Chereads / Guardians of Shan / Chapter 28 - Penyihir Hijau – 2

Chapter 28 - Penyihir Hijau – 2

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

«Zahra ~ Zabuz »

Beberapa hari berlalu dengan sama, seorang abdi menceritakan tentang kedatangan pria itu lagi. Sosok yang senantiasa datang ke negeriku tanpa diundang maupun diizinkan. Alasannya selalu sama, menjemput rakyatnya yang tersesat di negeri Jin ini. Namun, ada pula karena alasan lain, yang menurut kami tidak masuk akal.

"Bagaimana bisa?" heran Umi. "Bukannya seluruh gerbang tertutup?"

Abdi itu terdiam sejenak, suaranya memelan sekaligus gemetar. "Ia masuk lewat ... Celah di jendela rakyat."

"Apa?!" Umi lantas menegakkan posisi duduk. "Di mana dia sekarang?"

"Kami mengejarnya," jawab abdi itu. "Ia ke sini untuk jemput rakyat Aibarab."

Sebenarnya, kalau bukan rakyat Aibarab yang tersesat di sini, beberapa jin iseng kadang "mengajak" masuk lalu mengurung mereka. Biasanya untuk bersenang-senang atau tumbal, korban dari serangan jarak jauh–permainan klasik di Zabuz, berburu mangsa tanpa tujuan selain mengurangi stress.

Masalah ini belum selesai semenjak Raja Aibarab, Rajab el-Khalil berkuasa hingga digantikan putranya, Safar al-Khidir, yang naik takhta di usia delapan belas tahun.

Meski Khidir bisa dibilang raja Aibarab pertama yang tidak ingin memerangi kerajaanku, Zabuz, rakyat kami sering menangkap rakyatnya. Anehnya, ia tidak menyerukan perang seperti sang ayah, justru rela bolak-balik ke sini demi menjemput mereka satu per satu.

Ia juga raja Aibarab pertama yang serta merta menyelinap ke sini lalu keluar menjemput rakyatnya tanpa diketahui. Begitu Ratu Zabuz, Yamlica–ibuku–tahu, semua sudah terlambat. Namun, menurutku tidak ada gunanya mengurung rakyat Aibarab di sini. Mereka bisa mati dengan tragis akibat keisengan rakyat Zabuz.

Umi mengertakkan gigi. "Cepat temukan dia atau–"

"Tidak perlu."

Tatapan kami tertuju pada pria yang berdiri dekat pilar penyangga. Ia memiliki rambut hijau tua sama dengan matanya, serta kulit kuning langsat seperti mayoritas penduduk Timur. Ya, dia sosok yang dibahas dari tadi.

"Aku sudah di sini," lanjutnya dengan wajah datar, meski aku tahu di lubuk hati ia tengah tersenyum penuh kemenangan.

Dialah Safar al-Khidir. Pria aneh yang memerintah negeri Aibarab selama lebih dari satu dekade. Umi bilang ia penyihir yang dapat mengendalikan tumbuhan, kekuatan langka di Negeri Padang Pasir ini. Barangkali, salah satu alasan Aibarab menjadi buah bibir semenjak ia naik takhta.

Bagaimanapun, itu tidak mengubah sifatnya sejak ia masih remaja, kendati sudah hampir kepala tiga, begitulah kata Umi. Apa rahasia untuk mempertahankan ketampanannya?

Dengan anggun ia mendekat, tersenyum tipis namun tersirat kelicikan. "Kamu tidak perlu marah, kedatanganku demi kebaikan juga."

Umi menyahut, "Khidir, sudah lebih dari satu dekade berlalu dan kamu tidak bertindak sama sekali."

"Kamu ratunya, kamu yang atur rakyatmu. Aku menyuruh rakyatku untuk tidak keluar saat mentari terbenam, namun para jin masih saja menangkap mereka saat keluar di malam hari. Padahal sebagian mencari nafkah pada waktu itu."

"Kami tidak akan menganggu rakyatmu kalau mereka berhenti memanggil."

Jawaban Umi tidak salah, namun tidak juga benar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, rakyat Zabuz terdiri dari para jin dan arwah penunggu. Makhluk selain mereka biasanya mengikat kontrak, entah untuk kekayaan, iri, maupun nafsu. Semuanya tidak pernah baik. Tapi, ada beberapa jin yang sengaja menculik makhluk hidup untuk bersenang-senang yang mana jelas tidak disukai sang Raja.

Aku adalah jin separuh arwah, yang diikat Yamlica sebagai putrinya. Dilahirkan sebagai tanda menyatunya kerajaan gaib antara jin dan arwah. Aku hanya ciptaan. Tidak tahu siapa ayah kandungku, selain Ratu Arwah dan ibuku saat ini. Secara tidak langsung, aku adalah putri Yamlica, tapi di sisi lain bukan.

Seperti penerus takhta lain, aku tahu kalau kelahiranku semata-mata untuk meneruskan kekuasaan Umi. Hanya alat atau boneka. Rencananya, jika Zabuz dan Aibarab berdamai, itu berarti aku akan diikat dengan Raja Khidir.

Khidir yang sedari tadi diam, mulai bicara. "Kalau begitu, kamu sudah memutuskan? Sudah kaupikirkan soal obrolan kita dulu?"

Kadangkala, aku mengerti bahwa ia tidak banyak berlatih jadi penerus takhta. Cara bicaranya kadang tidak mencerminkan status. Namun, itulah yang membuatnya tampak bagai singa yang tertidur.

Yamlica tampak berpikir. Diam sejenak seakan lupa.

Khidir tersenyum. "Kamu bilang hendak memberiku 'hadiah' sebagai tanda berdamainya Aibarab dan Zabuz. Dengan begitu, rakyatmu tidak akan menganggu rakyatku, bukan?"

Ah, soal itu ternyata.

Umi–Yamlica–terdiam sejenak. Mata hitamnya tertuju ke arahku yang sedari tadi menyimak.

"Aku memberikan Zahra kepadamu."

Khidir hanya diam, namun jelas wajahnya menunjukkan keberatan. Bagiku, rasanya aneh anak berusia sepuluh tahun harus menikahi seorang yang terpaut jauh umurnya.

"Bukannya jelas? Aku memberinya nama yang kauberikan waktu dia lahir," sahut Umi.

"Benarkah?" Khidir menatapku dan Umi bergantian.

"Ya, kamu menyarankan nama yang mengandung unsur tumbuhan atau kehijauan, karena negeri kita memang jarang ada tumbuhan juga air," jelas Umi. "Maka dari itu, kuberi nama 'Zahra' yang berarti 'bunga,' 'Sajratun' yaitu nama pohon di negerimu, lalu 'Neesa' yang artinya 'gadis.' Kamu bahkan tidak tahu maksudnya?"

Khidir diam, tanda masih bingung.

Yamlica berdiri, ditunjuknya aku. "Kamu memilih nama untuknya dan aku setuju, itu berarti dia berhak menjadi milikmu. Sekarang umurnya sepuluh tahun, tertanda sudah siap menikah."

"Maaf." Khidir menatapku ragu. "Dia masih terlalu muda."

"Kamu ketinggalan berita apa?" Kini, Umi mulai kehilangan kesabaran. "Dia sudah matang."

Jadi ini alasanmu membesarkan lalu mengenalkan raja ini kepadaku sepanjang hidup, Umi? Aku sudah tahu kalau tujuanku dilahirkan hanya sebagai alat, namun tidak dengan bentuk pernikahan secepat ini.

"Zahra dapat menghalau rakyat Zabuz datang ke negerimu, karena mereka sudah kuberi perintah untuk tidak memasuki daerah yang didiami oleh sang Putri," jelas Umi. "Kamu ada alasan lain untuk menolak?"

Khidir termenung sejenak. Ia tidak bilang apa-apa selama beberapa saat. Namun, aku tahu dari wajah kalau ia ragu.

"Oh, karena dia gaib dan kamu tidak bisa menyentuhnya?" Umi bertanya.

Ia hendak membuka mulut, tapi dipotong Yamlica.

"Aku akan memberikan tubuh baru untuknya, supaya kamu bisa menyentuhnya," lanjutnya. "Tapi, tugasnya selain sebagai milikmu, juga memastikan agar kamu tidak ingkar."

Berarti, aku juga akan mengasuh pria ini?

"Bagaimana, Khidir?"

Raja Aibarab itu memutuskan.

***

–Beberapa jam berlalu.

Aku dibawa bersama Umi dan seorang wanita ke sebuah tempat yang gelap lagi suram. Terdapat banyak batu bertuliskan nama di sana serta hari lahir dan mati jenazah.

Umi langsung bertanya. "Kamu lihat arwah-arwah di sini?"

Kulihat sekitar, ada bayang-bayang orang melintas. Sebagian berwajah gembira dan sebaliknya. Tiada yang memerhatikan kami. Barangkali, mengira kalau kedatangan kami hanya untuk mendoakan yang telah tiada.

"Ya."

"Pilihlah tubuh yang serasamu cocok, usahakan perempuan sebaya," kata wanita itu. "Juga yang cantik."

Kutatap lagi arwah yang gentayangan. Aku mengerti, dahulu diberitahu kalau aku harus izin menggunakan tubuhnya lagi. Tentu saja, minimal yang telah pergi selama lima puluh tahun yang lalu, agar tidak ada yang curiga.

"Perempuan?" heranku. Ah ya, meski separuh jin, aku masih memiliki jenis kelamin, berbeda dengan arwah. Juga ... Karena aku disandingkan dengan seorang pria. Setidaknya, begitu yang kutahu.

"Sudah?" tanya wanita itu.

Aku mengiakan.

Lingkaran keunguan muncul di balik kakinya. Dilengkapi ukiran rumit yang tidak bisa dibaca. Para arwah mendadak lenyap. Hanya desiran angin menemani. Dapat kurasakan sesuatu membelaiku, meski tanpa raga.

Aku jelas gugup. Tidak tahu menahu.

Wanita itu berseru. "Sudah punya gambarannya? Ingat, perempuan cantik, ya–"

Suaranya terpotong. Terganti dengan jeritan melengking di telinga. Kepalaku pusing disertai telinga berdegung. Dunia bagai berputar, pandangan memburam.

Tubuh terasa ditarik. Ke sebuah gambar gadis.

Samar-samar, namun dapat kudengar jeritannya.

Setelahnya, semua terasa ... Aneh.

Aku mulai jatuh, ditarik paksa. Seakan dilempar dari menara tinggi.

Jatuh.

Terus jatuh.

Ke arah gadis itu.

Tangisannya menggema. Dia tutup kedua wajah dengan telapak tangan.

Saat itulah, pandanganku memburam.

Lalu, cahaya datang padaku.

***

Aku dilahirkan dengan raga dan rupa baru. Umi menyuruhku masuk ke sebuah kereta menuju Aibarab.

"Barang-barangmu akan tiba setelah malam pernikahan." Dia tersenyum. "Puaskan suamimu!"

Saat itulah kali terakhir aku melihatnya, kami sekarang hanya bicara lewat surat menyurat, perantara demi perantara.

Aku cium tangannya sebelum pergi.

***

Anehnya, saat dibawa ke sini, Khidir menyambutku tanpa pelaminan atau pesta pernikahan. Untungnya, Umi tidak turut serta sehingga tidak ada yang protes.

Ketika memasuki istana Aibarab, Khidir berdiri di singgasananya dan menyambutku dengan sebuah mahkota kecil dihiasi ametis.

"Selamat datang di Aibarab, putriku."

Kini, aku paham maksudnya. Umi pikir satu-satunya jalan adalah menikahkanku pada rajanya. Tapi, menjadi anaknya pun tidak beda jauh.

Namaku sekarang adalah Zahra Sajratun Neesa binti Safar al-Khidir, Putri Aibarab.

– Itu semua terjadi tujuh dekade lalu.

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵