✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
"Itukah?"
"Itu mereka!"
Kami disambut dengan kerumunan begitu tiba di Desa Embi. Mereka berdiri depan rumah masing-masing seolah menunggu sedari tadi. Aku menunduk, takut akan tatapan tajam itu.
"Itu Oruko-san!" Ada yang berseru.
Takeshi terus melangkah dalam wujud naga.
"Mana rubah itu?"
Hayya yang menyahut. "Sudah mati."
"Kamu tidak melindunginya, he?" sahut seseorang. "Kamu ini penyihir! Gunakan sihirmu!"
Hayya diam saja. Aku turut merasa tidak enak. Tidak mampu membalas ucapan mereka. Bibir Hayya gemetar sambil menggenggam erat rambut Takeshi.
"Sudah," ujar Takeshi. "Kyoki berhasil kubunuh, kita aman untuk sementara."
"Kamu terluka parah," sanggah seseorang. "Apa anak itu belum juga tahu masa lalunya? Dia bahkan nyaris membunuhmu untuk kedua kalinya–"
"Hentikan!" Takeshi meninggikan suara. "Bagaimana mungkin putriku begitu? Apa yang kautahu?"
Mereka terdiam. Ia jelas tidak terima akan kabar miring tentang Hayya.
"Kalian tidurlah," ujar Takeshi padaku dan Hayya.
Takeshi mengubah wujudnya kembali menjadi manusia. Namun, justru lukanya melebar di bagian leher. Terlihat cairan hijau disertai nanah menjijikkan. Ia terhuyung.
Seseorang menyambutnya lalu membopongnya ke kuil tanpa memedulikan tatapan ngeri dariku maupun Hayya.
"Taring Kyoki beracun?" heran Hayya. "Aku kira dia Pengalih-Rupa biasa."
Aku tidak mampu berkata lagi. Dengan gontai masuk bersamanya.
***
Aku tidak sanggup tidur semalaman akibat rasa bersalah menghantui. Malam terasa sangat panjang bagiku, apalagi dengan mata yang menolak untuk dipejam.
Dari luar, aku mendengar percakapan antara rakyat Desa Embi dengan Oruko Bersaudari.
"Aku tahu masa lalumu, Hayya!" Terdengar suara pria membentak. "Berhenti berbohong! Aku tahu kamu berniat membunuh Oruko-san!"
"Aku tidak mau melukai Otosan!" balas Hayya, suaranya terdengar gemetar. "Apa yang kulakukan dulu? Aku tidak mencuri buahmu atau apapun–"
"Berhenti berpura-pura lupa!" bentaknya.
"Oh, apa katamu?" Kudengar Azya menyahut, meski suaranya terdengar begitu pelan. "Kamu tahu apa? Kamu bakal menghajar kami? Berharap semua selesai? Apa kata Otosan kalau melihat kami terluka karenamu?"
Hening sesaat.
"Dasar manja!"
Terdengar entakkan kaki, semakin lama semakin jauh.
Lalu, kudengar isak tangis seseorang. Aku lantas keluar dan mencoba menenangkan kedua gadis itu.
"Apa salahku dulu?" tanya Hayya.
Aku diam saja, begitu pula dengan Azya.
"Seingatku, Otosan memungutku sejak bayi," ujar Hayya. "Aku tidak pernah meminta diadopsi!"
Kami hanya diam, membiarkannya meluapkan perasaan.
Azya melepas pelukan. "Ayo, kita jenguk Otosan."
***
Takeshi berbaring di kasur dibalut perban di lehernya. Ia membuka mata begitu kami masuk dan duduk di sampingnya.
"Kalian belum tidur juga?"
Suaranya terdengar lirih sampai aku sendiri harus menunduk untuk mendengar suaranya. Aku tidak mampu menjawab pertanyaan akibat rasa bersalah yang masih saja membayangiku.
"Tidak apa-apa." Takeshi tersenyum lemah. "Aku bisa menyembuhkan diri dengan cepat."
Di balik balutan perban lehernya, dapat kulihat noda merah dan hitam terpadu. Entah kenapa, aku merinding membayangkan luka di baliknya.
"Lehermu ..." Hanya itu yang bisa kuucapkan.
Isak tangis Oruko Bersaudari sayup-sayup terdengar.
"Hayya, Azya," panggil Takeshi. "Ini hanya luka kecil. Aku akan sembuh besok."
Entah kenapa, kalimatnya yang seharusnya menenangkan justru membuatku kian cemas.
"Otosan," ratap Hayya. "Apa aku salah?"
Takeshi membalas, "Jangan dengarkan mereka."
"Tapi, kenapa mereka mengejekmu karena memungut anak sepertiku?" sahut Hayya.
"Hayya jangan takut. Mereka tidak akan menyakiti kalian." Takeshi tersenyum, meski cahaya pada matanya tampak memudar seakan mulai kehilangan nyawa di dalamnya. "Aku sudah melarangnya."
"Aku tidak peduli jika mereka marah atau tidak," sahut Hayya. "Aku tidak mau kamu terluka lagi!"
"Hayya," ujar Takeshi. "Aku sudah menjelajah tempat berbahaya seumur hidupku. Mana mungkin aku bisa mati karena ini?"
Aku masih saja ragu. Bagaimana kalau dia tidak pernah diracuni? Aku takut jika dalam perjalanan hidupku, secara tidak langsung bisa membunuh penolongku. Lagi-lagi, mata berkaca membayangkan.
Takeshi menghela napas. Ia menyeka air mata Hayya dengan gemetar. Aku bisa melihat tangannya yang pucat dan terlihat dingin bagai mayat. Matanya mulai kehilangan cahaya kehidupan, namun ia masih bernapas dan tersenyum.
"Kalungmu." Takeshi berkata saat melihat kalungku yang bersinar lagi.
"Ya?" balasku bingung. Ia bicara seakan baru pertama kali melihatnya, meski aku yakin ia pasti sudah tahu fungsinya.
Takeshi lalu memejamkan mata. Aku mengira ia tertidur lalu menyelimutinya.
Hayya dan Azya lantas terlelap di sisinya sementara aku memilih tempat yang sedikit lebih jauh.
***
Namun, aku menyadari ada yang salah dengannya. Semalaman, napasnya tersengal-sengal dan keringat dingin membasahi keningnya. Begitu kusentuh, hawa panas seakan membakar kulitku.
"Takeshi?" Aku berbisik. "Takeshi?"
Takeshi tidak menanggapi.
"Otosan!" Azya menjerit.
Tiada sahutan.
Ketakutan mulai menjalar di tubuhku.
Hayya tarik tanganku. Kami bergegas menyiapkan kompres dari dapur lalu berusaha mendinginkan dahinya.
Sepanjang malam, kami hampir tidak tidur. Hanya mengompres sambil memeriksa napasnya yang melemah.
"Otosan?" Azya berbisik, namun ia tidak menanggapi.
Aku ambil salah satu kertas yang kuduga telah menjebakku. Terletak di antara meja kecil Takeshi.
Ingat pesanku, Aoi adalah anak baik dan akan melindungimu!
Kalimat terakhir jelas untuk menjebakku. Mariam tidak pernah menyuruhku jauh-jauh dengannya, bahkan hanya dia satu-satunya yang kupercaya selain Takeshi, yang juga sahabatnya. Mengapa aku begitu ceroboh?
Aku menahan napas.
"Otosan?" Kudengar Azya memanggilnya lagi.
Keadaan Takeshi tidak juga membaik. Wajahnya kian pucat, napasnya melemah, suhu tubuhnya meninggi, bahkan ketika kubuka perbannya, leher menghitam disertai cairan merah menjijikkan. Aku langsung menutup hidung dan mata begitu mencium bau anyir darinya.
"Takeshi?" bisikku. "Takeshi?"
Ketika dipanggil, ia bahkan tidak menanggapi.
"Lian?" Hayya memanggilku.
Aku tidak membalas. Tatapanku masih tertuju ke luka Takeshi.
"Apa ... Aku di matamu?" tanya Hayya.
Aku tentu tidak bisa menjawab. Apa maksud ucapan rakyat Desa Embi pada gadis ini? Aku tahu dia bisa menyihir, tapi bukankah itu wajar di dunia ini?
"Sudah, Hayya-chan," ujar Azya. "Sebaiknya kita obati Otosan dulu."
"Bagaimana?" tanyaku.
"Dekat sini. Bahannya hanya dari tanaman yang ada di kebun. Bentuknya seperti bunga mawar berwarna hijau. Kita cukup petik tiga atau lebih," jelas Azya.
Aku tampak ragu. "Letaknya lumayan jauh, bahkan hampir melewati batas. Mana gelap."
"Sudahlah, demi Otosan," ujar Hayya sambil berdiri.
Keduanya meraih tanganku.
***
Pencariannya cukup sulit bagai menjelajah labirin. Apalagi luas kebun Takeshi yang luar biasa ini. Tanpa berpikir lagi, begitu melihat bunga mawar hijau, aku langsung memetik tanpa memedulikan tanganku yang luka akibat duri yang melindunginya. Oruko Bersaudari pun sama, namun dia lebih berhati-hati.
"Hei! Jangan kasar!" Azya menegur. "Jangan lukai tanaman itu!"
"Ini demi Otosan!" seru Hayya. "Nyawanya ada di tangan kita!"
Azya tampak hendak melawan, tapi kehabisan kata-kata.
***
Sekembalinya di kuil, kami mencoba mencampurinya dengan secangkir cairan biru.
Oruko Bersaudari lalu meramu. Aku tahu mereka tampak ragu saat meramu obatnya.
"Semoga berhasil," ujar Hayya.
Aku mengaminkan.
"Oleskan ke lehernya," ujar Azya.
Aku bergegas ke kamar Takeshi tanpa memikirkan mereka yang berjuang mengejarku.
"Takeshi!"
Takeshi masih berbaring di kasurnya, kondisinya masih sama seperti semalam.
Aku mengoleskan obatnya. Lalu kuusap pelan dengan kain basah sambil mengganti perbannya. Kuabaikan bau anyir yang menyertai. Aku terus mengoles ramuan dan berusaha sebisa mungkin agar tidak menyakitinya.
Setelah menunggu beberapa saat, ia memanggil namaku.
"Putri?"
"Takeshi?" Aku menatapnya.
Ia masih menutup matanya. Wajahnya masih pucat dan tidak ada perubahan selama setengah hari.
Takeshi perlahan mengerjapkan mata. Ia tersenyum. "Kalau aku sembuh, besok kita ke Aibarab."
Aku jelas heran. "Kamu sempat saja memikirkannya."
"Bukannya kamu ingin ke sana?" Suaranya lirih bagai bisikan angin, aku lagi-lagi harus menunduk untuk mendengar. "Mariam. Dia di sana, menunggu."
"Mariam?"
Takeshi mengiakan. "Hayya dan Azya ikut. Kamu jangan jauh dariku."
Suaranya berangsur-angsur pelan hingga ia menutup mata. Aku memeriksa napasnya. Masih ada harapan.
Aku menyelimutinya lalu keluar menunggu hasilnya.
***
Makanan terasa hambar tanpa Takeshi, kami hanya makan apa yang ada di kebun. Aku hanya mampu menghabiskan setengah piring kecil, sementara Oruko Bersaudari masih di kamar Takeshi.
"Bagaimana dengan Takeshi yang tidak makan dua hari ini?" batinku.
Segera kubereskan piringku lalu membawa makanan baru ke kamar Takeshi. Aku membuka pintu.
"Takeshi?"
Takeshi sedang duduk di kasurnya. Lehernya tidak lagi hitam, hanya ada goresan pucat mengelilinginya.
Ia tengah mendekap kedua putrinya. Azya tersenyum, sementara Hayya tampak terisak. Sang ayah terus membelai rambut kedua putrinya.
"Tidak apa." Kata-kata itu terus ia ulangi. Tatapannya tertuju padaku. "Lian."
Aku lantas mendekat lalu memeluknya. Ia membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Semua penderitaan seakan sirna saat kami semua berpelukan. Aku merasakan hangatnya pelukan Takeshi bagai buaian seorang ibu.
"Sudah kubilang," ujar Takeshi. "Aku tidak mungkin mati hanya karena racun siluman."
Aku tersenyum. "Aku tidak mau penolongku mati karenaku."
Takeshi membalas, "Lain kali dengarkan nasihat kami."
Kantuk mulai menguasaiku, aku menguap. "Selamat malam."
Takeshi yang baru saja bangun tertawa. "Ya, selamat malam, Lian. Aku mungkin tidak tidur akibat kelamaan istirahat."
"Tapi, kamu baru saja sembuh," ujarku. "Diam saja di kamar!"
"Tenanglah, aku hanya akan berkeliling kuil." Ia menatap jendela yang terbuka, terpantul cahaya rembulan. "Sesekali berpatroli. Mungkin Mariam akan menunggu besok. Yang pasti, minggu ini."
"Bagaimana kabarnya?" Aku tidak bosannya bertanya. Bagaimana tidak? Dia penolong pertamaku dan mendengarnya masih hidup jelas membuatku lega dan ingin segera memeluknya.
"Dia sudah sembuh," ujar Takeshi. "Tapi, dia tidak bisa mengirim pesan. Mungkin karena kehabisan kertas. Ah, akan kukirimkan beberapa kertas dan alat tulis."
Aku tersenyum. "Terima kasih."
Takeshi tersenyum. "Tidurlah. Berkat kalian, aku bisa sembuh lebih cepat."
Aku keluar dengan hati berbunga. Melihat Takeshi sembuh dan pelukannya membuat malamku terasa nyaman seperti sedia kala.
Di tengah malam, aku dikejutkan dengan teriakan seseorang yang tidak lain berasal dari Takeshi.
"Kebunku!"
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵