Chereads / Guardians of Shan / Chapter 15 - Naga dari Kikiro – 1

Chapter 15 - Naga dari Kikiro – 1

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

"Otosan! Otosan!"

Kukerjapkan mata.

Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku.

Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu.

Bukan.

Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu.

Gadis tadi kembali memanggil. "Otosan, minta!"

Ia membalas dengan elusan di rambut. "Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!"

Senyum gadis itu memudar. "Sedikit saja."

"Ingat-ingat, Hayya."

Gadis yang dipanggil Hayya itu memelas. "Otosan!"

"Kamu sudah makan dua kali."

"Tapi, aku janji bakal bantu berkebun."

Tidak ada balasan.

"Aku akan menyapu rumah, bukan Azya lagi," pinta Hayya.

Diam saja.

"Otosan!" Tatapannya lalu tertuju padaku. "Eh, sudah bangun."

Pria itu menatapku. "Ah, Putri."

Suaranya terdengar lembut. Bahkan mungkin lebih menenangkan. Berbeda dengan suara berat Calvacanti. Tatapan matanya bahkan terkesan lembut dan ramah.

Aku duduk sambil mengamati sekeliling. "Di mana ini?"

"Perjalanan menuju Kikiro," balasnya. "Beruntung tidak ada luka."

Aku tidak tahu harus balas atau tidak. Kuputuskan untuk menjawab. "Aku sebenarnya bersama ... Seseorang, tapi dia sedang diserang Tentara Nisma sehingga aku berlari."

"Aku mendapat kabar tentangnya dari temanku." Pria itu tampak cemas. "Kuharap dia baik-baik saja."

"Semoga," sahutku. "Tadi kamu bilang ini Kikiro?"

Pria itu mengiakan. "Itu rumahku."

"Ke situ juga tujuannya," sahutku. "Dia sangat mirip denganmu. Bedanya, dia wanita dan matanya biru."

Pria itu mengangguk. "Mereka bilang aku berasal dari Kyrvec, Negeri Salju. Padahal aku berasal dari negeri Shan."

Gadis itu, Hayya, bertanya. "Temanmu Mariam?"

Aku terdiam, apa harus jujur?

"Otosan, perasaan wanita yang dimaksud juga pernah ke sini." Hayya menatapnya.

"Ya, waktu itu kamu masih belajar merangkak." Ia mengelus rambut turquoise gadis itu.

Ah, berarti mereka saling kenal sejak lama. Berarti aku bisa dengan mudah meminta bantuan.

"Dia mencari bantuan," kataku. "Tapi, tidak menjelaskan detailnya. Kami sedang diserang siluman waktu dia mengucapkannya."

"Begitu." Pria itu menatap bakul yang dipegangnya. "Ambilah, aku tahu kamu lapar."

Kuintip isi bakul itu. Isinya ternyata hanya kue kering. Tak apa, asalkan perutku bisa lebih tenang. Aku makan dengan lahap. Mengabaikan sekitar selain makan siangku.

Kami berada di kereta yang ditarik dua ekor kuda. Aku mengintip. Terpana menyaksikan pemandangan desa dan sawah di bawahku. Seperti di Desa Anba.

Kalungku mengeluarkan sinar biru.

"Kalungmu indah," puji Hayya.

Aku mengangguk. "Aku memilikinya sejak kecil."

"Kamu siapa?" tanya gadis itu.

Aku jeda. Entah harus menyamar atau tidak. Untuk apa menyamar? Tidak ada tugas khusus di sini. Tidak ada yang perlu dirahasiakan. "Aku ... Kyara."

"Aku Oruko Takeshi," balas si pria.

Eh, bukankah dia–

"Dan aku Oruko Hayya!" timpal gadis itu.

"I ... Iya." Aku tidak tahu harus balas apa lagi.

"Sebaiknya kamu segera mengganti nama," ujar Takeshi. "Takeshi hanya nama keduaku."

Kemarin Mariam jadi Hiwaga, lalu teman Mariam yang tidak jelas nama aslinya, kemudian dia?

"Aku tidak tahu nama orang Kikiro," ujarku.

"Tenang, aku akan memberimu nama baru." Takeshi berpikir sejenak. "Lian."

"Lian?" beoku.

"Ya," balas Takeshi. "Mulai sekarang, kamu dipanggil Lian. Ketika kita sampai di desaku, panggil aku Takeshi."

Aku mencoba menghafalnya. Ta-Ke-Shi. Hm, tidak terlalu sulit dihafal. Sementara untuk gadis itu, cukup dua suku kata, Hay-Ya.

Kini namaku menjadi Lian. Dari Kyara, Reem lalu Lian. Berikutnya apa?

Seakan membaca pikiranku, Takeshi menyahut. "Lebih baik memusingkan musuh dengan cara itu."

Itu kalimat yang pernah diucapkan Mariam.

"Kamu kenal Mariam?" tanyaku gamblang.

"Ya," balas Takeshi. "Dia sahabatku."

Aku bertanya lagi. "Tugasmu memberantas sihir?"

Takeshi mengiakan. "Sejak lama. Kalau bukan karena ledakkan itu, sudah pasti ini tidak akan terjadi."

"Ledakkan?" beoku.

"Negeri Shan," jawabnya. "Kamu ingat?"

Aku menggeleng. Tapi, aku ingat ketika seseorang pernah membahas soal negeri yang hilang sebelumnya. Ada banyak kisah di antaranya, tapi semua terlalu samar.

"Ya, sudah." Takeshi berkata. "Akan kuceritakan selepas makan malam."

Kereta melaju.

***

Desa Embi, rumah Takeshi jauh berbeda dibandingkan Shyr. Hawanya saja dingin dan nyaris membuatku membeku. Kami berhenti depan sebuah rumah paling besar dan terpencil di desa itu. Idris–maksudku Takeshi–menyebutnya "Kuil."

Kuil itu bahkan jauh lebih besar dan megah dibandingkan rumah-rumah yang kulihat. Mungkin lebih besar dibandingkan rumah Count Wynter.

"Azya ...!" Hayya melompat sebelum kereta berhenti.

"Hayya!" Seruan Takeshi menyentakku.

Hayya dengan santai berlari menghampiri gadis itu. "Azya! Azya!"

Gadis itu hendak mundur, tapi telanjur dipeluk Hayya yang antusias.

Azya memiliki rambut biru muda dengan garis putih, membuatnya tampak bagai bola salju–meski aku tidak pernah melihat salju secara langsung–dengan mata kuning cerah. Entah kenapa, aku jadi teringat Safir. Tubuhnya jauh lebih rendah dibandingkan aku, tampak jelas dia lebih muda.

Kudengar Takeshi menghela napas. "Hayya, Hayya."

Ia turun dari kereta dan mengangkut beberapa karung.

Keduanya mendekat sambil berseru. "Otosan!"

Mereka peluk pria itu.

Aku tidak tahu arti kata itu, tapi mendengarnya membuat hatiku meleleh. Jelas mereka lebih dekat dari dugaanku.

Takeshi membalas pelukan mereka sambil membelai rambut keduanya. Ia lalu mengangkut beberapa karung.

"Kita punya saudari baru!" Hayya bicara pada Azya sambil menunjukku.

"Saudari?" heranku.

Hayya menepuk bahu Azya. "Ini Oruko Azya, adik kita berdua!"

"Adik?" Kutatap Azya yang menundukkan pandangan.

"Ah, ya, hampir lupa," kata Hayya. "Aku bisa menghilang!"

Gadis itu lenyap seketika. Bagaikan para siluman. Lalu muncul lagi.

Aku terpana. Sudah pasti dia yang menolongku malam itu.

"Hayya, nanti saja pamernya!" tegur Takeshi. "Ayo, istirahat."

Hayya menatapku. "Kalau begitu, mari makan!"

"Ti ... Tidak usah!" Aku tergagap.

"Aduh, jangan pemalu begitu, dong!" ujar Hayya.

Azya yang menarik tanganku, menuntunku semakin dalam. Dia memang diam, tapi sepertinya tahu tanpa disuruh.

Saat Takeshi menjauh, cahaya kalungku meredup.

***

Dalamnya, tidak kalah menakjubkan dibandingkan luarnya. Terdapat beragam patung, di antaranya terdapat patung seekor naga terbuat dari perak yang sedang memegang perkamen bertuliskan huruf asing.

"Itu bahasa Kikiro," jelas Hayya, seakan aku tidak tahu. "Isinya berupa ramalan tentang pahlawan yang akan datang. Walaupun yah ... Pahlawan itu sudah di sini." Hayya melirik Takeshi yang baru saja masuk dan menata barang.

Kalungku bercahaya.

"Pahlawan?" Aku menutupi cahaya kalungku dengan kepalan tangan.

"Dia yang mengurus kami," jawab Azya, meneruskan kalimat Hayya.

"Dan tidak ragu mengadopsi." Hayya tersenyum. "Ya, 'kan, Azya?"

Azya hanya mengiakan.

"Sihir dilawan dengan sihir?" Aku jadi teringat dengan Mariam. Tapi, dia tidak bisa menyihir. Sementara pria tadi kulihat hanya naga kekuatannya.

"Beda cerita," ujar Hayya. "Ayo, kita ke kamarmu!"

Saat menjauh, cahaya kalungku lagi-lagi meredup.

***

Oruko Bersaudari menuntunku ke lantai atas. Banyak sekali ruangan yang tertutup. Pintunya digeser ke samping alih-alih didorong atau ditarik.

Kamar itu berwarna merah tua. Perabotannya terlalu sedikit, hanya ada kasur dan meja belajar. Di atas meja belajar terdapat jendela terbuka lebar. Aku harus menjinjit untuk menutupnya nanti malam.

Mataku tertuju pada lukisan berukuran sedang yang dipajang di bagian tengah kamar. Gambar seorang wanita cantik berambut hitam, tampak menatap ke arahku dengan tenang juga misterius. Aura yang dipancarkan pun membuatku ingat dengan Mariam.

"Siapa dia?" tanyaku sambil menunjuk lukisan tadi. "Itu ibu kalian?"

"Bukan." Hayya tertawa kecil. "Kata Otosan, itu istrinya yang sudah tiada."

Takeshi sudah menikah? Lalu, dari mana datangnya ... Aku lupa kalau Hayya dan Azya itu anak angkat.

Lalu, muncul pertanyaan baru di benakku yang langsung kuutarakan. "Untuk apa kalian tinggal di sini? Bukannya dengan orangtuamu?"

Hayya tersenyum. "Kalau kamu? Bukankah seharusnya bertani di desa?"

Dia seakan membaca masa laluku, seperti Delina Wynter.

"Nasib," balasku.

"Kami juga," balas Azya. "Ada beberapa orang yang keluar masuk kuil hanya untuk diberi makan oleh Otosan."

"Apa artinya?" tanyaku.

"Apa?" heran Azya.

"Otosan itu, apa artinya?"

Azya diam sejenak. "Otosan itu ... Sosok yang merawat dan menjagamu setiap saat. Yang memastikan agar kamu tidak kelaparan atau sedih. Setidaknya, itu menurutku."

Ah, ternyata itu artinya.

"Dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu?" tanyaku, merujuk pada Takeshi. Tidak mungkin ia beri makanan secara gratis terus, bukan?

Hayya mengangkat bahu. "Setahuku, Otosan menjarah harta musuh lalu menyumbangkannya. Lagi pula, ia senang berkebun dan memasak. Jadi, bukan masalah besar kalau tidak punya uang. Cukup makan saja."

"Jadi, semua orang di desa Embi bekerja?" tanyaku.

Hayya mengangguk. "Semuanya bekerja sama berkebun lalu menjual sebagian hasil panen ke negeri seberang yang lebih kaya."

"Takeshi yang mengirimnya?" tebakku gamblang.

Hayya mendengus. "Hebat juga kamu. Tentu saja dia melakukannya sendiri. Dia yang membantu kami tanpa pamrih."

"Kalau begitu," ujarku. "Aku ingin membantu."

Hayya tersenyum cerah.

Azya melirik jendela, matahari mulai menurun. "Ayo, waktunya berkebun."

Mereka menuntunku ke bagian belakang kuil. Perlu beberapa menit hanya untuk mencari halaman belakang. Di tengah jalan, kami memutuskan untuk mengobrol.

"Kamu bisa menghilang, 'kan?" Aku memastikan.

Hayya mengiakan.

"Kenapa tidak berpindah tempat saja?" tanyaku.

"Menghilang saja kemampuanku," ujar Hayya. "Selain itu, aku juga bisa membisu. Bahkan langkah kakiku juga tidak terdengar."

Aku baru menyadarinya. "Kalau Azya?"

"Eh?!" Azya lantas menunduk. "Aku ... Aku ..."

"Dia bisa mencabik daging!" Hayya memperagakan seekor anjing yang siap menggigit.

Ah, sudah kuduga.

Hayya berhenti. "Ini kebunnya!"

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵