Chereads / Guardians of Shan / Chapter 16 - Naga dari Kikiro – 2

Chapter 16 - Naga dari Kikiro – 2

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. 

"Ada berapa hewan di sini?" tanyaku. 

"Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar," balas Hayya. "Mereka dirawat dengan baik." 

"Untuk dimakan?" 

Azya mengiakan. 

"Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh." Hayya menambahkan. 

Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin merawat ayamnya, kerap menamai mereka meski ujungnya kami sembelih lalu dijual ke pasar. 

"Itu dia!" tunjuk Hayya. "Otosan!" 

Takeshi sedang duduk di pondok sambil membaca tumpukan surat. Ia tampak serius membacanya hingga tidak menyadari kedatangan kami. 

Kalungku bercahaya, kali ini kusimpan di balik bajuku agar tidak mencolok. 

"Otosan!" Hayya menepuk bahunya. 

Takeshi terperanjat. "Eh?" 

"Otosan!" Azya mendekat lalu menatap tumpukkan surat tadi. "Apa itu?" 

"Surat dari Khidir." Ia merapikan beberapa lembar. "Aibarab sedikit tenang setelah serangan dari Nisma Wynter." 

Aku teringat dia. "Kabar Mariam?" 

Takeshi kembali membaca selembar surat, ia baca sejenak. "Dia sedang di istana, berlindung." 

Kutarik napas lega. Berarti dia tidak tewas. 

"Ada apa di sana?" tanyaku. 

Ada masalah apa mereka dengan Mariam? Maksudku, benarkah dia pelaku atas ledakkan Shan? 

Apa benar kalau Mariam itu ... Pelakunya? 

Aku tidak bisa bertanya padanya sekarang. Kurasa terlalu cepat atau barangkali kasar. Kubiarkan Takeshi dan Azya mengamati tumbuhan di kebun. 

Kulirik sejenak tumpukan surat itu. Aneh, kalau benar ini dari Aibarab, kenapa menggunakan huruf yang tidak aku pahami? Bahasa apa ini? 

"Hei!" Hayya menepuk bahuku. "Ada apa?" 

"Bahasa apa ini? Kikiro, bukan?" Aku tunjuk tumpukan surat tadi. 

Hayya mengiakan. 

"Bisa kauterjemahkan? Tunggu, kalau bahasa Kikiro berbeda dengan bahasa Shyr, bagaimana bisa ..." 

"Aku bisa bicara bahasamu." Ia tersenyum. "Aku senang menjelajah dan mempelajari bahasa baru untuk mencari teman." 

"Kamu mau mengajariku bahasa Kikiro?" tanyaku bersungguh-sungguh. 

Hayya mengangguk. "Otosan dengan senang hati akan mengajari." 

Kulirik lagi Takeshi. Pria itu sedang memotong beberapa helai daun bersama Azya selagi gadis itu menatap beberapa yang berjatuhan. 

Aku jelas semakin penasaran. 

"Hayya, rambutmu dan Azya–maaf–jauh berbeda dibandingkan Takeshi. Aku bahkan tidak melihat kesamaan fisik antara kalian berdua." Aku tahu keduanya memang dipungut. "Kamu ... Dibesarkan sejak kapan?" 

Hayya diam sejenak. "Um, sejak lahir. Otosan mengurusku selama 13 tahun. Ya, itu umurku saat ini." 

"Kalau Azya?" 

"Selama tiga tahun, dia dirawat saat berusia lima tahun," jawab Hayya. 

"Maaf kalau kepo." 

"Tidak apa, tanyakan saja." Hayya menatap Takeshi. "Kadang aku mengira kalau aku bisa jadi anak rahasianya. Teori, sih, hihi!" 

"Jadi, kamu sejak bayi di sini, berarti Azya itu ..." 

"Diselamatkan," jawab Hayya. "Saat sukunya dibantai Sakhor, Takeshi sempat menyelamatkannya tepat waktu." 

"Sakhor?" Berarti– 

"Ya, pria yang jadi bulan-bulanan Kikiro, bahkan sampai ke luar negeri," kata Hayya. "Aku tidak mengerti kenapa. Semenjak runtuhnya Shan, bermunculan makhluk seperti dia." 

"Kamu tahu apa tentang Shan?" Aku jelas penasaran.

Hayya lalu bertutur.

"Negeri Shan adalah negeri yang berada di atas awan. Penduduknya mayoritas penyihir atau makhluk ajaib. Mereka turun ke bumi hanya untuk bermain atau membantu makhluk yang tinggal di bawah. Kebetulan, Otosan dulu hidup di sana bersama ayah dan kakak angkatnya. 

"Kakak angkatnya berasal dari Kerajaan para warlock, musuh bebuyutan kerajaannya Otosan. Entah kenapa, ayahnya memilih membesarkan sang Putra Mahkota setelah Kerajaan Warlock itu tadi runtuh.

"Tahun demi tahun berlalu, sang kakak tiri akhirnya menikahi seorang penyihir cantik di kerajaan para wizard, Mahreeta. Tapi, aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya. Otosan menolak untuk menjelaskan dan aku maklum kenapa.

"Beberapa hari berlalu dengan canggung, hubungan mereka semakin dingin seperti sedia kala. Tidak tahan dengan suasana ini, ayahnya mengajak Otosan dan kakak tirinya untuk makan malam bersama. Firasat Otosan sudah buruk sejak awal. 

"Mahreeta memilih menutup diri di kamar sementara kakak tirinya datang dengan wajah dingin. Enggan makan dan hanya menatap. Saat ditawar makan malam milik Otosan, baru ia menyantapnya. Ia tahu, ayahnya jelas hendak meracuni sang kakak tiri. Dan ... Yah, begitu." 

"Apa?" Aku tidak mau berpikiran buruk. 

"Kakak tirinya memasukkan racun itu ke mulut sang ayah hingga tewas. Senjata memakan tuan. Ia menoleh pada Otosan dan mengancam jika berani melapor, akan senasib dengan ayah mereka. Tak lama, negeri itu meledak entah kenapa." 

"Apa?" 

"Ya, Otosan tidak ingat apa-apa setelahnya," jawab Hayya. "Ia dirawat oleh dua sahabatnya, Raja Khidir dan Mariam." 

Begitu.

"Semua penyihir yang hidup di sana, kalau tidak tewas, mereka akan hidup di bumi sebagai penyihir tunawisma dan kadang ..."–Hayya tampak enggan mengucapkannya–"Kehilangan kemampuan mereka." 

Aku diam saja. 

"Otosan kehilangan segalanya," ujar Hayya. "Makanya aku berusaha membahagiakannya." 

Aku termenung mendengarnya. Jadi teringat dengan Count Wynter dan Mariam. "Kakak tirinya mengingatkanku akan Count Wynter." 

"Count Wynter?" beo Hayya.

"Kami pernah bekerja untuknya. Mariam pernah menyebutnya 'Pangeran Zayd' yang seketika membuatnya terdiam." 

Hayya menatapku. "Bagaimana rupanya?" 

"Rambut dan matanya hitam, kulit pucat, kaki kirinya ... Tidak berfungsi," jelasku seadanya. "Intinya, serba hitam dan hanya kulit yang putih. Memiliki seorang istri dan tujuh orang anak." 

Hayya terkesiap. "Jangan bilang itu dia! Eh, tunggu." 

"Apa?" Barulah aku ingat, jangan-jangan sifat benci anak-anak Wynter itu berakar dari tragedi tadi. 

"Oh, jadi aku paham sekarang." Hayya menatap Takeshi yang berada jauh di sana bersama Azya. "Niatnya ingin ke Aibarab sebagai sosok baru." 

Kini, aku sedikit paham soal sosok Takeshi. Ia salah satu korban dari runtuhnya Negeri Shan. Namun, kini hidup bersama dua anaknya di Kikiro sebagai sosok baru. Barangkali demi pelarian atau memang hendak mengubah hidupnya dari awal.

Hayya mendekati Takeshi. "Otosan! Otosan!" 

Gadis itu langsung memeluk punggungnya dari belakang sambil tertawa riang. Aku hanya bisa menatap dari kejauhan dalam diam. Belum pernah kurasakan kasih sayang seorang ayah, bahkan Ibu saja menolak membahasnya.

"Ayahmu tewas!" desis Ibu. "Kenapa? Karena ia diseret!" 

Aku diam saja waktu itu. Aku yakin Ibu tidak mau membahasnya bagaimanapun juga. Meski aku punya hak untuk tahu.

Sadar kalau Takeshi itu sebenarnya ...

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵