✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
"Ratu Yamlica dipersilakan duduk di sini."
Seorang pelayan berusaha menahan agar suaranya tidak gemetar.
Aku dan Zahra duduk di ruang khusus yang bersebelahan dengan taman istana. Ruangan ini begitu luas layaknya lapangan, seperti tamut kami saat ini.
Yamlica.
Itulah namanya. Badan besar hampir memenuhi ruangan. Kami ibarat kelingking baginya. Rambut hitam Yamlica sepanjang pinggang dilengkapi sepasang tanduk mirip domba dengan sepasang mata biru. Dialah ibu kandung Zahra.
Yamlica membuka mulut. Suaranya mampu menggetarkan seantero istana. Disertai jeritan batinku.
"Hai!" sapa Yamlica dengan senyuman manis. Dengan badan sebesar itu, membuatku gentar meski dia sudah tampak berusaha ramah. "Oh, ini temanmu?"
"Dia putri Shan itu, Umi," jawab Zahra.
Kami berdua duduk sebangku di meja sementara Yamlica duduk di depan tanpa kursi sama sekali. Bajunya yang dipenuhi warna dari hitam, kelabu, dan putih membalut tubuhnya. Serta mahkota hitam berbentuk layaknya duri selaras dengan tanduknya.
Yamlica menatapku. "Oh, Putri Azeeza Suryanta, ya."
Aku mengiakan meski ragu.
"Senang bisa bertemu kembali," ujar Yamlica. "Zahra, bagaimana kabar suamimu?"
"Dia ayahku, Mi," sanggah Zahra. "'Kan Zahra sudah cerita."
"Ah, Umi lupa." Yamlica tertawa kecil, namun tentu saja terdengar keras. "Umi agak sibuk dari dulu sehingga jarang berkunjung."
"Tidak apa, Mi," kata Zahra. "Zahra bakal sering mengirim kabar."
Yamlica pun meminum segelas teh yang besarnya hampir seperti bak mandi kerajaan yang panjang dan lebarnya seperti dua orang dewasa. Tampak begitu mungil di tangannya.
"Umi tahu ia ada di sini." Yamlica perlahan bicara serius. "Kalian sudah siap?"
"Siap apa?" heranku.
Zahra mengiakan sang ibu. "Ya. Kami siap."
"Bagus." Yamlica kemudian menoleh ke segala arah. "Umi akan berusaha menyegel jin itu dan membebaskan pria malang yang jiwanya telah direngut."
Kami mengiakan.
Yamlica tersenyum kemudian lenyap dalam sekejap. Meninggalkan ruangan yang tadinya sempit menjadi kembali lapang.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku. Aku saat itu begitu bingung harus apa.
"Nanti." Zahra pun ikut menghilang, meninggalkanku seorang diri.
***
"Kudengar kamu meninggalkan Zahra lagi."
Suara Yamlica kembali terdengar. Entah kenapa, kali ini tidak sekeras sebelumnya dan malah seperti suara pada umumnya.
Rupanya, dia bicara dengan Khidir di ruang yang tadi dalam wujud seorang wanita biasa tanpa tanduk dengan tinggi melebihi dengan Countess, hampir dua meter.
Khidir tampak kerdil dibandingkan dengannya. Tapi, dia tentu terbiasa dengan pemandangan ini.
"Zahra tidak pernah kutinggalkan," sanggah Khidir. "Dia sudah tidak terlalu mau didekati."
"Kamu harus memperlakukan istrimu dengan baik!" Yamlica berucap ketus.
"Anak," koreksi Khidir. "Mohon maaf, sudah beberapa kali kami bilang kalau aku dan Zahra adalah ayah dan anak, bukan suami dan istri."
"Bukankah itu perjanjian kita dulu?" balas Yamlica.
Khidir tersenyum. "Kalau begitu, seharusnya kamu yang menjadi istriku."
Hening.
Kabut hitam mulai menguasai tubuh Yamlica. Terdengar geramannya yang keras hingga orang di luar pun mendengar.
"Tutup mulutmu!" Dia menatap tajam Khidir. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Zahra dan kau harus bertanggungjawab atas segalanya tentang dia setelah aku."
"Zahra itu putriku," kata Khidir. "Tentu saja aku akan bertanggungjawab."
"Zahra itu putriku," ujar Yamlica tidak mau kalah. "Aku akan memastikan dia aman!"
Tidak disangka, Khidir masih saja terlihat tenang, malah tampak senang dengan reaksi Yamlica. "Kalau begitu, seharusnya Zahra menjadi anak kita. Daripada saling klaim seperti tadi. Kamu tidak kasihan melihatnya sedih karena tidak bertengkar seperti ini?"
Mata Yamlica melotot. "Baik. Aku akan diam. Tapi, kamu jangan seenaknya dengan Zahra hanya karena dia putrimu juga sekarang."
"Kamu mengucapkannya sejak tahun pertama dia di sini," sahut Khidir. "Sangat aneh tidak percaya juga."
Yamlica mengalihkan pandangan ke jendela yang menampilkan pemandangan langit malam Aibarab. "Aku hanya akan mrlindungi Zahra dari jin itu. Kau urus saja anak buah dan majikanmu."
"Zahra juga tanggungjawabku." Khidir kembali menggunakan kata-kata Yamlica. "Tugasmu hanya membantu."
Rupanya, itu kembali membuat sang ratu tersinggung.
"Aku yang akan menangkap jin itu. Camkan itu!" ucap Yamlica. "Karena aku yang bisa menarik seekor jin. Tapi, untuk kasus ini, aku meminta kau, Raja Khidir, satu hal yang penting."
Khidir tampak mendengarkan. Dia mendekat ke arah Yamlica yang hendak berbisik.
Baru aku hendak mendengar, seketika tanah di sekitarku bergetar hebat.
"Ibu!" jeritku.
Bruk!
Aku terjatuh ke lantai.
Sekelilingku dipenuhi kabut hitam yang pekat.
"Putri!"
Dapat kudengar seruan Khidir dari kejauhan.
"Kyara!"
Aku tersentak. Lantas berjuang berpaling meski badanku mengambang.
Terlihat Mariam berada di bawahku, di antara kabut itu. Tangannya terangkat, berusaha menggapaiku. "Kyara!"
Aku berjuang meraih tangannya. "Mariam!"
Ragaku perlahan berputar, terangkat tinggi di antara kabut. Kalungku satu-satunya penenang, meski perlahan pandanganku dikuasai kegelapan.
Hingga benar-benar gelap.
***
Aku jatuh.
Semakin dalam.
Tubuhku seperti ditelan hidup-hidup seperti di dalam perut Sakhor si Ular.
Gelap gulita.
Senyap.
Tiada tanda kehidupan selain aku.
Namun, aku masih saja hidup. Menyaksikan detik-detik kegelapan itu menelanku. Wajah Mariam yang panik berjuang meraihku, jeritan memilukannya, hingga kegelapan berganti cahaya putih.
Tunggu, ini di mana?
Aku diturunkan di ruang hampa.
Putih.
Tiada makhluk lain di sini selain diriku.
"Halo? Ada orang?"
Tidak ada yang menyahut. Aku mengibas pakaianku lalu menghela napas.
Apa aku benar-benar mati? Lalu, jika benar ini akhirat, seharusnya aku dituntun oleh seseorang menuju alam berikutnya, entah surga atau neraka.
"Tuan Putri."
Panggilan itu, entah kenapa, membuatku merinding dan sontak membalikkan badan.
Sakhor ternyata berbadan pendek seperti Zahra. Dia memiliki rambut hitam acak-acakan. Tampak baru saja keluar dari penjara kerajaan nan kelam. Kulitnya kekuningan, mata hitam pekat.
Aku tahu, ini hanya raga yang dia curi. Aku harus menolong pria malang yang raganya dikendalikan paksa.
Aku mundur. "Sakhor?"
"Engkau Putri Azeeza dari Shan, bukan?" tanyanya. "Ya, wajar mereka mempertaruhkan nyawanya demimu."
"Bagaimana keadaan mereka?" tanyaku cemas.
Dia menatapku hampa. "Mereka mencemaskanmu, melemah, namun hanya memikirkanmu. Sebentar lagi, nyawa mereka melayang. Aku mengutus anak buahku agar bergegas membunuh mereka."
"Kembalikan aku ke sana!" desakku.
Sakhor malah tidak membalas pertanyaanku. "Kamu tidak tahu apa-apa."
"Aku?" Aku menunjuk diri. "Ada apa denganku?"
"Engkau selalu dilindungi semua orang," ujar Sakhor. "Tidak tahu tujuan sebenarnya mengapa dilindungi."
"Maaf," bisikku. "Kata Raja Khidir, aku reinkarnasi Putri Azeeza. Aku hanya gadis desa biasa yang dipungut oleh mereka."
"Shan runtuh karenamu."
Aku tidak membalas. Tidak tahu menahu. Tentu saja, jangankan soal keruntuhan Shan, wajah Azeeza saja aku tidak tahu.
"Jika tubuh ini rusak," lanjutnya. "Darahnya mengalir. Barangsiapa yang meminumnya, kelak menjadi penyihir hitam yang akan menghancurkanmu!"
Aku mundur selangkah.
"Aku menciptakan banyak kehidupan," ujarnya. "Namun, tiada yang menganggapku. Mereka justru membangkang. Sementara kamu diperlakukan sama."
Jadi, si Azeeza ini pemicunya? Diriku sendiri? Sementara pikiranku melayang ke mana-mana. Teori demi teori bermunculan dan tidak satu pun masuk akal bagiku.
"Aku tidak membencimu," ujarku. "Dan aku tidak tahu menahu. Namun, aku yakin, kami telah berbuat hal yang benar."
Bunyi dentuman bersahutan. Menggetarkan seantero ruangan.
"Apa yang terjadi?"
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵