Chereads / Melawan Kemustahilan / Chapter 20 - 19. Mata Kebenaran

Chapter 20 - 19. Mata Kebenaran

"Sang penjerat?"

"Apa-apaan orang ini, dia benar-benar aneh" ujar Lilith.

Aku mengerti apa yang dimaksud olehnya, mulai dari pandangan matanya yang terlihat kosong serta postur tubuhnya yang condong kedepan. Semua gerak-geriknya terlihat mengerikan.

"Tidak apa, kalian tidak perlu mengenalku. Apalagi, vampir dengan keberadaan tinggi seperti mu bahkan tidak perlu mengingat namaku" Ameth menurunkan postur tubuhnya, seakan memberikan rasa hormat kepada Lilith.

"Jadi, apa yang kau inginkan?" tanya Lilith.

Ameth memberikan seringai "Darah"

Lalu, tanpa bisa mengikuti kecepatannya, aku hanya bisa melihat Ameth yang berada di depan Lilith dengan tangan yang terpotong.

Tetapi bukan karena Lilith, melainkan Ameth sendiri yang melakukannya.

Dalam sekejap, rantai-rantai yang ada di tangannya melilit tubuh Lilith.

Dan....

Lilith seketika menghilang dari pandanganku.

Terjadi terlalu cepat bagiku, aku bahkan tidak punya waktu untuk bereaksi.

"Lilith..." aku sedikit panik.

Namun dengan segera aku berusaha untuk mengatur nafas.

"Haha, kau tidak panik ya setelah pelindungmu menghilang..."

Dia melihatku, tangan yang tadinya terputus sudah tersambung kembali.

Jantungku terus berdegup kencang, dengan nafas yang susah untuk ku atur "Kemana kau memindahkan Lilith?"

Dia berdiri, lalu berjalan begitu saja "Ikuti aku"

"Hah? tentu saja tidak mau, kau tidak membunuhku disini saja sudah menjadi bukti kalau tujuanmu masih belum terpenuhi"

"Benar, yah walaupun kau tidak mau ikut juga tidak masalah, aku hanya perlu memotong tangan serta kakimu dan memaksamu untuk ikut. Jadi bagaimana mau ikut atau harus kupaksa ikut?"

Sial, dalam keadaan seperti ini tidak ada yang bisa kulakukan selain mengikuti perkataannya.

Aku juga masih khawatir dengan keadaan Lilith, namun untuk sekarang aku lebih baik memikirkan cara agar aku bisa tetap hidup.

"Baiklah, aku akan ikut"

Lalu kami mulai berjalan melewati gerbang yang tadi, di dalamnya terdapat berbagai ukiran di dinding yang sedikit sulit untuk kumengerti.

Dalam keheningan yang hanya terdengar suara langkah kaki kami, aku terus menatapi dinding. Untuk menghilangkan rasa takut serta mengalihkan perhatianku dari kematian yang akan kudatangi.

Iblis, vampir, sebuah cawan yang berisi darah, lalu guardian. Hanya itu saja yang bisa kumengerti dari ukiran-ukiran tersebut. Masih banyak gambaran yang sedikit abstrak serta asing bagiku.

Dan kemudian setelah berjalan cukup lama, ukiran-ukiran tersebut mulai tertinggal dibelakang. Namun lorong yang membawa perasaan buruk ini masih belum berakhir.

Kuharap, Mea atau Raglo bisa cepat datang kesini.

Tiba-tiba Ameth menatapku "Kau... Pasti berpikir kalau hanya perlu menunggu penyihir yang bersamamu datang menolongmu kan?"

Tatapannya penuh dengan perasaan aneh, seakan dia mengetahui segalanya.

"Kau benar. Lagipula, tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu temanku atau kematian datang"

"Haha! sayang sekali... Keduanya tidak akan datang, yang menunggumu hanya keputusasaan"

Ameth berjalan ke depanku, lalu melebarkan tangannya "Lihatlah! apa kau mengerti apa yang ada di belakangku?"

Ujung lorong, dan ruangan yang hanya berisi...

"Mata?"

Mata yang pernah kulihat di mimpi, mata dengan warna merah menyala yang memberikan pesan Kematian.

"Benar, apa yang sedang kau tatap adalah mata kebenaran!"

Ameth mendekati mata tersebut perlahan "kalau begitu..."

Kemudian... Menyayat bola mata tersebut dengan pisau miliknya.

"Mari kita mulai... Ritual kebangkitan"

Mata tersebut tidak menutup, masih menatapku walaupun darah mengalir keluar, darah yang mengalir tersebut masuk kedalam cawan emas berukuran besar yang ada di bawahnya.

Lalu 9 orang yang berjubah hitam dengan paduan warna merah muncul dari berbagai arah. Meraka membawa cawan emas yang sama hanya saja berukuran lebih kecil.

Merah, merah muda, merah gelap, hijau, kuning, biru, ungu, orange, dan hitam. Itu adalah warna darah yang ada di masing-masing cawan emas tersebut.

Kemudian mereka menuangkannya ke cawan yang ada di bawah mata tersebut secara bersamaan. Dan ketika semuanya sudah selesai dituangkan semua warna bercampur menjadi satu, menghasilkan warna putih yang terlihat bercahaya.

"Siapkan wadahnya" Ameth mengacungkan jarinya kepadaku.

Detak jantungku seketika naik, aku sudah tidak bisa menenangkan diri lagi dan panik. Berusaha untuk keluar namun pintu sudah tertutup rapat.

Orang-orang berjubah tersebut mendekatiku perlahan, mengeluarkan rantai yang mengikat sesuatu di ujungnya.

Mereka juga menggumamkan sesuatu yang tidak jelas secara bersamaan, gumaman mereka semakin jelas seiring jarak mengecil.

Yang pada akhirnya, aku harus menemui keputusasaan.

"Satu"

Mendengar suara tersebut, semuanya langsung mengarahkan pandangannya pada mata Kebenaran, termasuk diriku.

Mata kebenaran membuka matanya selebar mungkin, sayatan yang ada entah menghilang sejak kapan.

Ameth menatapku dengan wajah murka "Kau! Sebutkan lah! Siapa jati dirimu yang sebenarnya!?"

Mata kebenaran menutup, meniup segala penerangan yang ada di ruangan.

Dan membuat kegelapan sempurna yang membawa keputusasaan.

"Bukalah matamu" suara yang tadi kudengar, yaitu suara yang sama persis dengan suara mata kebenaran.

Lalu aku membuka mataku.

Aneh, benar-benar aneh. Aku tidak merasakan apapun, tidak panik, tidak takut atau bahkan tidak bingung.

Padahal, tepat di sekeliling ku terdapat berbagai mata yang menatap langsung ke arahku.

Bukan tak terhitung jumlahnya, aku hanya tidak bisa tahu berapa banyak dari mereka yang berbeda.

Walaupun mereka berkedip secara tak selaras, aku tidak merasa jijik. Ketenangan ini tidak bisa kumengerti sama sekali.

"Io Karma"

Aku tidak tahu darimana suara tersebut datang, namun aku tahu kalau salah satu dari mata yang ada disinilah yang berbicara.

"Dua"

Salah satu dari mata yang ada berbicara.

"Enam"

"Sepuluh"

"Sembilan"

Terus saling bergantian, tanpa bisa kupahami apa yang sebenarnya mereka hitung.

"Dua belas"

"Empat"

"Sembilan belas"

"Nol"

Dan semua mata menutup mata mereka, kecuali satu yang ada di depanku.

Mata tersebut berwarna sepenuhnya hitam dengan angka 0 berwarna putih yang terdapat di tengahnya.

"Apa kau ingin tahu kebenarannya?" suara yang tidak salah lagi berasal dari mata bertuliskan angka nol tersebut.

"Memangnya kebenaran seperti apa yang kau maksud?"

Mata yang lain tiba-tiba membuka matanya, namun bertuliskan angka 1.

"Tentu saja tentang dirimu"

"Aku yang paling mengerti tentang diriku, kebenaran yang kau katakan mungkin saja adalah kebohongan"

Beberapa mata terbuka. Tidak ada angka.

"Apa kau menginginkan kekuatan?"

Kali ini pertanyaan yang berbeda.

"Kekuatan seperti apa yang kau maksud?"

"Tentu saja, kekuatan untuk bisa melawan kemustahilan"

Kebohongan.

Aku tahu kalau apa yang dikatakannya hanyalah sebuah kebohongan.

"Tidak butuh"

Lalu semua mata terbuka, mereka membuka mata mereka selebar yang mereka bisa sampai bola mata mereka hampir keluar dari kelopak matanya.

"Apa kau....? Siapa kau...? Mahluk apa kau...? Bagaimana kau...? apa yang sebenarnya kau lawan?"

"BERITAHU KAMI! PERLIHATKAN PADA KAMI!"

Kata-kata yang mulai terdengar adalah kata-kata yang tidak bisa kumengerti, karena itu aku menutup mataku juga telingaku.

Lalu sekali lagi, membuka mataku.

Aku bisa melihatnya, mata kebenaran yang terbuka serta sesosok perempuan yang sedang meminum darah dari cawan besar yang berisikan darah berwarna putih.

Rambutnya menutupi mata kanannya, serta dia juga menggunakan topi berwarna putih yang sering digunakan oleh para penyihir.

Ameth dan orang-orang berjubah aneh itu tidak terlihat dimanapun, tidak ada juga darah yang berceceran di lantai.

"Kau siapa?" aku bertanya.

Dia meletakkan cawan besar tersebut, perlahan dia mendatangiku.

"Io Karma... Di dalam dunia yang membosankan ini selalu saja ada mahluk yang menarik sepertimu ya" ujarnya.

Senyuman yang tidak bisa kumengerti.

Ditambah, sebuah bulan indah yang terukir dalam mata kirinya. Seakan melihat bulan purnama secara langsung, aku merasakan perasaan yang aneh.

"Perkenalkan, aku adalah seorang penyihir yang biasa disebut sebagai penyihir kesombongan"

Dia mengulurkan tangan kanannya, berusaha untuk menggapai kepalaku.

Tetapi, entah kenapa badanku menolak untuk diam, aku mengambil langkah untuk mundur kebelakang. Menjauh dari jangkauan tangannya.

Senyumnya menjadi semakin jelas "Karma, apa kau mau tahu tentang dunia?"

"Dunia? apa maksudmu?"

"Tentu saja, semuanya. Termasuk cara agar kau bisa pulang ke duniamu"

Dia benar-benar mengetahui segalanya, tidak hanya namaku melainkan juga kehidupanku.

"Menjijikan juga rasanya kalau seseorang memperhatikan seluruh kehidupan ku, apa yang harus kutukarkan untuk itu?"

"Aku tidak memperhatikan seluruh kehidupanmu, hanya mengetahui sebagiannya saja. Karena itu, sebagai pertukarannya perlihatkan dunia mu"

Dari ekspresi nya, aku hanya mempunyai satu jawaban.

"Aku menerimanya"

Lalu dia mengulurkan tangannya sekali lagi, kali ini tanpa menghindari nya aku membiarkan dia menggapai kepalaku.

Dan sekarang, aku sedang mengarahkan kepalaku keatas. Memperhatikan langit malam yang dipenuhi bintang serta bulan yang begitu mirip dengan matanya.

Kemudian aku menurunkan pandanganku, memperhatikan apa yang ada di depanku serta di sekitarku.

Tetapi, sejauh mata memandang, hanya ada lautan yang memantulkan langit serta isinya, dan diriku yang sedang duduk bersama penyihir kesombongan.