Chereads / Kutkh - Bahasa Indonesia / Chapter 37 - Puspas (1)

Chapter 37 - Puspas (1)

Hari itu berlalu begitu saja.

Kami memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan mengenai permasalahan kemarin.

Hari ini kami sibuk dengan rutinitas kami masing-masing.

Ayah dan David masih tetap bekerja sebagai prajurit.

Aku dan Paman Fyodor masih bekerja di kedai Paman Kirill.

Oh iya, David juga menyampaikan permintaan maaf kami setelah itu.

Tuan Stojan tidak keberatan dengan sikap kami kemarin.

Yah, lebih tepatnya sikapku.

Dan seperti kata beliau, beliau tidak bisa memberikan apapun pada kami.

Yang ia bisa tawarkan hanya sikap netral terhadap kami.

 

"Oi bocah, itu taruh di sini!"

"Ah...!"

Suara Budimir mengagetkanku.

 

"Ngapain kau ini! Ngelamun ya!?"

"Ng-nggak, pak. Ini."

Aku mengulurkan sebotol bir pada Budimir.

"Bukan itu! Itu loh! Itu!"

Budimir menunjuk sekantung garam.

"Oh...! Ma-maaf!"

"Tch, ya ampun!"

 

Haah...

Pikiranku benar-benar tidak bisa fokus pada pekerjaan.

Aku masih memikirkan hal kemarin.

Mengenai Boris dan dendamnya, dan juga amarah yang ada dalam diriku.

Sebenarnya... Bagaimana aku harus menyikapi hal ini...?

Apa aku sebaiknya memaafkan Boris...?

Bagaimanapun juga, menurut cerita ayah, dia juga korban...

Tapi...

Menyakitkan juga kalau aku harus memaafkan orang yang membunuh ibuku sendiri.

Sulit sekali...

 

Tak terasa sudah sore.

 

Budimir dan aku berbaring di rerumputan belakang kedai setelah bekerja seharian menata dan menghitung persediaan.

"Ahh... enaknya rebahan..."

"..."

 

"Hei, cil. Kau kenapa hari ini...?"

Pertanyaan Budimir mengagetkanku.

Sejelas itukah...?

"Kenapa apanya, pak?"

 

"Malah balik nanya, kau itu kenapa banyak melamun hari ini?"

Aku terdiam.

Benar katanya, aku terlalu terfokus pada pikiranku kemarin.

Kalau begini terus... Bisa-bisa aku malah tenggelam dalam pikiranku dan tidak bisa bekerja.

Apakah aku harus memberitahu Budimir tentang ini...?

Tapi... Dia ini bukan siapa-siapa.

Apakah bi...

"WOI! Ditanyain malah bengong."

Aih... Dia mengagetkanku lagi.

 

"Kau ini kenapa sih? Kemarin izin tidak masuk, sekarang malah melamun waktu kerja. Kalau ada masalah cerita saja."

Apa aku ceritakan saja ya...?

"Anu, Pak Budimir..."

"Gimana?"

 

"Kalau semisal... Ada seorang yang anda sayangi dibunuh... Dan anda tahu siapa pembunuhnya... Tapi anda juga sadar kalau pembunuhnya juga sebenarnya adalah korban... Kira-kira apa yang akan anda lakukan?"

Mendengar pertanyaanku, Budimir mengernyitkan dahi.

"Hah? Pertanyaan macam apa itu? Apa maksudmu?"

"Sudahlah, jawab saja pak."

 

"Apa ini ada kaitannya dengan ibumu?"

Aku terkejut Budimir bisa langsung tahu.

"Heh, sepertinya memang iya. Langsung ketahuan dari raut wajahmu."

Dia terdiam dan terlihat berpikir sejenak.

"Kalau aku... Akan kuhajar dulu dia sampai tak bisa melawan."

Hah...?

"Lalu?"

"Setelah itu, akan kududuki punggungnya dan bertanya padanya mengenai alasannya membunuh."

 

"Setelah itu?"

"Sikapku selanjutnya tergantung dari jawaban yang ia berikan."

 

"Maksudnya...?"

"Ya tergantung dari jawabannya. Kalau kurasa dia memang busuk sampai ke akar-akarnya ya ngapain ragu, tinggal eksekusi. Kalau dia masih bisa menjadi lebih baik, mungkin aku akan membiarkannya hidup."

 

"Tapi... Kalau semisal ternyata dia juga adalah korban dari orang lain, dan dia ternyata membunuh hanya untuk membalaskan dendamnya pada orang tersebut, bagaimana?"

"Kau ini banyak bertanya ya... Haah... Bagiku tetap saja, tergantung dari jawaban yang ia berikan. Kalau kurasa dia masih punya niatan atau kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, maka akan kubiarkan hidup. Kalau dia ternyata sudah tidak punya, ya sudah. Tapi..."

 

"Tapi...?"

"Tapi, aku sebisa mungkin untuk membiarkannya tetap hidup. Mungkin aku akan melucuti semua miliknya dan membiarkannya hidup tanpa memiliki apapun."

 

"Apakah dia nggak akan mengejar lagi?"

"Biarlah dia kalau mau mengejar. Kalau itu terjadi, bisa jadi aku akan berhadapan dengan dia lagi. Akan kukalahkan dia sampai dia sudah tak bernafsu lagi untuk mengejarku."

 

"... Merepotkan juga ya..."

"Ya itu sih kalau aku. Tiap orang pasti punya jawaban yang berbeda-beda."

 

Membiarkannya hidup...

Memangnya aku bisa... Kalau aku diberi kesempatan seperti itu?

Tapi... Dia juga telah membakar desa...

Mungkin juga membunuh orang-orang yang tak bersalah...

 

Apa aku bisa... memaafkan orang sepertinya...?

 

"Apa aku... bisa memaafkan dia...? Orang yang tak hanya sudah membunuh ibuku... Dia juga membakar desa... mungkin menyebabkan orang terbunuh juga..."

"..."

Kami terdiam sejenak.

 

"... Tiliklah keadilan dari dalam dirimu, cil."

 

"Hah...?"

"Tiliklah keadilan dari dalam dirimu. Tiap orang pasti punya keadilannya masing-masing. Kau pun begitu. Nilailah orang tersebut dengan keadilanmu."

 

Keadilanku...?

Bagaimana... caranya...?

"Ah! Pertanyaanmu membuatku jadi tidak nafsu untuk rebahan." Kata Budimir sembari berdiri.

"Aku balik ke gudang dulu. Kau terserah mau ngapain."

Aku mengangguk mendengar ucapannya.

Pekerjaanku sudah selesai sih. Apa aku pulang saja ya?

Jarang-jarang aku pulang awal begini. Biasanya rebahan dulu di rumput sampai cukup lama, ngobrol sama Budimir.

Haah...

Keadilanku yah...

Biar kupikir di jalan pulang saja lah...

Setelah bersiap, aku pun keluar dari area kedai Paman Kirill.

Sekarang... Aku mau jalan ke arah mana ya?