✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Sesuatu menangkap tubuhku.
Aku membuka mata. Rupanya aku digendong seorang wanita berambut biru. Dia lalu menurunkanku.
"Nenek!" seru Aoi. "Maaf, Lian."
Aku menatap wanita yang ternyata nenek dari Aoi. Wajahnya tidak menunjukkan kalau dirinya sudah tua, justru sebaliknya.
"Te ... Terima kasih." Aku menunduk. "Aku terlalu bersemangat."
Wanita itu mengelus rambutku. "Lain kali, hati-hati."
Hayya terpaku menatapku. Kulihat dia baru saja turun tanpa hambatan.
Aku yang heran memanggil namanya. "Hayya?"
Gadis itu malah lenyap seketika itu juga. Dia bahkan tidak menjerit atau mengeluarkan suara selain langkah kakinya yang sayup-sayup menyatu dengan udara.
Aku berbalik dan hanya ada kami bertiga di hutan ini. "Ada apa?"
Wanita itu menatap sekeliling. "Mungkin Pengalih-Rupa," ujarnya. "Kalian bermain terlalu jauh, sebaiknya menginap di rumah kami."
Aku menatap sekeliling. Jelas sudah berada di tempat asing dan jalan menuju kebun Takeshi terlampau jauh. Mau tidak mau, kuterima tawarannya, meski aku bisa menyusul Hayya.
Aoi hendak pegang tanganku, tapi berhenti ketika melihat sesuatu di belakang.
Begitu pula dengan neneknya. Wajah keduanya tampak pucat dan gemetar.
Kalungku bersinar.
Saat itulah kulihat ia sedang bergandengan dengan Hayya. Tatapannya tertuju pada wanita itu.
"Di sini kalian rupanya?"
Hanya dengan sepatah kata itu sudah membuat lidahku kelu. Kulirik Hayya, mencari keberanian, tapi gadis itu tetap diam menunduk.
"Sada Kyoki." Takeshi menatapnya. "Sudah berapa lama?"
Wanita itu melirikku dan Hayya bergantian. Namun, dia diam saja.
Hening lama. Tiada yang bersuara selama beberapa saat. Mereka seakan menyadari sesuatu, tapi di sisi lain tidak mau mengungkapkannya.
Kulirik Takeshi–
Syaaat! Syat!
Takeshi menarikku sebelum sesuatu menancap di pohon, nyaris saja menusuk.
Sebuah pisau kecil menancap di dahi Aoi. Tubuhnya melebur jadi abu.
"Ilusi," desis Takeshi.
Ilusi? Apa–
"Lari!" Ia mendorongku.
Hayya menggeleng. "Otosan!"
Aku tarik tangan Hayya. Gadis itu jelas hendak membantu, namun aku telanjur panik. Kakiku terpacu dan kami melesat bagai kuda. Tanpa menoleh dan memedulikan sekitar, terus berlari.
"Hei!" protes Hayya.
"Lari!" seruku tanpa berpikir lagi.
"Otosan dalam bahaya!" balasnya. "Kamu biarkan saja?!"
Aku lantas berhenti dan melepas genggaman.
"Kamu bisa apa?" balasku.
"Aku ... Menghilang," jawabnya.
"Kamu bisa menghilangkan orang?" tanyaku.
Dia menyahut, terdengar ragu. "Harusnya."
Kutatap sekeliling. Kami tidak berlari sejauh yang dikira. Seisi hutan begitu gelap tepat saat kami berpijak.
"Di ... Mana ini?" gumamku.
Hayya lantas mencengkeram tanganku. "Lian, kita cari Otosan–"
"Hihihi..."
Tawa itu terdengar jauh. Bulu kudukku merinding.
Aku genggam erat tangan Hayya.
"Kyara..."
Seseorang memanggil. Kulirik Hayya, dia terpaku menatap lurus ke depan dengan mulut terganggu.
"Kyara?" Hayya menyadari tatapanku. "Kamu dengar itu?"
Aku diam saja.
"Hayya..."
Gadis itu lantas berjalan mundur beberapa langkah. Dia menatap sekeliling waspada.
Aku berusaha menggubris. Membalas dan berjalan ke sumber suara di kegelapan jelas suatu kebodohan yang nyata.
"Kyara ... Hayya ..."
Aku tutup mata dan telinga, berharap agar tidak dengar lagi.
"Kyara, Putri ..."
"Siapa?" Aku refleks menyahut.
"Eh?" Hayya menatapku.
Aku membuka mata. Tidak mungkin orang Kikiro tahu nama asliku kecuali Takeshi dan Hayya. Suaranya jelas asing.
"Kyara!"
Aku berbisik. "Siapa?"
"Kyara!"
Bayangan tentang malam Ibu terbunuh mulai menghantui. Monster yang menelannya hidup-hidup, tatapan mengiba saat dia dikunyah oleh taring terkutuk.
"Kyara! Tolong Ibu!"
Tidak! Ibu sudah tiada!
"Kyara!"
Aku menutup telinga, berupaya agar tidak mendengarnya. Bisikan itu terus menggema. Ada apa denganku? Suara apa itu?
"Kyoki Sada..." Hayya menggantung kalimatnya.
Aku menatapnya. "Apa? Apa?"
"Dia orang yang dimaksud, dia tidak mau melewatkan kesempatan untuk..."–Hayya menelan ludah–"... memakan jantung."
Aku ...
"Kyara!"
Terdengar suara wanita yang kukenal beberapa waktu lalu..
"Kyara! Di mana kau?"
Aku tahu ini ilusi!
"Lian!" seru Hayya seketika menyadarkanku.
Brak!
"Akh!"
Lengan rubah putih mendorongku hingga menggelinding di tanah. Sosoknya yang besar membuat bayangan menyelubungi tubuh.
"Hayya–"
Kalimatku terpotong saat kaki rubah itu menginjakku. Napas sesak dan tulang terasa remuk.
"Kamu kira aku tidak tahu?" tanya Kyoki dalam wujud rubahnya. "Kau Kyara, anak Mariam!"
Aku berupaya bernapas saat tubuhku ditindih kakinya.
"Jantungmu akan jadi menu utama malam ini!" Kyoki membuka rahangnya dan bersiap memangsaku.
"Hei! Nenek!" Seruan Hayya mengagetkan.
Dia lagi-lagi menghilang. Namun, kerikil menghujani Kyoki.
Kalungku memancarkan cahaya biru terang.
Terdengar raungan dari arah berlawanan, membuat Kyoki melepaskanku.
"Otosan!" seru Hayya.
Naga bersisik ungu berdiri di depan kami. Angin malam membelai rambut putihnya.
Mata merah naga itu menatapku. Tatapannya memancarkan kelembutan seakan tidak marah akibat kecerobohan yang nyaris membunuhku.
Kyoki menggeram, ia menerkam Takeshi.
Kyoki memang besar, tapi Takeshi jauh lebih besar. Walau kegarangan wanita tua itu membuat pertarungan tampak seimbang. Kyoki tanpa hentinya mencakar dan menggigit sisiknya yang tebal secara sia-sia. Sementara Takeshi hanya mendorong Kyoki menjauh.
Takeshi meraung. "Pergi!"
Suaranya yang menggelegar membuat gendang telingaku nyaris pecah. Tidak kusangka suara Takeshi yang lembut bisa sekeras itu. Ia meraung. Sudah cukup baginya menahan kesabaran.
KRAK!
Kyoki menggigit lehernya.
"Otosan!" jerit Hayya.
Aku tahan tubuh Hayya agar gadis itu tidak nekat.
Darah mengalir dari leher Takeshu. Tubuhku gemetar saat cairan merah itu menetes ke tanah.
Takeshi meraung. Ia melepas gigitan Kyoki dan menggigit kepalanya.
BRAK!
Ia lempar Kyoki bagai anak kecil dengan mainannya. Tubuh rubah itu terhempas ke tanah dan dapat kudengar suara tulangnya remuk.
Tidak ada pergerakan. Ia kaku.
"Otosan!" Hanya jeritan Hayya memecah keheningan sejenak.
Aku berpaling. Lehernya masih berdarah. Rupanya, bagian bawah yang tidak bersisik, kelemahan naga yang sebenarnya.
"Takeshi ..." Aku gemetar. "Kamu ..."
"Aku baik-baik saja."
Aku ragu.
"Kalian tidak apa-apa?"
"Kyoki..." Aku menatap tubuh rubah itu.
"Aku tahu," ujar Takeshi. "Dia mati."
Cairan merah dari kepala Kyoki membasahi tanah. Tubuhnya tidak bergerak selama beberapa saat. Aku masih saja ragu.
Kutatap Takeshi lagi.
Anehnya, entah kenapa, aku menangis. Raungan Kyoki dan Takeshi yang terpadu seakan masih berkecamuk. Aku nyaris terbunuh. Masih ingat dengan niat kejinya yang ingin memakan jantungku. Aku juga melanggar batas, jelas membuat repot semua orang dan Takeshi terluka karenanya.
Namun, isak Hayya terdengar lebih jelas. "Otosan!"
Takeshi merangkulnya. "Tidak apa-apa."
Melihat lukanya tidak membuat situasi membaik. Darah terus mengalir dari lehernya dan membasahi rambut putrinya. Meski wajah Takeshi tidak tampak kesakitan, aku seakan merasakan deritanya.
Takeshi menghela napas, "Mariam mencari." Suaranya kian parau. "Dia lolos berkat bantuan dari temanku dan dia mencarimu. Dia masih di Aibarab."
Aku menyadari, Aoi memberikan surat palsu kepadaku. Dialah yang merencanakan semua ini, demi membantu neneknya.
Takeshi meletakkanku di punggungnya bersama Hayya lalu berjalan. Meski jalannya yang terhuyung nyaris membuatku jatuh, aku berusaha untuk tutup mulut. Perasaan bersalah masih menghantui meski Takeshi tampak memaafkan kecerobohanku.
"Lian, Hayya." Suaranya sangat pelan bagai angin yang membelai rambutku. "Maafkan aku."
Aku jelas heran. "Untuk apa?"
"Aku yang bandel," bisik Hayya, menahan isak tangis.
Takeshi menarik napas. "Aku yang lengah, membiarkan kalian dalam bahaya. Beruntung ... Aku segera ke sini."
Kini, aku paham niat Hayya yang kabur begitu melihat Kyoki. Kini, dia terlihat merasa bersalah bahkan menolak untuk bertatap muka.
Ia melanjutkan. "Jangan terlalu lama menatap matanya, kalian bakal dikendalikan. Dia tahu nama asli dan kenangan yang melemahkan."
Aku paham mengapa Kyoki dianggap ancaman bagi Kikiro. Tak heran kenapa dia memanggilku dengan nama asli. Tapi, suara siapa yang dia tiru tadi?
Takeshi berhenti sejenak menatap jasad Kyoki lalu melanjutkan langkah. Aku dapat melihat jejak darah di belakang. Dadaku sesak melihatnya menderita karenaku.
"Lian, Hayya," bisik Takeshi. "Jika sudah sampai ke kuil, jangan keluar lagi dari sana kecuali bersamaku!"
Takeshi memang tidak meninggikan suara. Namun, aku tahu dia sedang menegur dengan keras.
Hanya Hayya yang membalas. "Iya, Otosan." Sementara aku terus memegang rambut Takeshi.
Aku menoleh. Memastikan tiada yang mengintai.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵