Chereads / Guardians of Shan / Chapter 24 - Naga dari Kikiro – 10

Chapter 24 - Naga dari Kikiro – 10

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Hening seketika.

Mata kuning Safir terus menatapku, membuatku bimbang. Aku salah tanya? Dia tahu siapa aku? Kalaupun tahu, apa ruginya bagiku? Lagipula, urusannya dengan Mariam sudah selesai sejak dia dibebaskan, bukan?

Idris menepuk bahuku. "Ah, Kaira, kau harus bersabar menunggunya pulang."

Aku nyaris lupa untuk menyamar. Namun, tampaknya dia tidak keberatan jika aku bertanya. Bukankah Mariam atau Hiwaga sosok terkenal di Aibarab? Sama halnya dengan Idris?

"Sosok yang dimaksudnya bernama Hiwaga," ujar Idris. "Dia seorang Pemburu Sihir seperti Oruko Takeshi dari Kikiro."

"Pemburu Sihir?" Safir memastikan. "Terakhir kulihat dia kabur bersama gadis berambut hijau dari sini. Nisma binti Wynter mengejar mereka dengan pasukan mayat hidup."

"Lalu?" Idris kembali bertanya. "Kamu menolongnya?"

Safir mengangkat sebelah alis. "Kaukira aku ini apa? Dia nyaris membunuhku dulu, kami tidak memiliki hubungan spesial. Mungkin gadis berambut hijau itu yang tahu."

Kyara? Ya, dia ada di sini. Berdiri tepat di depanmu. Dan kamu, membalas kebaikan Mariam dengan begitu? Kaupikir kebaikannya seremeh itu? Dia bisa membunuhmu kalau dia mau, Safir.

"Hanya itu yang bisa kusampaikan," ujar Safir. "Nah, apa lagi? Jasad Sada Kyoki belum apa-apanya dibandingkan rahasia paling kelam sekalipun bagi kami. Satu organnya bisa dijual dengan harga satu pulau sekalipun. Barangkali harganya setara dengan Pulau Ziyi milik leluhur Lanchester dari Ezilis!"

Jasad Kyoki? Bayangan tentang malam itu terbesit di ingatanku. Kutatap Idris yang kini menyamar sebagai ayahku. Luka di lehernya masih membekas jika diperhatikan lebih mendalam.

Untuk apa mereka memerlukan jasad makhluk itu? Tak heran mengapa banyak yang ingin segera membunuhnya. Dengan harga setinggi itu? Barangkali bisa untuk memajukan Desa Embi bahkan satu negeri.

"Aku menginginkan tur seluruh Aibarab!" Hayya–yang kini menjadi Haydee–mengangkat tangan. "Tentu saja dengan pertunjukan seru lainnya seperti sirkus dan opera."

Sosok yang duduk membelakangi Safir termenung mendengarnya. Mereka saling tatap dengan ragu. Barangkali itu anak buahnya atau teman yang ikut-ikutan menjadi pencuri agar disegani.

"Sudahlah!" Safir mengibas tangan. "Ini urusan sepele. Ada lagi?"

Idris menatap Azya. "Apa keinginanmu, Asha?"

Gadis yang kini bernama Asha hanya menatapnya dengan gemetar. "Mu- mungkin ... taman bermain di rumah?"

Idris tersenyum. "Sementara aku meminta kapal ke Pulau Lyss."

Safir mengangguk. "Tenang, semua urusan selesai. Lagipula toh, mencari uang itu perkara sepele bagi kami."

Sosok di belakangnya mengangguk mantap. Mereka tampak setuju meski dari wajahnya, aku tahu mereka tidak menyimak sama sekali.

"Kalian menginap di mana?" tanya Safir. "Tetap di rumah nomor 27 itu, 'kan?"

"Rumah kami tidak jauh dari sini," ujar Idris. "Kami tidak pindah selama lima tahun."

***

Rumah baru kami jauh berbeda dibandingkan kuil. Jika di kuil memancarkan cahaya ramah dan penuh warna, tempat ini justru diselubungi kabut hitam disertai warna cat rumah yang gelap bagai malam tanpa rembulan. Meski terkesan tua dan suram, Idris tampak biasa saja saat masuk seakan tempat itulah satu-satunya yang sesuai dengan keadaan. Entah kenapa rumah ini menginggatkanku dengan kediaman Wynter.

Perubahan sikapnya jelas membuatku semakin bimbang. Apa sikap Mariam selama ini hanya 'topeng' untuk menyembunyikan sosok aslinya? Siapa dirimu sebenarnya, Mariam dan Idris?

Idris membukakan pintu yang ukurannya lebih kecil dibandingkan di kuil. Dalamnya, mayoritas berupa benda ukiran kayu yang kokoh disertai kaca dan emas dipajang di lemari. Tampaknya Takeshi atau Idris lebih kaya dari yang kukira. Barangkali lebih kaya dari abangnya, Wynter.

Kamarku berada di lantai kedua, bersebelahan dengan kamar Idris. Ruangan ini mengingatkanku akan suasana istana milik Ariya dulu. Terdapat kasur besar dilengkapi kelambu merah muda selaras dengan sekitarnya. Meja belajarnya jauh lebih luas dan kokoh dibandingkan milikku dulu. Ada lemari yang terlalu tinggi dan luas bagi seluruh pakaianku. Gorden merah muda juga menghiasi jendela sebelah lemari, hingga terlihat pemandangan kota Aibarab yang masih padat. Semua serba merah muda, meski aku kurang suka warna itu. Setidaknya ada kasur empuk.

"Kaira." Suara Idris beriringan dengan ketukan pintu.

"Silakan," ucapku canggung. Dahulu, Ibu selalu menerobos masuk ke kamarku. Rasanya beda ketika seseorang meminta izin masuk ke kamarmu dulu.

Dia masuk lalu duduk sisi di kasur. "Dia akan menjemputmu besok. Kamu masih boleh ikut kami ke Pulau Lyss untuk berwisata."

"Aku ikut," ujarku. "Semoga Mariam tidak keberatan."

Idris menggiakan. "Aku akan memesan beberapa tambahan kalau begitu."

"Jangan repot-repot!" balasku tergesa.

Dia tersenyum. "Tenanglah, uangku terlalu banyak untuk ditabung. Lebih baik kubagikan."

"Lalu, kamu bakal membeli bunga baru?" godaku.

Idris jelas tertarik. "Tentu saja. Mumpung waktu kita di sini hanya beberapa hari. Itu cukup untuk membeli bunga baru untuk menghias kebunku."

***

Idris menikmati minuman hangatnya sambil memandang jendela. Malam ini hujan turun begitu deras, kejadian yang sedikit langka di Aibarab.

Hanya Haydee dan Asha yang keluar untuk mandi hujan sementara aku memilih menemani 'ayah'-ku di ruang tamu yang luas dan sunyi. Ikut meminum teh hangat sambil menghirup udara segar melalui sela-sela jendela.

"Kamu tidak mandi?" tanya Idris.

Aku menggeleng. Entah kenapa, ucapan Countess Wynter kembali tergiang.

"Kalian tidak bisa menyakiti Idris, ia nadim Raja! Apa jadinya jika ia hendak beristirahat dan melihat temannya lenyap dari peradaban?"

Aku putuskan untuk bertanya. "Ngomong-ngomong, siapa kamu sebenarnya? Apa benar kamu nadim Raja Khidir? Apa itu nadim?"

Idris menepuk kursi di sampingnya. "Duduklah, putriku."

Aku lalu duduk di sisinya.

Dia kemudian menjelaskan. "Dalam sistem kerajaan, tidak mungkin hanya ada Raja, Ratu, Putri dan Pangeran. Mereka butuh seseorang yang cukup cerdik dan kuat untuk membantu menyelesaikan masalah negara. Namun, ada kalanya mereka butuh hiburan pelepas penat.

"Tugasku tidak lain hanya untuk menemani dan membantu Raja menyelesaikan masalah negara. Sebagian yang membantu biasanya berasal dari keluarga para Raja, sebagian mendapat penghargaan dari kerajaan, ada pula yang membeli gelar. Tapi, itu untuk para bangsawan.

"Bangsawan di negeri ini terdiri dari

banyak kasta. Nadim adalah gelar diberikan kepada sosok yang sudah melaksanakan tugas negara. Aku menjadi nadim Raja Khidir setelah menjadi pendampingnya di kerajaan Aibarab, yang awalnya jadi pengawal kini tugasku hanya sekadar jadi teman bicaranya. Dia akan kita temui beberapa hari lagi. Khidir pasti menyukaimu."

Aku tercengang mendengarnya. Idris alias Takeshi selama ini juga seorang pelindung di Aibarab. Dan, dia berteman dengan seorang raja? Fakta kalau dia memanggil sang raja dengan nama memperkuat teoriku.

"Meski demikian, aku tidak mendapat sebidang tanah," lanjut Idris. "Aku cukup menjadi kesatria andalan Kerajaan Aibarab dan sekali lagi, menjadi satu-satunya teman obrolan sang Raja."

Aku teringat. "Kamu sudah bertemu dengan salah satu dari mereka?"

"Mereka?"

"Keluarga Wynter."

Idris menunduk. "Itu ..."

Seseorang mengetuk pintu. Tanpa ditanya atau disuruh, mereka langsung bersuara. "Raja memanggilmu!"

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵