Akhirnya kami melanjutkan belanja.
Sekitar 3 toko kami datangi kemudian kami pulang.
Bawaan kami banyak sekali.
Kali ini bahkan beban bawaanku lebih berat dari sebelumnya meski sudah dibantu oleh Paman Kirill.
"Uuurrgghh!!!"
"Ayo, sedikit lagi sampai."
"I-iya, uuuooooggghhH!!!"
Dengan sekuat tenaga, kutenteng semua belanjaan yang menjadi bagianku.
Saat kami sampai, beberapa pegawai kedai menghampiri dan membantu membawa barang belanjaan.
"Banyak sekali belanjanya, master. Tidak seperti biasanya." Kata salah satu pegawai.
"Ahahaha, sekalian saja. Toh juga ada beberapa barang yang tinggal sedikit juga kan, beli aja sekalian."
Si pegawai melihat ke arahku dengan tatapan sinis.
"Cih."
Kudengar pegawai itu mendecakkan lidah saat menatapku.
Apa-apaan itu?
Aku kesal, tapi sepertinya lebih baik kalau aku tidak memulai kericuhan. Kutinggalkan saja ia lalu kupalingkan diriku pada Paman Kirill.
"Paman, sekarang aku harus apa?"
"Hmm…" Paman Kirill terlihat berpikir sejenak.
"Kau bantu saja Budimir di gudang."
Budimir itu siapa lagi…
Aku baru ingat kalau di sini kami belum saling mengenal. Hanya aku dan Paman Fyodor yang memperkenalkan diri, yang lain belum.
"Anu…"
"Kamu tanya saja padanya untuk tugasmu. Nah, aku mau mengurus sesuatu dulu."
Paman Kirill meninggalkanku bahkan sebelum aku selesai bicara.
Aduh, Gudang juga ada di mana. Aku benar-benar bingung.
Paman Fyodor menghampiriku.
"Ndre, aku tinggal dulu. Kalau kau kenapa-kenapa bilang saja padaku. Ingat, kita ini rekan seperjalanan."
Hah…?
Bentar…
Kenapa Paman Fyodor jadi peduli gini…?
Padahal biasanya dia itu cuek dan bahkan jarang nimbrung di obrolan.
"Ndre?"
"Ah, iya paman."
Karena keterkejutanku, tanpa sadar aku jadi tidak menghiraukan kata-katanya.
Paman Fyodor lalu menepuk pundakku dan berlalu.
…
Sekarang, aku harus mencari manusia yang bernama Budimir.
DI mana yah kira-kira…?
Apa aku tanya pada salah seorang pegawai saja ya…?
Kuhampiri salah satu pegawai yang tadi menatapku dengan sinis.
"A-anu…"
Pegawai itu menatapku tajam.
"Hah? Apa?"
"Anu… Saya disuruh menemui orang yang namanya Budimir. Di mana ya paman?"
Pegawai itu menghela napasnya.
"… Dia ada di Gudang."
"Anu… Gudangnya sebelah mana?"
"Cari sendiri sana." Katanya sambil melengos.
Grr….
Oke, tahan… Tahan…
"Baik… Terima kasih." Kataku sambil meninggalkannya.
Siapa yang harus aku tanyai ya…?
Semua pegawai terlihat tidak ramah, aku jadi tidak nyaman untuk bertanya.
Hmm….
Mungkin Bibi Alina bisa membantuku.
Dia adalah satu-satunya pegawai yang kukenal saat ini.
Kucari Bibi Alina di dalam kedai.
Seperti dugaanku, ia ada di dalam sedang berkutat di meja kasir.
Kusapa ia, "Bibi Alina!"
Orang yang kusapa Nampak kebingungan mencari sumber suara.
"Oh! Kau si anak baru. Ada apa?"
Nadanya ramah, sangat berbeda dengan pegawai yang lain.
"Anu… Aku disuruh menemui orang yang Namanya Budimir di gudang. Apa bibi tahu di mana?"
Bibi Alina mengernyitkan dahinya.
"Kau tadi habis belanja kan? Memangnya tidak bertemu? Lalu, jangan panggil aku bibi, aku belum setua itu."
"Ehehehe… Maaf, kalau begitu kak saja ya. Aku belum tahu nama-nama pegawai sini. Tadi aku bertanya pada salah satu orang, tapi dia bilang suruh cari sendiri di gudang. Aku tidak tahu juga gudangnya ada di mana."
Kak Alina lalu menghela napasnya.
"Haahh… Ya sudah, sini aku tunjukkan."
"Baik, terima kasih kak!"
Kami berdua lalu pergi menuju gudang.
Yang membuatku terkejut, ternyata tempatnya ada di dekat situ, tepatnya di tempat di mana aku bertemu dengan pegawai sinis tadi.
"Oi, Budimir! Kau dicariin nih!" Seru Kak Alina pada seseorang di situ.
Orang itu menoleh pada kami. Ternyata itu orang yang sama dengan si pegawai sinis tadi.
"Ah, ada apa Lin? Oh…" Raut wajahnya seketika berubah saat melihatku.
"Lah, Paman Namanya Budimir? Kenapa tadi tidak langsung bilang?"
Budimir hanya terdiam.
"Kalian sudah bertemu? Haahh… Kau ini… Aku tahu perasaan kalian, tapi tidak usah sampai mempermainkannya juga kan?"
"Iya iya. Sini kau." Katanya padaku.
"Nah, sudah kan? Aku Kembali bekerja ya."
"Ya, terima kasih Kak Alina!"
Kak Alina tersenyum lalu berlalu dari kami.
Saat Kak Alina sudah pergi, Budimir tanpa mengatakan apapun langsung mengerjakan sesuatu.
"Anu… Paman Budimir? Apa ada yang harus kukerjakan?"
"Banyak."
"Ngg… Apa yang harus kukerjakan?"
"Apa kau tuli? Kubilang banyak yang harus kaukerjakan! Apa aku juga harus menjelaskannya padamu!?"
Sabar...Sabar… Sabar…
"Anu, paman. Aku kan masih baru, aku juga tidak begitu paham mengenai pekerjaan ini. Apa paman bisa sedikit memberitahuku?"
"Dengar ya. Kalau kau melamar pekerjaan di sini, paling tidak seharusnya kau sudah mengerti apa yang sekiranya harus kau lakukan. Bersih-bersih kek, belanjaannya ditata kek, atau apa gitu terserah!"
Sabar... Sabar...
"Baik..."
Aku mulai menata belanjaan yang tadi kami beli.
"Hei! Bukan begitu menaruhnya! Lihat, ini kan ada labelnya! Tata sesuai dengan jenisnya dong! Dasar tidak becus!"
Sabar...
"Aarrgghh!! Kau ini benar-benar ya! Pergi sana! Kau hanya bikin kacau, bocah goblok!"
...
"Paman Budimir... Aku ini masih baru, aku tidak tahu apa-apa. Apa paman tidak bisa menunjukkan sedikit saja bagaimana aku harus bekerja?"
"Haahh!? Kenapa aku harus mengajarimu? Seperti yang kubilang, kau harusnya sudah tahu pekerjaanmu saat kau melamar di sini kan!?"
"Meski begitu, tentu saja aku masih harus belajar kan. Bukankah wajar kalau aku salah-salah sedikit?"
"Hah! Kau itu dibayar di sini untuk bekerja dengan benar! Justru kalau aku memarahimu karena tidak becus bekerja adalah hal yang wajar, bukan!?"
"Tapi, kumohon. Apa bisa paman bisa sedikit memberikan kelonggaran? Seperti yang kubilang tadi, aku masih baru, masih harus membiasakan diri."
"Sudahlah! Kau ini banyak alasan! Kalau tidak becus ya tidak becus saja! Tidak usah cari-cari alasan! Dasar gak guna! Beban!"
Urat kesabaranku putus sudah mendengar kata-kata Budimir.
"Hei! Bukannya aku cari-cari alasan! Aku berusaha semampuku, tapi karena aku memang masih baru. Memangnya paman bisa langsung menunggangi kuda seperti para ksatria saat pertama kali mencoba menaikinya!? Mikir!"
"Apa kau bilang!? Tidak usah sok mengguruiku kau ini!"
Kami berdua beradu mulut dengan suara yang cukup kencang hingga akhirnya beberapa orang datang mendekati kami berdua.
"Mentang-mentang kau ini kenalan master, lalu kau mau sok-sok diberi keringanan!? Ohhh, aku paham. Kau ini anak manja yang bahkan tidak bisa berjuang mendapatkan pekerjaannya sendiri. Bahkan harus dibantu orang lain, ya? Ooooo, kasihan sekali. Iya iya, baik tuan muda."
"Aku bukan anak manja! Dan lagi, tidak usah mengejekku seperti itu!"
"Hah! Kenapa memangnya!? Kau ini kan memang anak manja. Oh iya, kemarin kau ke sini bersama ayahmu kan? Tidak sekalian sama ibumu juga!? Ha!?"
"Tidak usah mengungkit-ungkit orangtuaku!"
"Kenapa memangnya!? Ah, apa mungkin sebenarnya ayahmu juga sama pecundangnya denganmu? Karena tidak kuat membiayai keluarganya, sampai-sampai harus membiarkan anaknya bekerja? Ah, aku jadi kasihan dengan wanita yang menikah dengannya, punya dua orang laki-laki yang tidak be..."
Kulayangkan pukulan di ulu hati Budimir sebelum ia menyelesaikan perkataannya.
Beraninya ia menghina orangtuaku.
Meski memang ia ayah yang payah, ia tetaplah ayahku.
Satu-satunya orangtua yang tersisa bagiku.
"OHOK! BERANINYA KAU!" Budimir hendak membalas pukulanku.
Dengan sigap kuhindari pukulannya.
Sepertinya hasil latihan dengan pak guru benar-benar membuahkan hasil.
"KAUUU!!!" Budimir melayangkan pukulannya kembali, namun lagi-lagi bisa kuhindari dengan mudah.
Begitu terus sampai-sampai Budimir kelelahan sendiri.
"CUKUP!"
Seseorang berseru kepada kami berdua.
Ternyata itu adalah Paman Kirill.
"Apa-apaan ini... Kalian berdua kubayar bukan untuk berkelahi!"
Paman Kirill menatapku tajam.
"Bukankah sudah kubilang padamu untuk bekerja dengan Budimir!? Mengapa kau berkelahi dengannya!?"
"Dia yang memulainya duluan, paman! Dia menyebutku tidak becus bekerja, padahal ini hari pertamaku, wajar kan kalau aku..."
"DIAM!" Seru Paman Kirill sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
"Kau berniat untuk bekerja di sini kan!?" Tanyanya padaku.
Aku mengangguk pelan.
"Makanya, kau harusnya paham kalau seharusnya kau mengerahkan segala yang kaupunya untuk bekerja di sini! Bukan malah mengeluh!"
"Tapi..."
"KUBILANG DIAM! Apa kau tidak mendengar mastermu sedang berbicara!?"
Aku terkejut dengan bentakan Paman Kirill. Tidak kusangka ia benar-benar marah padaku.
"Kalian berdua, ke ruanganku. Yang lain, kembali bekerja!" Katanya tegas.
Begitulah perkelahian kami berakhir.
Di ruangan Paman Kirill...
"Jadi, ada yang ingin kalian sampaikan? Andre dan Budimir?" Tanya Paman Kirill pada kami.
Kami berdua terdiam.
"Hm? Kita bisa melakukan ini sampai kapanpun lho. Tentu saja gaji kalian akan kupotong kalau terlalu lama membolos."
Budimir yang terdiam, memasang wajah kesal lalu mulai bicara.
"Dia tadi menggangguku saat menata barang di gudang. Barang-barang tidak ditata dengan rapi, botol-botol minuman tidak tersusun sesuai jenisnya, bahan makanan juga ditumpuk seenaknya. Tentu saja aku marah karena dia tidak becus bekerja. Aku menyuruhnya untuk menyingkir supaya ia tidak mengganggu, ia malah marah lalu memukulku."
Paman Kirill mengangguk.
"Kau ini kan tahu, aku masih baru. Aku juga sudah berusaha semampuku karena kau juga tidak memberitahu apapun padaku. Aku sudah tanya baik-baik kau malah menjawabnya dengan ketus! Ditambah lagi, kau menghina ayahku! Siapa yang tidak marah jika diperlakukan begitu!?"
"Aku melakukannya karena kau itu memang tidak becus! Siapapun juga pasti bakal paham kalau menata barang-barang gudang itu harus rapi dan dikelompokkan sesuai jenisnya! Kalau ada pegawai yang salah ambil bagaimana!? Lalu, memangnya orangtua normal mana yang membiarkan anaknya bekerja padahal masih kecil sepertimu!? Pastilah dia orang yang tidak bisa mengurus anak!"
"Apa kau bilang!? Tahu apa kau memangnya!?"
"SUDAH!"
Paman Kirill menggebrak meja.
"Budimir... Minta maaf pada Andre."
"Tapi... Aku..."
"Kau mungkin punya pandangan yang benar, tapi caramu salah. Ditambah lagi, kau sudah menghina orangtua Andre. Aku memintanya untuk membantumu karena aku percaya kalau kau bisa mengajarinya. Tapi, ternyata malah seperti ini. Jujur aku sedikit kecewa padamu. Seperti katanya, ia ini baru sehari di sini! Apa perlu kuceritakan kembali bagaimana hari pertamamu bekerja?"
"Itu... Tidak usah..."
Kami semua terdiam.
"Lalu kau, Andre. Kau kemarin berkata kalau kau bersedia bekerja di sini kan? Ini baru hari pertama, tapi kau sudah mengeluh? Hanya segitukah kemampuanmu?"
Aku terdiam mendengar perkataan Paman Kirill.
"Jadi bagaimana? Budimir? Kau jadi meminta maaf atau tidak?"
Kulihat wajah Budimir, ia nampak masih kesal.
"Aku minta maaf... Atas perlakuan dan kata-kataku tadi, bocah baru."
"Bocah baru ini punya nama, ulangi."
Budimir mendecakkan lidah lagi saat mendengar perkataan Paman Kirill.
"Cih. Iya, aku minta maaf atas perbuatanku tadi Andre."
Terdengar sama sekali tidak tulus minta maafnya, tapi ya sudahlah.
"Maafkan aku juga, tadi aku sudah memukulmu."
Kami lalu berjabatan tangan.
Melihat kedua pegawainya bersalaman, Paman Kirill tersenyum.
"Nah, gitu dong. Tapi lain kali kalau aku melihat hal serupa dari kalian, aku tidak akan bermurah hati seperti saat ini. Sekarang kau silakan keluar dulu Andre, aku masih ingin bicara dengan Budimir."
"... Baik."
Aku pun keluar dari ruangan Paman Kirill.
Tak kusangka ada seseorang yang menunggu di balik pintu, Paman Fyodor.
Wajahnya terlihat sedikit khawatir.
"Ada apa, Paman Fyodor?"
"...Kau tidak apa-apa kan?"
Aku mengangguk pelan.
"Tidak apa-apa kok, paman. Aku hanya diberi peringatan." Kataku sambil berlalu.
Aku berjalan kembali ke gudang.
Sesampainya di gudang, aku melihat seorang pegawai pria lain yang sedang menata barang.
"Anu... Permisi..."
"Oh, kau sudah kembali rupanya. Ayo kita tata barang-barang ini."
Aku mengangguk dan mulai bekerja.
"Ah iya, namaku Garvill. Namamu Andre kan?" katanya ramah.
"Iya, namaku Andre. Senang berkenalan dengan paman."
"Maafkan Budimir, dia memang kadang seperti itu. Sebenarnya tidak hanya kamu yang sering kena semprot olehnya. Kami pegawai lain pun juga begitu. Dia orangnya sangat teratur dan rapi, melihat sesuatu yang tidak rapi bisa membuatnya kesal. Terkadang ia bahkan marah ketika ada taplak meja yang terpasang kurang rapi. Makanya ia sering ditugaskan di gudang untuk merapikan barang."
"Iya... Aku tidak begitu mempermasalahkannya, tadi dia juga sudah minta maaf. Tapi aku benar-benar marah ketika ayahku dihina seperti itu."
"Yah... Siapa juga yang tidak marah kalau dibegitukan."
Aku dan Paman Garvill mengobrol cukup panjang sembari menata barang-barang di gudang.
Tak lama kemudian, Budimir kembali.
"Oi, apa-apaan ini. Kalian berdua yang menata...? Bah! Apa ini!? Gaada rapi-rapinya! Minggir!"
Budimir menyeruakkan tangannya agar kami menyingkir.
Kudengar dia berulangkali menggumamkan sesuatu saat merapikan barang yang sudah kami tata.
"Oi kau bocah baru! Mau membolos kerja!? SINI!" Seru Budimir padaku.
"B-baik!"
Aku segera menghampirinya untuk membantunya menata. Paman Garvill nampaknya juga ingin ikut membantu, namun niatnya segera dicegah oleh Budimir.
"Vil, kau mending ngerjain yang lain aja. Kebanyakan orang kalau kau ikut. Ditambah lagi, kau ini tidak pandai menata."
Paman Garvill hanya tersenyum sambil mengangkat pundaknya.
"Oke, kuserahkan pada kalian berdua kalau begitu."
Paman Garvill meninggalkan kami berdua yang sibuk menata barang belanjaan.
"Itu ditaruh sini, pastikan labelnya terlihat dari sisi kiri. Kalau yang ini labelnya dari sisi kanan. Lalu kalau mau menumpuk karung tepung itu begini caranya, terus kalau kentang sebaiknya ditaruh di situ, lalu..."
Kali ini Budimir mulai mengajariku dengan benar. Meski aku masih dimarahi karena menurutnya, tatananku belum rapi.
"Bagus, seperti itu. Lalu selanjutnya keju itu..."
"Baik paman!"
"Panggil aku Pak Budimir! Kapan aku menikahi bibimu!?"
"Siap pak!"