Chereads / POLIGINI / Chapter 4 - TELAH TERBAGI

Chapter 4 - TELAH TERBAGI

Khairul menatap nanar ke arah wajah istrinya. Dan menggeleng kuat. Ia tidak mau cerai. Dan lebih memilih kehilangan segalanya daripada kehilangan istrinya.

Terlihat sekali guratan kesedihan di wajah Almira. Bahkan air mata-nya kini telah terkuras habis. Hingga keluar dalam keadaan memasang ekspresi dinginnya.

"Tidak Sayang, aku...."

Cklek~

Khairul terbangun dari khayalannya. Ia bersyukur, ternyata permintaan Almira barusan hanyalah khayalan gilanya, ketakutannya kehilangan wanita itu.

"Mas, kamu sudah makan?" tanya Almira, lembut. Seperti biasa. Seakan tidak ada masalah apapun di antara mereka.

Khairul melongo, menatap tidak percaya ke arah istrinya yang saat ini keluar dengan wajah manisnya. Tanpa ada gurat kesedihan sedikitpun. Ia pun mendekat kepada Almira.

"Sayang, kamu tidak apa-apa?" tanya Khairul dengan nada khawatir.

Almira tersenyum, kemudian meraih lengan suaminya. "Aku tidak apa-apa," katanya. Sembari menuntun Khairul menuju meja makan.

Khairul masih dalam posisi bingung saat ini. Sikap Almira sama sekali tidak sesuai dengan ekspetasinya. Ia menyangka jika istrinya itu akan marah-marah atau bahkan meminta cerai darinya. Namun yang terjadi saat ini ... Wanita itu tersenyum tanpa terjadi apa-apa.

"Duduklah, Mas," ujar Almira. Lalu melangkah ke arah samping untuk mengambilkan piring yang kemudian ia isi dengan nasi dan beberapa lauk pauk.

"Makanlah," katanya lagi, seraya menyerahkan satu piring penuh makanan di hadapan suaminya.

Khairul meneguk salivanya kasar. Menatap hidangan di depannya dengan tatapan sendu. Sikap istrinya memang terlihat baik saat ini. Namun nyatanya, Almira sedang mengungkapkan kekesalannya.

Bagaimana tidak, makanan yang Almira hidangkan terisi penuh dan menyembul di piring Khairul. Ia pun menatap nanar ke arah istrinya seraya tersenyum canggung.

"Terima kasih, Sayang. Aku makan yah," ujar Khairul, dengan senyum terpaksa.

Almira mengangguk, kemudian duduk dan memangku dagunya dengan tangannya. Menatap intens ke arah suaminya.

Khairul mengangkat wajahnya melihat Almira. Wanita itu sama sekali tidak mengambil makanan untuk dirinya. Padahal, Khairul tahu jika Almira pasti belum makan karena menunggu dirinya.

"Sayang, kamu tidak makan?" tanya Khairul, hati-hati. Takut jika Almira tersinggung.

"Tidak, nanti saja," jawab Almira, singkat.

Khairul menganguk. Dan suasana kembali hening. Hanya ada denting sendok milik Anwar yang memecah keheningan di antara keduanya. Almira tidak berbicara sedikitpun. Padahal, biasanya Almira akan sangat suka bercerita apapun saat makan seperti ini. Sudah pasti, istrinya itu terlalu sakit hati hingga tidak mampu lagi mengatakan apapun.

Almira tetap pada posisinya. Menatap Khairul, namun dengan tatapan kosong. Sedang Khairul sudah menyelesaikan hidangannya hingga habis. Dan saat ini, perutnya benar-benar terasa begah karena banyaknya makanan yang masuk ke dalam perutnya.

Ntinggg!

"Sayang, aku akan menceritakan semuanya padamu," ucap Anwar, memulai pembicaraan.

Almira sudah sadar dari lamunannya. Lalu mulai mendengarkan apapun yang akan suaminya itu sampaikan. Meski ia sadari bahwa apapun yang Khairul katakan saat ini semuanya percuma.

Karena semua itu tidak akan pernah bisa mengembalikan kenyataan bahwa suaminya telah menikah lagi. Semuanya sudah terlambat. Dan Almira sadari, bahwa suka atau tidak ia tetap harus menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa suaminya tidak lagi hanya miliknya seorang.

Bukankah sejak awal, ia sudah tahu tentang itu? Keluarga besar suaminya telah mengatakan semua hal padanya saat ia dan Khairul mengambil keputusan untuk menikah. Bahwa dalam keluarga suaminya, akan ada madu-madu.

Namun dasar sudah cinta. Almira tidak bisa mengatakan apa-apa lagi saat itu. Karena cintanya pada Khairul. Ia rela untuk menerima semua kenyataan itu. Tapi pernahkah, Khairul memikirkan sedikit saja perasaan dirinya? Bahkan Khairul sama sekali tidak mengatakan apapun bahwa dirinya menikah kemarin malam. Hingga ia seperti orang gila yang ketakutan menunggu kepulangan suaminya.

"Apa itu perlu, Mas? Aku sudah tahu, jika peraturan keluargamu seperti itu. Jadi, untuk apa di bahas lagi? Semuanya sudah cukup jelas," sahut Almira. Tanpa ingin memberikan ruang pada Khairul untuk menjelaskan. Karena semakin di jelaskan, maka ia akan semakin merasakan sakitnya.

Khairul meraih tangan istrinya namun secepat mungkin di tepis oleh Almira. Untuk saat ini, ia tidak ingin menyentuh bagian tubuh manapun dari suaminya kecuali tadi, saat dirinya mengajak Khairul untuk makan. Ia ingin memperlihatkan pada Khairul bahwa saat dirinya sedang marah pada suaminya itu.

Khairul meneguk salivanya kasar saat Almira menepis tangannya. Namun ia tetap ingin berusaha untuk menjelaskan semuanya.

"Itu perlu, Sayang. Kamu harus tahu kalau aku menikahi seorang--"

"Wanita yang sangat cantik!" sela Almira dengan cepat. Memotong pembicaraan Khairul. Ia bukan bermaksud untuk bersikap tidak sopan. Namun hatinya terlalu sakit untuk berbicara baik-baik dengan Khairul saat ini.

Khairul berdecak, kesal. Dan menghela napasnya berat.

"Tidak secantik dirimu, Ra. Aku sudah katakan, bahwa aku hanya mencintaimu. Dan selamanya akan tetap seperti itu. Kamu harus tahu itu," jelas Khairul. Ia tidak ingin masalah ini berlarut-larut. Dan mengganggu ketentraman hidupnya bersama Almira.

Almira mendecih pelan dalam hati. Baginya, setiap perkataan laki-laki hanyalah omong kosong belaka. Hanya mencintai dirinya katanya? Bullshit. Kalau memang cinta, kenapa harus menduakan dirinya?

"Zara adalah seorang janda satu anak. Orang tuanya bersahabat baik dengan orang tuaku sejak dulu. Namun komunikasi mereka sempat terputus karena Zara dan keluarganya pindah keluar kota. Dan mereka kembali di pertemukan setelah orang tua Zara bangkrut dan sakit-sakitan. Sedang suami Zara sendiri sudah meninggal."

Khairul mulai bercerita. Meski ia tidak terlalu yakin jika Almira akan percaya dengan ceritanya atau akan luluh dan kasihan dengan Zara.

Tapi ternyata, raut muka Almira mulai berubah. Sedikit lebih lunak dari sebelumnya. Meski matanya masih menyimpan kesenduaan yang teramat dalam.

"Aku tidak menikahinya karena cinta, Ra. Tapi aku mengambilnya sebagai istri untuk meringankan beban hidupnya," ucap Khairul lagi. Kemudian mengarahkan tubuhnya pada Almira.

"Aku tahu, semuanya terasa tidak nyata bagimu. Tapi aku akan berusaha untuk tetap mencintaimu dan menikahi mereka karena alasan itu. Kamu tidak perlu khawatir kalau aku akan menduakan cintamu. Meski aku menduakan atau bahkan lebih dari itu dalam pernikahan ini. Kamu harus percaya jika semuanya terjadi karena alasan itu, tidak lebih."

Almira menghela napasnya berat. Begitu susah baginya untuk berbagi suaminya dengan orang lain. Terlebih, ia khawatir jika Khairul tidak akan sanggup untuk berlaku adil pada semua istrinya.

"Aku yakin kamu paham agama, Ra. Maka tolong suamimu ini. Sungguh, aku tidak bisa menjalani semua ini sendirian. Aku tahu, ini akan menyusahkanmu. Bahkan akan seringkali menyakitimu. Tapi tolong bantu aku. Jika kamu mengabaikanku seperti ini. Selain kepada Allah, kepada siapa lagi aku harus mengadukannya?"

"Mas..." lirih Almira tercekat. Tenggorokannya terasa kering sekarang. Alasan-alasan yang Khairul berikan begitu masuk akal. Sehingga ia tidak bisa menyangkalnya sedikitpun.

"Iya, Sayang?"

Almira terdiam sejenak. Menatap intens netra bening suaminya. Dan kembali menghela napasnya.

"Jika kamu tidak mencintai mereka. Apa boleh aku memintamu untuk tidak menggauli mereka?"