Malam itu, ayah memarahi kami berdua.
Ya, kami berdua.
David juga ikut dimarahi.
David tidak melawan ataupun mengelak.
Ia hanya tersenyum sambil meminta maaf pada ayah.
Dan berkata kalau aku punya keterampilan yang baik dalam membaca medan.
Entah dia benar-benar memujiku atau hanya mengatakannya untuk menghiburku yang capek dan kesal.
Tapi, berkat latihan malam itu, besoknya aku bisa lebih memahami tata kota Plemenita.
Memang, suasana kota saat siang dan malam hari sangatlah berbeda.
Tapi itu justru membuatku makin penasaran untuk mengeksplor Plemenita lebih jauh lagi.
Sesekali setelah pulang dari Kedai Paman Kirill, aku berjalan memutar menggunakan rute yang belum pernah kulalui sebelumnya. Kali ini aku tidak khawatir akan tersesat karena sudah cukup banyak jalan yang kupahami.
Pagi hari aku bekerja di kedai Paman Kirill.
Sore sepulang kerja aku jalan-jalan sambil pulang ke markas tentara Plemenita.
Sesampainya di markas, aku berlatih rapier dengan David sampai malam.
Malamnya, kami pulang ke penginapan untuk beristirahat.
Begitu terus sampai beberapa hari.
Sampai tak terasa sudah sebulan aku melakukan rutinitas tersebut...
"Andre. Besok kau dan Fyodor tidak usah masuk kerja dulu."
Tumben sekali David berkata demikian di sela-sela latihan kami.
Aku mengelap keringatku dengan kain.
"Ada apa, pak guru? Tumben sekali membahas pekerjaan kami."
"Iya, kita besok akan audiensi dengan Tuan Stojan. Kudengar beliau sudah sampai di Plemenita."
Ah, iya. Aku sampai lupa tujuan kami kemari.
"Tapi, apakah itu perlu, pak guru? Maksudku, kita sudah bisa hidup dengan mulus selama sebulan ini. Aku dan Paman Fyodor bekerja dengan Paman Kirill, pak guru dan ayah bekerja sebagai prajurit. Bukankah itu cukup?"
"Tetap saja, ada yang namanya etika bertamu. Aku mengenal Tuan Stojan cukup baik, tidaklah sopan kalau aku tidak menemuinya. Sekalian aku ingin mengenalkan kalian pada beliau."
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan David.
"Baiklah kalau begitu. Tapi, aku belum bilang ke Paman Kirill."
"Fyodor sudah kusuruh untuk sekalian memintakan izinmu."
Oh oke.
Latihan kami pun dicukupkan tak lama setelah itu.
Di penginapan...
Kami berempat berkumpul di kamar.
David ngomong duluan.
"Jadi, besok siang kita akan menemui Tuan Stojan. Sepertinya Tuan Stojan cukup lelah dengan perjalanannya dari ibukota."
"Aku tidak membawa pakaian resmi, apakah tidak apa-apa jika aku mengenakan pakaian biasa?" Kata ayah.
"Tidak apa-apa, setahuku beliau tidak terlalu memedulikan penampilan. Yang penting kita tidak terlihat seperti pengemis saja."
"..."
Ah, Paman Fyodor diam lagi.
Kukira penyakitnya ini sudah sembuh saat kami bekerja di Kedai Paman Kirill, mengingat dia cukup banyak bicara di sana.
"Pokoknya nanti aku yang akan bicara duluan. Kalian tidak usah terlalu memikirkan mengenai apa yang harus dikatakan. Akulah yang membawa kalian kemari, biarkan aku yang berbicara dengan beliau."
Kami bertiga manggut-manggut.
"Baiklah, apa kita perlu memberitahunya mengenai latar belakang kita atau haruskah kita mengarang cerita?" tanya ayah.
"Hm..."
David terlihat ragu.
Iya juga. Kalau kami membeberkan mengenai siapa kami, ada resiko beliau akan menunjukkan perlawanan.
Bisa-bisa kami malah ditangkap lalu dimasukkan penjara.
"Beliau itu... Orangnya cukup cermat... Agak sulit membohongi beliau, tapi..."
Ayah menghela napasnya.
"Vid, aku tahu kau memercayai beliau. Tapi kalau kita salah ngomong sedikit saja, resikonya cukup besar."
"Aku tahu... Maksudku, kalaupun kita bohong, kita harus membuat skenario yang sangat masuk akal. Dan itu sangat merepotkan..."
Kami berempat menghela napas.
"Paling tidak, kita harus jaga-jaga." Kata ayah.
Kami berempat lalu memikirkan sebuah skenario sematang mungkin.
...
Jadi begini...
Bukannya aku mau protes...
Tapi skenario ini lumayan konyol.
Kami berempat jadi petualang.
Aku tetap jadi anaknya ayah, ibu meninggal saat kami bertualang.
Paman Fyodor anak yatim-piatu yang David temukan di jalan, dan sudah bertualang bersama dari sejak itu.
Kami dikejar oleh bangsawan karena mencuri barang mereka lalu dijual di pasar. Oleh karena itu kami minta perlindungan dari Tuan Stojan.
Mana ada pekerjaan sebagai petualang...?
Dan lagi... Mana ada bangsawan yang mau melindungi pencuri...?
Aih masa bodo dah...
...
Besoknya, sesuai dengan rencana kami akan melakukan audiensi dengan Tuan Stojan, bangsawan pemilik tanah Plemenita.
"Semua siap?"
Kami bertiga mengangguk.
"Baiklah, ayo berangkat."
Kami berempat berangkat menuju kediaman Tuan Stojan.
Di depan gerbang, kami dihentikan oleh penjaga, namun David segera menjelaskan pada mereka.
Kami pun dipersilakan masuk.
Wah... Besar sekali...
Begitulah komentarku saat pertama masuk ke dalam mansion Tuan Stojan.
Setelah menjelaskan pada kepala pelayan, kami dipersilakan masuk menghadap Tuan Stojan.
Di dalam ruang audiensi...
"Oh, David ya? Sudah lama tak bertemu." Tuan Stojan mengulurkan tangannya pada David.
"Ah, senang sekali bisa berjumpa kembali dengan tuan." David menjabat tangan Tuan Stojan.
Tak kusangka Tuan Stojan ini orang yang sangat ramah. Berbeda sekali dengan bangsawan yang pernah kutemui.
"Jadi, ada apa?" Tanya Tuan Stojan.
"Ahahah, tidak terlalu penting sebenarnya tuan. Saya hanya ingin bertemu dengan tuan saja. Sekalian mengenalkan beberapa rekan saya. Ini Fyodor, Novel dan anaknya, Andre"
Tuan Stojan melihatku lalu ke ayah dan Paman Fyodor, lalu kembali memandangku dengan tatapan yang agak tajam.
"Jadi nak... Bagaimana rasanya punya 2 ayah?"
Hah? Maksudnya?
"Anu... Maaf... Tuan Sto...jan? Maaf, tuan. Maksud tuan bagaimana ya?" Tanyaku.
"Kau anak dari mereka berdua kan?" Katanya sambil menunjuk Paman Fyodor dan ayah.
Kami semua terdiam.
"Ahahahah!! Aku hanya bercanda. Aku paham maksud David, tenang saja." Kata Tuan Stojan sambil tertawa.
Kulihat ayah dan Paman Fyodor saling berpandangan.
Aku menghela napas.
Sungguh, aku tidak mengerti cara kerja pikiran bangsawan.
"Tidak usah kaku begitu, David sudah banyak berjasa bagiku. Meski dia hanya pengawal, dia melakukan tugasnya dengan sangat baik saat itu."
"Ah, tuan terlalu baik. Sayalah yang harusnya berterimakasih karena tuan mau menerima saya yang orang asing ini."
"Jadi, kau sudah berhasil pulang ke negerimu?"
"Sayangnya belum, tuan. Saya belum mendapatkan pelaut yang bisa mengantarkan saya ke sana."
"Ah... sayang sekali ya. Kukira kau sudah bisa kembali. Aku cukup penasaran dengan negerimu itu."
"Ya, begitulah tuan. Laut ke utara cukup ganas, sedikit sekali pelaut yang berani menyeberanginya."
"Ahahah, baiklah. Kembali ke topik utama. Jadi, ada apa? Tidak mungkin kau ingin bertemu denganku karena hanya ingin menyapa saja kan?"
"Ahahaha, seperti biasa, tuan sangat cermat. Jadi begini tuan..."
David lalu menjelaskan skenario yang sudah kami buat dan niat kami kemari.
"Hm... Biar kuulang... Kalian berempat ini... Petualang... Lalu suatu hari karena sedang kehabisan uang, kalian mencuri dari seorang bangsawan... Setelah itu karena ketahuan mencuri, kalian kabur dan kemari lalu berniat minta perlindungan dariku?"
"Iya... Benar sekali tuan..."
Tuan Stojan terdiam sejenak lalu memasang wajah serius.
"Lalu, siapa bangsawan yang kalian maksud?"
Wah...
Kami sama sekali tidak memikirkannya.
"Anu, tuan... Kami tidak yakin."
"Kau tidak yakin? Ya sudah..."
Kami menghela napas.
"... Kalau begitu, di mana kalian mencuri?"
Mendengar perkataan lanjutan dari Tuan Stojan, kami kembali bingung.
"Di Sergiograd, tuan." Kata ayah.
"Oho... Kau terlihat yakin... Novel, ya?" Tuan Stojan memandang ayahku dengan saksama.
"Kalau begitu, ceritakan padaku bagaimana kalian mencurinya."
"Jadi... Kami diundang oleh Eduard... Eduard Belov."
"Oh, jadi kalian mencuri dari Eduard?"
Ayah mengangguk.
"Oke, oke. Terus?"
Tuan Stojan terlihat sedikit menahan tawanya.
Sementara itu, kami berempat mulai berkeringat dingin.
"Kami diundang oleh tuan Eduard, lalu... Kami melihat sebuah guci yang indah..."
Tuan Stojan manggut-manggut, masih terlihat menahan tawa.
"Lalu saat ada kesempatan, kami mengambilnya."
"Oho, langkah yang sangat berani."
Tuan Stojan lalu berjalan mendekati David.
"David..." Tuan Stojan menepuk pundak David.
Kami berempat semakin tegang.
"Lain kali, kalau mau bohong, buatlah skenario yang lebih bagus." Katanya sambil tertawa.
"Tidak, kami..."
"Sudah, sudah. Aku tahu kalau kalian berbohong. Eduard tidak begitu suka mengoleksi barang, dia sukanya mengoleksi istri." Katanya sambil tertawa.
Mendengar perkataannya, David menghela napas sambil tersenyum lemah.
"Sepertinya kami benar-benar tidak bisa membohongi anda, ya tuan."
"Jadi, kalian benar-benar bohong?"
Wajah Tuan Stojan berubah serius.
"Tuan, berhentilah mempermainkan kami. Mereka ini belum terbiasa dengan sifat anda."
"Ahh, padahal sedang seru-serunya. Ya sudah. Kalau yang kalian katakan itu bohong, sekarang katakan yang sebenarnya."
David memandang kami bertiga lalu menghela napas.
"Sebelum kami menceritakan semuanya, saya ingin memperjelas status kami dulu. Kami yang sekarang ini tidak berafiliasi dengan pihak manapun, termasuk dengan yang akan kami ceritakan."
"Oh, ini menarik. Baiklah, ceritakan."
David lalu menceritakan semuanya, termasuk bagaimana kami berempat bisa berakhir di sini.
"Oho... Jadi kalian ini... Dengan kata lain... Dibuang?"
"Betul sekali, tuan."
Tuan Stojan menggaruk-garuk dagunya sambil berpikir.
Beliau lalu memandangku.
"Nak, kau itu cukup nekat ya."
Mendengar beliau berkata demikian, aku sedikit malu.
Tuan Stojan lalu memandang ayah.
"Dan kau, Novel. Hm... Kau sepertinya sangat menyayangi putramu."
"Tentu saja tuan. Dialah keluarga saya yang tersisa. Saya harus bisa menjaganya untuk mendiang istri saya."
Tuan Stojan manggut-manggut.
"Hm... Lalu kau... Siapa namamu tadi? Fyodor? Ah... Aku tak begitu bisa berkomentar banyak tentangmu. Kau kelihatannya seperti kebanyakan orang yang lebih suka mengekor yah."
"..."
Paman Fyodor terdiam, wajahnya tertunduk dan tidak mengatakan apapun.
Tuan Stojan lalu beralih ke David.
"David... Aku mengerti dengan keadaanmu sekarang. Tapi..."
Tuan Stojan memotong perkataannya.
"Aku tak bisa banyak membantumu. Mengingat masa lalu kalian yang adalah musuh para bangsawan, aku tidak bisa memberikan perlindungan atau apapun pada kalian."
Beliau menepuk pundak David.
"Aku harap kau mengerti. Yang bisa kulakukan adalah tidak melakukan apapun pada kalian. Aku takkan menangkap ataupun memenjarakan kalian. Tapi, aku juga tidak bisa memberikan perlakuan spesial pada kalian. Situasi politik negara ini sedang cukup panas, aku tidak bisa sembarangan memberikan sesuatu pada orang lain."
David tersenyum.
"Itu sudah cukup bagi kami, tuan. Selagi kami tidak dianggap kriminal di sini itu sudah cukup."
Ayah lalu berbisik pada David.
"Ah iya, satu hal lagi tuan. Mungkin suatu saat kami akan meninggalkan tempat ini tanpa pamit. Dikarenakan adanya kemungkinan poster buronan Novel disebar ke semua penjuru Rusidovia. Wajahnya sudah diketahui oleh salah seorang bangsawan."
"Siapa itu, kalau boleh aku mengetahuinya?"
Ayah menelan ludah lalu menjawab.
"Boris, Boris Belijelen."
"Boris...? Ah, dia yah. Aku pikir dia sudah hidup damai sendiri entah di mana. Ternyata dia masih punya pengikut."
"Apa tuan tahu mengenai orang itu!?"
Tanpa sadar aku bertanya pada beliau.
Perbuatanku ini membuat terkejut semuanya.
"Hm...? Ya, aku tahu dia, tapi tidak banyak. Yang kutahu, dia sudah tidak memiliki wilayah kekuasaan. Aku sendiri heran mengenai dia yang masih punya pengikut."
Bangsawan... Tapi sudah tidak punya wilayah kekuasaan...?
Apa yang terjadi sebenarnya...?
"Maaf, kalau boleh tahu... Apa yang terjadi padanya...? Maksud saya, kenapa dia 'sudah tidak memiliki wilayah kekuasaan'?"
"Hm... Kau cukup bersemangat dengan ini ya nak. Sebelum kujawab, bolehkah aku mengetahui alasan kau ingin mengetahuinya?"
Mendengar pertanyaan beliau, ingatan-ingatan yang sudah cukup lama ingin kulupakan kembali merasuk ke dalam pikiranku.
Amarah dan kesedihanku mulai meluap kembali.
"Dia... Dia... Membunuh ibuku..."
Semuanya terdiam mendengar perkataanku.
Tuan Stojan melihat ke arah ayah, ayah membalasnya dengan anggukan.
"... Baiklah. Aku tidak ingin ikut campur dengan masalah ini. Tapi, akan kukatakan apa yang kutahu. Anggap saja sebagai balas budi atas jasa David yang sudah berkali-kali menyelamatkanku dan kota ini."
Tuan Stojan menghela napas.