami pulang dulu yah Rul, sampaikan permintaan maaf Mama pada Almira. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Khairul lirih. Tanpa mengangguk sedikitpun. Pikirannya terlalu bingung untuk melakukan apa sekarang.
Seluruh kelurga Khairul sudah mulai berjalan keluar dan beranjak meninggalkan ruang tamu. Terkecuali Zara, ia mendekat kepada suaminya, meminta izin untuk pulang.
"Mas, aku izin pulang yah. Sekalian mau tengokin anak aku. Aku harap, Mas bisa membujuk mbak Almira baik-baik. Aku tidak mau jika hubungan kalian hancur gara-gara kehadiran aku," ujar Zara, penuh penyesalan.
Khairul mengangkat kepalanya lalu tersenyum sendu di hadapan Zara kemudian menggeleng.
"Tidak apa-apa. Kamu tidak bersalah." Khairul menjeda ucapannya. "Untuk sekarang, kamu tinggal dulu di tempat orang tua kamu. Nanti kalau masalah di sini sudah selesai. Saya akan menjemput kamu dan membawa kamu ke rumah baru kita," jelasnya panjang kali lebar.
Zara mengangguk mengerti. "Kalau gitu, Zara pulang dulu yah, Mas. Assalamu'alaikum," pamit Zara sembari meraih tangan suaminya untuk ia jabat.
"Wa'alaikumussalam."
Di sisi lain, Almira mengunci dirinya di dalam kamar sendirian. Ia bahkan tidak ingin membiarkan siapapun melihat keadaanya yang sedang sangat kacau sekarang. Ia berharap ini semua hanyalah mimpi, namun tatkala ia mencubit dirinya, ia sadar bahwa ini adalah kenyataan. Kenyataan pahit yang harus ia hadapi.
Almira bahkan tidak tahu harus mengucapkan kata apa untuk mewakili perasaannya saat ini. Dan hanya air matalah yang menjadi saksi bahwa hatinya begitu hancur, meski masih kokoh untuk berdiri.
Ia paham jika sejak awal, keluarga suaminya sudah menekankan bahwa dalam keluarga itu memegang teguh syariat poligami. Sehingga ia tidak kaget dan sudah mempersiapkan diri untuk mendengar kabar itu kapanpun. Tapi yang menjadi mis-nya. Almira tidak menyangka bahwa itu akan menjadi sesakit ini.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu kamar membuyarkan pikiran Almira. Ia tahu jika saat ini yang mengetuk pintu itu adalah Khairul-suaminya. Namun ia terlalu sakit untuk bertemu Khairul hari ini.
Jika bertemu Khairul sekarang, mungkin ia benar-benar akan meminta suaminya itu untuk menceraikan dirinya. Dan Almira belum siap jika hal itu terjadi.
"Sayang, buka pintunya. Biarkan aku jelaskan," ujar Khairul, sambil tetap mengetuk-ngetuk pintu kamar mereka.
"Aku tidak bermaksud menyembunyikan ini darimu. Karena Mas sadar pasti akan menyakitkan untukmu. Tapi kamu harus tahu, jika yang Mas cintai hanya kamu sayang. Mas tidak bisa melihatmu sakit seperti ini. Jadi tolong, buka pintunya. Maafkan Mas. Mas tahu, Mas salah."
Khairul berbicara panjang lebar di depan pintu kamar mereka. Merayu istrinya. Bahkan kini ia hampir menangis karena tidak tega dengan penderitaan Almira.
Dan tidak di sangka, Almira membuka pintunya. Namun ucapannya menohok hati Khairul.
"Mas, tolong ceraikan aku. Sepertinya aku tidak akan sanggup di madu," lirih Almira, datar.