Terlihat gerbang besar dengan dua patung di samping kanan dan kirinya.
Kami sampai di markas prajurit.
"Kita sudah sampai, sana." Kata si muda sambil mendorongku ke depan secara perlahan.
"A-ah... Terima kasih." Ucapku pada mereka bertiga.
Kulihat senyum dari mereka bertiga. Si muda memiliki senyum yang paling lebar.
"Untuk bayarannya, akan kami minta ke ayahmu nanti."
Hah?
Bayaran?
Mereka minta bayaran?
Kukira mereka melakukannya dengan sukarela.
Aku hanya mengangguk mendengarnya lalu berlari masuk.
Apa mereka mengenal ayah...?
Hm... Atau mungkin David, yang kemarin bertemu?
Aih, entahlah.
Saat di dalam markas prajurit, kulihat beberapa orang prajurit masih berlatih, beberapa yang lain sedang bersantai.
Aku tidak menemukan David di manapun.
"Anu, Pak David ada di mana ya?" Tanyaku pada salah seorang prajurit.
"Pak David? Oh, dia sedang keluar sebentar. Ada urusan katanya."
Tumben dia keluar saat waktuku berlatih.
Biasanya dia sudah menungguku di lapangan dengan tatapan tegasnya.
Sembari menunggunya, kuambil rapierku dari gudang senjata lalu duduk menonton para prajurit yang sedang berlatih.
"Yo, kau bocah anak didik Pak David kan?" Sapa seorang prajurit.
"Ah, iya. Saya anak didiknya." Jawabku.
Aku sering melihat orang ini berlatih di sini. Tapi aku sama sekali tidak tahu nama atau apapun darinya.
"Aku sering melihatmu berlatih bersama Pak David. Senjatamu itu... rapier yah?" Tanyanya.
Aku mengangguk.
Jujur saja aku agak canggung. Terlebih aku tidak mengenal orang ini.
"He... Tumben ada orang yang memilih senjata mudah patah seperti itu. Jarang-jarang lho."
Aku menelan ludah.
Memang benar, rapier tidak seperti pedang kebanyakan. Karena wujudnya yang ramping, membuatnya lebih rentan dan mudah patah.
Aku sendiri sempat beberapa kali meragukan senjata ini. Terlebih setelah mendengar beberapa kali celotehan mengenai rapier.
Tapi, David selalu mengatakan kalau ini adalah senjata yang aku pilih berdasarkan intuisi dan kemampuanku sendiri. Dia juga mengatakan kalau senjata ini memang memiliki kelemahan, tapi hal itu bisa diatasi dengan kecepatan dan kecermatan. Tambahnya, aku memiliki potensi di 2 hal itu, hanya perlu diasah saja. Itulah yang membuatku tetap bertahan dengan senjataku ini.
"Aku... Aku suka dengan senjata ini. Dan rapier juga cocok dengan gaya bertarungku."
"He...? Masa sih. Hm..." Kulihat si prajurit ini memegang dagunya sambil berpikir.
"Mau duel?" Katanya.
Hah...?
"Kenapa tiba-tiba...?" Tanyaku.
"Penasaran aja. Mau nggak?"
Hm...
Sekilas terbesit ingatanku saat duel melawan Gennady di Sergiograd. Aku kalah telak di situ, bahkan badanku bisa dibilang terluka parah, untung saja ada ramuan dari Bibi Valeria, kalau tidak tentu aku langsung bablas.
"Hei, mau atau nggak?" Tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku.
Sebelum aku menjawab, ia memerhatikanku sebentar lalu berkata-kata lagi.
"Tenang saja, aku cuma mau lihat kau bertarung menggunakan rapiermu itu. Nggak akan sampai terluka parah. Aku bukan seperti orang yang ada di pikiranmu itu."
Deg.
Orang ini bisa membaca pikiranku? Bagaimana ia tahu kalau aku sedang memikirkan saat duel melawan Gennady?
"Heh, nggak usah kaget begitu. Aku nggak bisa baca pikiranmu kok. Raut wajahmu yang menunjukkan semuanya."
Deg.
Benar-benar ini orang. Sepertinya ia beneran bisa membaca pikiran.
"Hei! Kok malah bengong, mau duel atau nggak? Kalau nggak, aku lanjut latihan nih!" Katanya, membuyarkan lamunanku lagi.
"A...Ah, iya... iya. Iya, ayo."
Kami pun bersiap di lapangan.
Ia menggunakan sebuah pedang kayu.
"Anu... Apa tidak apa-apa saya menggunakan rapier beneran?"
"Sudahlah, tidak usah terlalu dipikir."
Kami berdiri di posisi masing-masing. Menunggu salah satu menyerang terlebih dulu.
Aku perhatikan gerak-geriknya. Ia tampak santai sekali, tapi sorot matanya begitu fokus.
"Ayo sini, kalau cuma pandang-pandangan gini sih bukan duel namanya." Katanya.
Ugh, dia berusaha memprovokasiku.
Aku berusaha tetap tenang dan mempertahankan posisiku sambil terus fokus padanya.
"Oh oke kalau begitu." Katanya sambil berlari ke arahku dengan sangat kencang.
Ugh!
Sontak aku menghindari serangan pertamanya yang dengan akurat mengincar dadaku. Aku melompat ke kanan dengan refleks.
Tak berhenti sampai situ, seusai menusuk, ia menyabetkan pedang kayunya ke arahku.
Cepat! Cepat sekali gerakannya!
Aku merunduk untuk menghindari sabetannya lalu berguling ke depan.
"Hoh, kau ini mau duel atau kejar-kejaran?" Ejeknya.
Seketika kuhujamkan rapierku ke arahnya, namun dengan mudah ditangkisnya. Ia lalu berlari ke arahku lagi sembari menggesekkan pedang kayunya pada rapierku seolah tidak membiarkanku menyabetkan rapierku padanya.
Aku melompat mundur lalu berguling ke arah kiri. Dengan buas dan kasar, dia berkali-kali mencoba menyerangku dengan sabetan dan tusukan-tusukan yang begitu kencang.
Ah!
Gerakan kami terhenti. Debu-debu hasil pertarungan kami tersingkap perlahan.
Kulihat ia sedikit terengah namun ia tersenyum dan masih mengunci perhatiannya padaku.
Ia menyerang lagi.
Dengan kecepatan yang luar biasa, ia kembali menusukkan pedangnya padaku. Namun aku kini lebih siap menghadapi serangannya. Kurundukkan badanku menghindari serangannya, lalu kutusukkan rapierku ke arah wajahnya. Seketika ia menghindar dari seranganku dan melancarkan sabetan dari pedang kayunya. Kuhindari serangannya dengan melompat. Melihat aku yang sedang di udara, ia mengangkat pedangnya bersiap menyerangku. Dengan sigap kuputar tubuhku sehingga terhindar dari serangannya.
Momen demi momen berlalu dalam ayunan dan tarian pedang kami berdua. Tusukan dan sabetan saling kami berikan dan kami hindari. Jejak kaki kami tak pernah berhenti lebih dari sepersekian detik. Aku melompat, merunduk, dan membengkokkan badan demi menghindari serangannya. Begitu pula dengannya, ia juga berputar, menangkis dan bergerak dengan sangat cepat.
Aku mulai memahami pola serangannya. Ia memang cepat, bahkan lebih cepat dari David, tapi ada satu kelemahan yang mungkin tidak ia sadari. Kelemahan itu bisa kugunakan untuk mengalahkannya.
Saat aku menghindar, seperti sebelumnya, ia menusuk dan menyabet secara membabi-buta. Aku sebisa mungkin menghindari serangannya ini sebelum melancarkan rencanaku.
Aku berguling ke arah kanan, berniat menyerangnya dari belakang, namun...
"Hosh.... Hosh... Hosh... Aku menang..." Katanya sambil mengacungkan pedang kayunya tepat di depan leherku.
"Hosh... Hosh..."
Aku kalah.
Seketika saat aku berguling, ia tidak melanjutkan serangan membabi-butanya, tapi tangannya mengikutiku dan dengan mudah menyentuhkan pedangnya pada leherku.
Saat debu sisa-sisa pertarungan kami tersingkap, aku melihat beberapa orang mengitari lapangan tempat kami berduel. Mereka bertepuk tangan, sepertinya duel kami menarik perhatian beberapa prajurit di situ.
Aku menyarungkan rapierku.
"Kau boleh juga! Siapa namamu?" Kata lawan duelku sambil menepuk pundakku dan tersenyum lebar.
"Andre!" Jawabku antusias.
"Andre ya. Namaku Emil." Katanya sambil mengulurkan tangan.
Kami pun berjabatan tangan lalu pindah ke pinggiran lapangan untuk beristirahat sejenak.
"Kecepatanmu itu luar biasa lho. Sepertinya aku mengerti mengapa kamu memilih rapier." Katanya.
"Terima kasih! Paman juga sangat cepat! Tidak hanya itu, serangan paman begitu akurat dan kuat!"
"A-anu, tolong panggil aku Emil saja, aku belum setua itu."
"Ah... Oke. Maaf..."
"Ngomong-ngomong, kau ini sedang memikirkan apa?"
"...?"
Ditanya begitu, aku hanya memandang wajahnya dengan muka yang memancarkan aura ketidakpahaman.
"Ayolah, aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu, bahkan saat kita tadi sedang berduel. Seranganmu seperti "tidak utuh". Apa yang kau pikirkan?"
Mendengar penjelasannya, aku makin tidak paham. Apa yang kupikirkan...? Rasa-rasanya aku fokus kok pada pertarungan kami, maksudnya apa..?
Hm...
Kupikir sebentar.
...
....
.....
Ah...
"Emil. Menurutmu, keadilan itu apa?"
"Keadilan? Hm..."
Emil terlihat berpikir sejenak.
"Menurutku, keadilan itu adalah di mana yang memiliki "lebih" bersedia memberikan pada yang "kurang""
"Maksudnya?"
"Ketika ada yang kesusahan, maka yang memiliki kelebihan bersedia membantu. Ketika ada yang lemah, maka yang kuat bersedia melindungi. Ketika ada yang sakit, maka yang sehat bersedia merawat."
"Ah..."
"Ketika semua bersedia saling bantu dan bahu-membahu, maka keadilan sejati akan terbentuk, di mana tidak ada lagi yang merasa kurang dan tidak ada lagi yang merasa berlebih."