✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Setahuku sejauh ini, Shan adalah kerajaan yang berdiri di atas awan yang mana berarti sangat aneh jika runtuh tanpa menciptakan kehebohan di muka bumi. Tapi, aku belum bertanya lokasi pasti di mana Shan itu dan bagaimana kisah keruntuhannya.
Lagi-lagi, pertanyaan muncul di saat yang tidak tepat.
Ketika aku mencoba mencari jawaban dengan menyusuri perpustakaan istana, malah pusing sendiri melihat deretan buku begitu banyak dan tebal melebihi apa yang biasa kubaca. Hal terakhir kubaca hanyalah beberapa lembar kertas atau sebaris dua baris kata, tidak sampai ratusan bahkan ribuan seperti ini.
Bagaimana cara mencarinya?
"Halo."
Aku tersentak saat mendengar suara asing dari samping.
Refleks menyentuh kalung, memastikan benda itu bersinar dan memancarkan kehangatan. Nyatanya, tidak terjadi perubahan.
Di depanku berdiri sosok mungil tersenyum padaku. Berpenampilan androgini dengan rambut pendek, mata hitam yang manis, kulit kecokelatan, serta rambut kelabu.
"Anda pasti Putri Shan itu. Raja sudah bercerita. Barangkali Anda ingin dibacakan dongeng?" tawarnya.
Aku jadi ragu untuk menjawab selain membahas yang kucari dari tadi. "Anu, ada buku tentang Shan? Atau mungkin kamu tahu tentang negeri itu?"
Makhluk itu terdiam sejenak. "Mohon ampun, Tuan Putri. Hamba tidak menemukan buku yang dicari. Tapi, hamba bisa bercerita sedikit."
"Ya, sudah." Aku pun duduk di sebuah kursi dengan meja panjang. "Duduklah."
Makhluk itu kemudian duduk. Baru hendak bercerita, aku langsung menyela.
"Boleh tahu namamu dulu?" tanyaku, sedikit malu karena kesannya terlambat.
Makhluk itu memang menyerupai manusia, tapi aku yakin dia bukan sepenuhnya itu. "Panggil saja Perpustakawan."
Aku mengiakan dan membiarkan dia bercerita.
***
Beberapa jam kuhabiskan dengan mendengarkan kisah perihal Shan kepada Perpustakawan.
Dia tidak bercerita banyak melainkan sesuai dengan apa yang kutahu sebelumnya dan aku maklum. Barangkali kisah Shan hanya diketahui oleh para Guardians dan aku entah bagaimana tidak bisa menginggat.
Siapa yang menghapus ingatanku?
Pandanganku beralih ke depan, tepat di sana terlihat gadis yang lebih rendah dariku, tampak menatap lukisan gambar Khidir bersama Zahra dalam diam.
Aku ingat wajah itu.
"Zahra?" Aku berjumpa kembali dengannya setelah sekian lama.
Kulihat dia kini mengenakan gaun ungu dipenuhi hiasan serta kain yang berlapis-lapis layaknya kue.
"Ah, di sini rupanya," komentar Zahra.
"Ada apa memangnya?" heranku. Padahal barusan aku menyimak kisah dari Perpustakawan dan aku menyadari bahwa ...
"Lupakan." Zahra meneruskan langkah, tapi aku tahu dia menyuruhku menyusul.
Aku pun berjalan di sisinya.
Zahra lebih banyak menceritakan tentang Yamlica, ibunya.
"Umi hidup sebagai ratu jin selama beberapa abad lamanya," ujar Zahra. "Salah satu orang yang pernah masuk ke sana adalah Sakhor."
Mataku melebar. "Benarkah?"
"Sebenarnya, aku tahu ini hanyalah tipu daya," kata Zahra.
"Maksudmu?" Aku heran.
"Begini." Zahra mulai menjelaskan. "Bangsa jin bisa merasuki badan seseorang dan mengendalikan kekuatannya. Sakhor adalah seorang penyihir, tetapi dia dirasuki oleh seekor jin yang kini kita kenal saat ini."
Aku bingung. "Tunggu, berarti Sakhor sebenarnya tidak bersalah atau kenapa?"
"Sakhor dirasuki jin, dan Umi hendak menyegelnya tapi dia terlambat," jawab Zahra.
Berarti, Sakhor bisa dibilang penyihir yang mengendalikan hewan seperti biasa. Nakun, raganga telah dikendalikan oleh seekor jin entah siapa namanya. Bisa jadi dia ada kaitannya dengan Shan.
"Bisa dibilang, dialah yang mengendalikan kadal raksasa itu untuk memangsa Mariam," lanjut Zahra.
Berarti, Mariam selama perjalanan menuju Shyr telah diintai.
Mariam berhasil lolos saat monster kadal memangsa ibuku dan penduduk Desa Anba. Bisa dibilang, hidupku hanya tentang lari dan menghindari masalah.
Ketiga orang yang ditakdirkan untukku, selama ini mengatur perjalananku, agar aku aman darinya.
Mayoritas musuh yang akan kami taklukan barangkali berasal dari kalangan jin dan sejenisnya. Aku akan menunggu jawaban pasti.
Selagi menunggu, aku dan Zahra memandang langit Aibarab. Meski diselubungi hawa panas, kami sudah terbiasa sejak kecil. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata beberapa menit.
"Zahra," panggilku. Mengabaikan fakta jika selisih usia kami sangat jauh. Kemarin, aku sempat memanggilnya 'Nenek' atau 'Bibi.' Tapi, Zahra membencinya. Dia ingin dipanggil dengan nama saja. Melihatnya marah membuatku patuh.
Zahra menyahut. "Ya?"
Aku menunjuk ke atas. "Apa itu?"
Seekor burung menjatuhkan sebuah botol kaca hingga pecah. Di antara pecahan kaca, terlihat selembar kertas. Zahra memungutnya.
"Kamu dapat kabar dari mereka?" Aku bertanya merujuk pada ketiga pelindungku.
Zahra menyerahkan selembar surat. Surat itu ditulis dengan sudut pandang yang berbeda. Tidak merujuk pada penulisnya.
Bagaimana kabar kalian? Kami harap kalian baik-baik saja.
Surat ini kami tulis melalui perantara. Semoga tidak terlambat.
Ratu Kerajaan Jin Zabuz, Yamlica, bergerak menuju Aibarab. Raja Khidir sudah diberi kabar dan beliau telah menerimanya. Sambutlah Ratu Yamlica dengan manis terutama kamu, Putri Zahra.
Kami tahu dia merindukanmu selama ini. Pesan kami, sambut saja. Kamu tahu harus berbuat apa.
Pesan itu ditulis tanpa nama.
"Umi akan tiba beberapa saat lagi," ujar Zahra.
"Lalu apa?" tanyaku. "Kita sediakan camilan?" Aku tidak tahu makanan apa saja di istana ini apalagi untuk tamu.
Zahra menengadah. Memandang langit biru. Aku refleks mengikuti arah pandang. Tidak ada yang istimewa. Hanya langit silau dan panas seperti biasa.
"Kendati berpisah selama puluhan tahun," ujar Zahra. "Aku selalu tahu kabar tentangnya. Setelah sekian lama, akhirnya dia datang juga mengunjungiku."
Dia melanjutkan. "Umi akan mencari segala cara agar aku aman dari kejauhan, termasuk menyewa beberapa jin menjadi pelayan pribadiku. Namun, aku tidak mau karena sudah pasti merepotkan."
Aku mendengarkan.
"Aku hanya ingin hidup menjadi bangsawan biasa, penuh glamor dan damai. Namun, tampaknya takdirku hanya tentang mengikuti kabar para jin." Zahra cemberut, sepertinya dia lebih betah di Aibarab ketimbang tanah kelahirannya.
"Kamu menyukai manusia, bukan?" tanyaku ragu. "Kamu tidak benci makhluk selain jin, 'kan?"
Zahra tidak mau menjawab, malah mengalihkan topik. "Setelah kedatangan Umi, sudah pasti Abi akan bicara padanya. Aku tidak bisaa membayangkan percakapan mereka nanti."
Lalu, kudengar gumamannya. "Keduanya bagaikan minyak dan air dalam satu wadah."
Aku heran mendengar balasannya. "Maksudmu?"
Zahra mendesah. "Kamu ini, kapan pahamnya? Padahal kamu putri dari seorang raja di Shan."
Soal itu ...
Dari sekian banyak kisah yang dia tuturkan tentang ayah angkatnya, aku pun menyimpulkan.
Aku tahu, Zahra lega bisa hidup dan dibesarkan oleh Khidir. Tidak hanya karena dia sosok yang paling disegani di Aibarab atau karena kekayaan. Melainkan karena kasih sayang yang diberikan. Memang, mereka tidak sedarah, tapi Zahra diperlakukan layaknya anak sendiri.
Zahra tidak membenci ibu kandungnya, tapi tentu perlakuannya sedikit berbeda. Kadang dia berpikir, apa Yamlica benar-benar menyayanginya.
Aku tahu Zahra ingin membalas budi kedua orang tuanya. Tapi, dia sendiri bingung bagaimana caranya.
Zahra lalu bercerita padaku.
***
"Apa ini?"
Zahra membuka bungkus hadiah berian Khidir di hari ulang tahun, lebih tepatnya tahun kedua dia tinggal di Aibarab.
Isinya berupa pakaian dengan perpaduan warna hijau, entah kenapa justru cocok dengan rambut ungu Zahra. Selain itu, ada sebuah cincin zamrud yang cocok di jari manisnya.
"Ini bukan cincin biasa. Aku mendapatkannya dari Zabuz." Khidir menjelaskan sambil tersenyum.
Zahra tentu saja bingung. Sebagai seekor jin, dia tidak pernah mencoba mencuri dari negerinya sendiri.
"Jika ini sangat penting," ujar Zahra. "Tidak masalah kalau aku memakainya?"
"Tentu saja." Khidir menepuk pelan kepala Zahra. "Jaga baik-baik, ya!"
Zahra mengamati cincin tadi dalam diam.
"Zahra keberatan?" Khidir terdengar ragu.
"Tidak, tidak masalah." Zahra menunduk, menatap baju berian Khidir yang belum dicoba. Tanpa diperiksa pun, dia tahu ukurannya sudah cocok. "Terima kasih."
Khidir mengelus keningnya. "Selamat ulang tahun, Rara."
***
"Kamu sayang dia?" tanyaku.
"Aku ..."
Aku menunggunya.
Zahra diam saja. Dia meneruskan langkah. Menuntunku dalam keheningan.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵