Chereads / Guardians of Shan / Chapter 40 - Misteri Negeri Awan – 4

Chapter 40 - Misteri Negeri Awan – 4

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Sakhor mengangkat tangan. Secercah cahaya menyilaukan menyambut. Tampak istana yang dipenuhi batu hitam laksana dalam gua.

Kulihat Mariam menyerang ke arahku. Menusuknya bertubi-tubi. Barulah aku ingat, ini kabut yang menghalangi jarak antara kami, dan Mariam berusaha menghancurkannya.

"Dia menyerang dengan percuma," ujar Sakhor. "Padahal, dia tinggal membunuh tubuh yang ini."

Aku mengepalkan tangan, berniat menghajar. Namun, percuma saja. Aku tidak punya senjata dan tenagaku lemah.

Dia memakai raga orang lain. Tentu saja aku tidak tega namun di sisi lain harus memusnahkan makhluk ini.

Pandangan beralih di bawah. Raja Khidir tengah menyerang itu dengan dahan berlapis-lapis. Sementara Idris menyerang dalam wujud naga. Tampak jelas, mereka mencoba menembus kabut ini.

"Berhenti!" seru Sakhor. "Percuma saja!"

Suara Sakhor menggema hingga keluar dari kabut itu. Kutatap wajah ketiga pelindungku. Mereka tidak mengindahkan dan tetap menyerang.

Aku kembali bertanya padanya. "Apa maumu?"

Dia menatapku. Suasana menjadi hening selama beberapa saat.

"Biarkan aku menggunakan kekuatan sihir terakhir dari tubuh payah ini," ujarnya. "Hanya dia yang bisa membuka segel ingatanmu akan kehidupanmu dulu. Karena dialah korban yang selamat dari Shan."

Jemarinya perlahan menyentuh keningku.

Pandanganku berganti.

***

Awan.

Hanya itu yang kulihat.

Semilir angin membelai pelan rambutku selagi aku menghirup angin yang segar. Belum pernah kurasakan angin sebersih ini. Rasanya seperti di nirwana.

"Putri!"

Seruan seorang wanita tertangkap di telinga. Aku lantas menoleh.

Dia memiliki rambut cokelat yang diikat menggulung layaknya sanggul. Mahkota kecil menghias kepala serta pakaiannya yang serba cokelat.

"Azeeza, para pelindungmu telah tiba."

Tubuh ini lantas mendekat tanpa seizinku. Dia menatap terus wanita tadi.

"Umi sudah menemukan mereka?" tanyaku. Rasanya kedua bibir melengkung membentuk senyum.

Wanita yang kuduga sebagai ibuku dari Shan pun tersenyum. "Benar. Ayahmu sudah menemukan mereka."

Kami pun bergandengan kembali ke istana megah berwarna keputihan dilengkapi hiasan berupa awan-awan dari beragam bentuk, menambah kesan indah bagi kerajaan yang kupijak ini.

Terdengar suara Sakhor berbisik padaku. "Engkau dan ibumu merencanakan sesuatu dengan para pelindungmu. Kau tidak mencurigai sesuatu?"

"Bukannya wajar jika seorang anak raja memiliki pengawal?" tanyaku polos.

"Tidak ada salahnya memiliki pengawal, tapi apa kamu tidak mencurigai ini?"

Pandanganku kembali beralih ke seorang wanita berambut hitam dengan mata biru berdiri menghadap Idris. Dia persis seperti lukisan yang dipajang di rumah Idris di Aibarab.

Istrinya yang telah tiada.

"Akulah yang layak sebenarnya," ujar wanita itu dalam bisikannya.

"Aku tahu," ujar Idris. "Tapi, bersabarlah. Saudarimu tidak akan bertahan lama."

Wanita itu mengiakan. "Hiwaga tidak lain hanyalah penipu. Kita harus menghentikannya sebelum dia menguasai Shan."

"Kita akan melakukannya," ujar Idris. "Kau harus bersabar."

"Jika aku tewas malam ini." Wanita itu menatap kembali Idris. "Aku akan dilahirkan kembali dan akan menemuimu lagi."

Keduanya diam seperti ada yang menghentikan pergerakan mereka.

***

"Inilah yang bisa kutunjukkan saat ini, satu dari beberapa yang tersisa." Sakhor bersuara.

Pandanganku kembali ke Sakhor yang memegang bahuku. "Dari sini kau sudah tahu kalau mereka bahkan kalian yang merencanakan keruntuhan Shan."

Aku terdiam. Waktu itu, akalku tidak sampai untuk memikirkan perkara ini. Yang kupikirkan saat ini adalah keselamatanku sendiri.

Brak!

Tanganku bergerak hendak meninju wajahnya.

"Azeeza!" Sakhor menepis tanganku.

Aku didorong hingga terjatuh.

Tatapan penuh kebencian, mengarah padaku.

"Dasar tidak tahu diri!" serunya. "Seharusnya aku menghabisimu setelah–"

Aku meninju wajahnya. Meski hanya membuatnya terhuyung.

Tunggu, di mana dia?

Sakhor lagi-lagi lenyap. Aku mengamati sekeliling.

Tidak ada.

Bulu kudukku meremang. Aku dapat merasakan kehadirannya.

Tepat di belakang.

Wajahku terkena tamparan keras. Aku menghantam permukaan tanah.

Jantung maupun napasku kian kacau. Aku terengah-engah sementara Sakhor menatapku tajam.

Sebuah tendangan melayang ke arahku hingga memupus jarak antara kami dalam sekejap.

Belum sempat berdiri, aku menerima serentetan pukulan dan tendangan hingga membuatku nyaris babak belur.

Kesadaranku hendak melayang, tapi aku harus bertahan untuk melawan!

Sakhor akhirnya menghentikan aksinya. Dia menarik kerah bajuku dan hendak meninju.

Krak!

Saat itulah, dahan raksasa mengekangnya. Disertai sulur yang menguncinya. Sakhor menatap tajam sosok di belakangku.

Aku tahu itu siapa.

Mariam tampak menancapkan pedang hingga menyebabkan lapisan sihir itu pecah.

Krak!

Kulirik Sakhor.

Dia mundur beberapa langkah ketika benda itu pecah. Menciptakan lubang besar yang menghisap kami dengan kencang.

Saat itulah, tubuhku terasa diseret begitu cepat. Seperti terlempar menuju dimensi lain.

Duk!

Tubuh terputar lagi, melayang.

Aku dipeluk erat. Begitu membuka mata, langsung mengenalnya. "Khidir!"

Dia mendekapku erat ketika dentuman keras menghantam tanah.

"Kalian, musuh langit dan bumi!" Terdengar seruan Sakhor.

Mariam berdiri di depan kami. Menebas.

Sakhor menghindar.

Mariam terus mengarahkan pedangnya ke arah jin itu. "Kau nyaris membunuh Kyara!"

"Mariam!" tegur Khidir, berusaha menenangkan dengan percuma.

Mariam menarik rambut Sakhor, dia menggerang. Mariam menempelkan pedang ke lehernya.

Khidir melepas pelukan dan menahan bahu Mariam. "Itu raga seseorang!"

Mariam melepas genggaman dengan kasar.

Tubuh Sakhor terempas ke tanah. Dia meringis. Malangnya tidak bisa berbuat apa-apa selain itu.

Khidir menghampirinya.

Darah segar menetes ke tanah dari leher Sakhor, bekas dari Mariam.

Aku menelan ludah, membayangkan apa yang akan terjadi.

Kalungku bersinar terang, melampaui cahaya sebelumnya.

Sakhor yang kini mulutnya terikat sulur, hanya bisa menatap musuhnya dengan ngeri, menggerang saat sulur itu mencengkeramnya.

"Penipu," erang Sakhor.

Tiada yang menanggapi.

Khidir memegang kedua pipi Sakhor. Menariknya hingga wajah mereka berdekatan. Mulut pria malang itu akhirnya terbuka, Khidir memberikan kesempatan.

"Tubuh siapa lagi yang kaupakai?" tanya Khidir.

Sakhor berdecak. "Cari tahu saja sendiri!"

Dahannya membelit Sakhor. Ia tampak seperti pohon yang baru tumbuh alih-alih jasad. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

Aku menutup mata dengan tanganku yang dingin. Bibirku bergetar. Hanya kata-kata tiada makna keluar.

Raja Khidir berpaling, dia mengelus pelan rambut hingga pipi. "Kamu tidak apa-apa?"

Suaranya melembut. Bagai sihir, membukakan mataku. Aku menatap. Tidak tahu harus menjawab apa. Wajahku memang penuh memar. Namun, rasa sakit ini bukan apa-apanya dibandingkan rasa takutku.

Aku menoleh ke sekitar. "Mariam! Idris!"

Mariam mendekapku erat, bahkan nyaris mencekik. Sementara Idris memeluk kami berdua.

"Dia akan kubawa ke Yamlica," ujar Khidir. "Tubuh yang itu perlu istirahat."

Mariam melepas pelukan dan kembali berdiri. "Jin itu akan dilepas darinya?"

Khidir mengiakan. "Kyara akan tinggal di sini, akan dilindungi seperti sedia kala."

"Dia ikut bersamaku!" Mariam menyela.

"Jangan!" Khidir menghela napas. "Tinggalah di istana, dia bakal aman."

Aku mengedarkan pandangan. Kutatap mata mereka satu per satu. Merah, hijau dan biru. Mereka menunggu responsku.

Aku membuka mulut. "Baikla–"

"Kyara akan tetap bersamaku!" tegas Mariam. Intonasi suaranya terkesan datar namun mengintimidasi.

"Putri harus dijaga oleh Guardian-nya," ujar Khidir.

"Lalu?" balas Mariam.

Aku berdiri di depannya. "Mariam orang pertama yang melindungiku. Biar aku mengikutinya."

Idris dan Khidir saling tatap. Keduanya jelas ragu. Aku membalas tatapan itu dengan tegas.

"Mariam yang duluan melindungiku," ulangku. "Dia juga yang mempertemukan kita bertiga. Aku juga ingin menjadi membantu kalian membangun kembali Shan."

Idris menyela. "Biar aku dan Khidir yang melakukannya. Kami bisa melindungimu."

Aku tersenyum. "Aku tidak mau bertindak pasif. Aku ingin membantu membangun kembali negeri Shan. Asalkan kalian memberitahuku caranya."

"Pemimpin kami tidak sempat memberitahu lanjutannya," ujar Khidir.

"Siapa?" tanyaku.

"Kami memanggilnya 'Kakek,'" jawab Raja. "Dia pria paling misterius yang pernah kutemui. Meski dia banyak berbagi cerita, tapi tidak dengan hidupnya."

"Tapi," sela Idris. "Dia menyayangi kita semua, tak terkecuali Putri dan Pangeran."

"Siapa Pangeran?" tanyaku.

"Dia adikmu," jawab Idris. "Untuk saat ini, dia belum ditemukan."

"Lalu, bagaimana dengan Guardian lain?" tanyaku.

"Sebagian terpencar begitu jauh," ujar Khidir. "Sama seperti kami, umur mereka sangat panjang dan dengan sabar menunggu kelahiran kalian."

Berarti, masih ada banyak Guardian yang perlu kucari. Kutatap Mariam dengan penuh kepercayaan diri.

"Kalau begitu," ujarku dengan kobaran api di dada. "Aku akan mendukung kalian, bagaimanapun keadaannya!"

Mariam mengangguk. "Bagus! Kamu resmi menjadi bagian dari kami!"

Khidir tersenyum. "Akan kubekali kalian."

Idris tampak ragu. "Kalian tidak butuh pengawal?"

Mariam mendengus. "Aku bisa menjaga diri dan melindungi Kyara."

Idris lagi-lagi ragu. "Kamu bisa mencelakainya!"

"Tidak, kok," balas Mariam. "Kamu jangan berlebihan. Dan jangan kaitkan ini dengan masa lalu!"

Idris terdiam. Menunduk.

Mariam melembutkan suara. "Idris, kamu sahabatku dan aku menghargai kebaikanmu selama ini. Terima kasih."

Idris menggenggam tangannya. "Maaf bila aku terlalu memaksa."

"Kamu tidak memaksa," ujar Mariam. "Aku paham, kok. Hanya saja, aku tidak siap melaksanakannya."

Idris tersenyum. "Jika kamu siap, katakanlah!"

Mariam mengangguk. Dia mengerutkan kening. Ada apa?

Idris mengikuti arah tatapannya. Ia refleks menarik tangan Mariam. Ia berbisik namun tidak terdengar, sebelum mendorong wanita itu menjauh.

DUAR! Krak!

Serangkaian benda tajam nyaris menusuk kami bertubi-tubi. Menembus sebuah dahan yang menjadi tameng. Benda itu mirip tombak emas yang bisa membelahku menjadi dua.

Khidir menghela napas. "Lagi?"

Ucapannya disertai ledakan dahsyat berujung terguncangnya istana yang nyaris runtuh akibat serangan mendadak tadi. Aku terdorong hingga terduduk ke lantai. Napasku makin kacau.

Aku menoleh. Tidak ada yang tersisa selain lubang besar menganga. Debu dan asap berpadu menjadi satu.

Mariam berlari menghampiriku. "Kyara?"

Khidir menggeram. Ia menatap lurus ke depan. Kuikuti arah tatapannya.

Pria kerdil itu masih berdiri di sana. Matanya menatap tajam satu-satunya lawan yang dicari.

Khidir hanya berkomentar. "Yah, kukira mati."

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵