✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Begitulah yang kulakukan seharian ini, mengikuti langkah Zahra demi mengusir rasa bosan. Meski masih penasaran dengan apa yang Mariam dan kedua temannya lakukan di sana.
Sepertinya mereka terlalu sibuk sampai tidak mencari lagi. Atau tahu dan menyuruh Zahra menemaniku.
Yang pasti, aku di sini sedang mengusir rasa bosan dengan bertingkah seperti anak kecil menunggu kepulangan orangtuanya.
"Zahra." Aku memanggilnya begitu karena dia memintanya. "Boleh bertanya soal penggalan puisi tadi?"
Zahra balik bertanya. "Yang mana?"
Aku pun memberitahu puisi tentang sosok yang akan bangkit tadi. Siapa tahu itu musuh yang telah lama disegel dan kemungkinan akan melawan.
Entah kenapa firasatku mengatakan, ini adalah musuh akhir dari hikayat ini dan aku harus membantu mencegah setidaknya sedikit. Meski tidak tahu pasti kapan dan bagaimana.
Mendengar penjelasanku, Zahra genggam tanganku. "Jangan dilepas!"
Kami berpindah tempat menuju sebuah ruangan luas yang hanya berisikan bantal dari beragam bentuk. Ada yang untuk duduk maupun berbaring langsung. Di pojokan sudah disediakan beragam buah dan minuman yang entah kenapa membuatku curiga.
Tempat ini seolah dirancang untuk bersantai, bukan sebuah perpustakaan atau ruang kerja seperti yang kubayangkan.
"Ini ... Tempat apa?" tanyaku. Jelas tidak nyaman.
"Ini harem," jawab Zahra. "Abi menyembunyikannya di sini."
"Kenapa?"
"Aku sendiri tidak tahu." Zahra jawab dengan datar. Aku tidak menemukan sarkasme atau kalimat sinis darinya. Bisa jadi dia juga tidak tahu.
Aku tidak tahu harem itu apa. Tapi, aku yakin itu tempat untuk beristirahat. Pantas saja isinya seperti ini. Mungkin aku bisa sesekali ikut bersantai dan menikmati makanan di sini. Pasti seru.
Zahra kemudian membuka sebuah pintu di balik gorden berwarna emas berhiaskan motif bunga dan serangkaian sulur. Letaknya dekat tempat berbaring yang sangat luas dan empuk hingga kakiku nyaris tenggelam. Barangkali ini tempat untuk tidur, tapi terlalu luas untuk satu orang dewasa.
Ketika dibuka, muncul ruangan kecil berisi tapestri bergambar sosok pria mengenakan pakaian layaknya bangsawan. Warna kelabu mendominasi penampilannya mulai dari pakaian hingga sepatu hak tinggi yang ia kenakan. Rambut hitam sepinggang yang diikat menghias kepala, sementara wajahnya menghadap ke depan sehingga kami hanya bisa melihat bagian belakangnya saja.
Ia berdiri gagah layaknya kesatria, tapi aku tidak bisa menebak apakah ia seorang pahlawan atau justru ancaman terbesar di negeri ini.
"Inikah orangnya?" tanyaku.
Zahra mengiakan. "Ia yang ditakuti pada zamannya."
"Dia musuh?" tanyaku.
Zahra tidak menjawab.
Saat itu juga, aku hanya bisa menebak. Waktu akan menjawabnya.
***
Susah payah aku mencari Mariam. Mulai dari bertanya ke sana dan ke sini, hingga mengamati dunia di luar istana, berharap bisa melihat dia barang sehelai rambut putihnya sekalipun.
Aku rindu? Mungkin.
Aku bosan? Ya.
Apa mauku sekarang? Mencari pelindung atau barangkali sekarang jadi pengasuhku.
Duduk di istana Aibarab, dikelilingi orang yang tidak kukenal membuatku tidak nyaman.
Zahra sering menghilang lalu muncul kembali. Sementara Oruko Bersaudari belum terlihat sama sekali.
Ketika kutanya Zahra ke mana ketiga pelindungku pergi, dia hanya menjawab kalau mereka sedang melaksanakan tugas dan aku tidak akan mengerti hingga waktu menentukan.
Meski umurku masih dua belas tahun, aku tidak sebodoh itu! Aku yakin bisa memahami rencana mereka meski tidak bisa menerka sekarang. Kenal saja tidak terlalu, apalagi membayangkan tindakan berikutnya.
Kubayangkan, Mariam akan mendapat tugas dari Khidir kemudian bisa jadi dibantu oleh Idris. Entah apa tugasnya. Barangkali menangkap Sakhor sejak pertemuan pertama.
Siapa gerangan dia? Apa maunya?
Lebih tepatnya kenapa mereka mau melindungiku? Tidak mungkin sebatas fakta aku putri dari Shan yang sudah pasti derajatnya lebih tinggi dari mereka.
Maksudku, aku kalau mati pun tidak memengaruhi apa-apa, bukan?
Lantas, kenapa mereka sangat menjagaku? Ada kaitannya dengan kalung ini?
Di usiaku saat itu, aku terus saja berpikir tanpa menemukan solusi, malah justru menambah pertanyaan yang menimbulkan pertanyaan baru pula.
Seperti nama.
"Aku Mariam Fativ."
Itu nama yang disebutnya di depan kami, aku dan ibuku.
"Aku Hiwaga."
Terlintas dalam benakku nama lainnya, ketika Mariam mengucapkan nama samaran untuk kali pertama di depan mataku. Dia menyembunyikan identitas kepada Ariya demi melindungi diri.
Kemudian Idris, yang namanya disampaikan oleh keluarga Wynter.
"Aku Oruko Takeshi."
Dengan nama ini dia memperkenalkan diri, barulah ketahuan ketika kami ke Aibarab, meski aku sudah menduganya.
Lalu, Raja Safar al-Khidir, namanya juga disebutkan oleh orang selain dirinya. Sungguh, aku ingin mendengarnya menyebut nama itu langsung.
Kendati sudah bersama cukup lama, aku masih ragu tentang para pelindungku. Meski mereka cukup banyak bercerita, aku masih merasa seolah ada yang disembunyikan, entah apa itu.
Karena bosan berkepanjangan, aku memutuskan kembali berkeliling, mencari tempat di mana tapestri itu tersimpan. Barangkali ada jawaban dari semua ini, meski aku belum terbiasa membaca banyak tulisan.
Aku kembali ke tempat mewah itu. Dari kejauhan tampak janggal, terlihat suasananya yang semakin berisik, padahal tadi sunyi.
Ketika kutengok, terlihat para wanita cantik sedang bersenda gurau sambil minum dan berbaring di sana. Aku kagum terhadap kecantikan mereka, pasti orangtua dan suami bangga memiliki mereka. Apalagi terlihat sebagian jago membacakan syair dan bermain kecapi. Sudah pasti berbakat atau telaten.
Aku dulunya tidak tahu tempat yang bernama harem ini seperti apa sesungguhnya. Ketika melihat para wanita cantik dan berbakat itu, hanya ada kekaguman.
Aku pun memberanikan diri masuk, sekaligus hendak bertanya soal tapestri tadi. Tapi, niatku berubah lantaran takut jika semua itu adalah rahasia kerajaan sehingga aku terpaksa menahan rasa penasaran ini.
Ketika aku memasuki harem, tatapan para wanita tadi tertuju padaku. Beragam ekspresi, mulai dari kaget hingga tersenyum menghias wajah mereka.
Aku menatap para wanita itu. "Permisi, aku bosan dan ingin mengulur waktu selagi menunggu para pelindungku datang."
Aku tidak bisa berkata-kata melainkan kejujuran tadi.
Para wanita tertawa. Sebagian lalu mengambil wadah penuh buah, sebagian lagi mulai bermain kecapi dan membacakan syair.
Dua dari mereka menuntunku duduk di tengah mereka.
"Tuan Putri Kaira," katanya. "Kami senang bisa melayani."
Aku mengiakan, sepertinya itu nama samaranku di Aibarab karena aku yakin identitasku kembali berubah di setiap tempat yang aku kunjungi.
Seorang wanita menyerahkan segelas teh kepadaku. "Minumlah, ini teh hangat."
Aku pun menegaknya, meski lebih manis dari biasanya, aku tetap menghabiskan.
Lalu pandanganku tertuju pada yang membacakan syair. Singkatnya, tentang negeri Aibarab beserta pemimpinnya saat ini. Aku dengarkan meski tidak sepenuhnya paham ketika mendengar bait demi bait kalimat indah itu.
"Tuan Putri bosan?" tanya seorang wanita yang duduk di sisi kananku. Dia begitu cantik, bahkan bisa jadi setara dengan anak-anak Wynter.
Aku lagi-lagi mengiakan.
"Mau kami ceritakan dongeng?" tawarnya.
Tentu saja aku setuju.
Maka, mereka pun menceritakan dongeng dari berbagai negeri hingga aku terlelap.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵