Dokter baru saja memeriksa kondisi Jovanca dan mengatakan bahwa selama beberapa hari ke depan Jovanca harus benar-benar istirahat total, dan dokter juga sempat menyarankan agar Jovanca kembali melakukan kemoterapi. Hal itu langsung disetujui oleh Arya, Sarah, maupun Gavin. Karena tentunya mereka sangat ingin Jovanca segera pulih dari penyakit berat yang dideritanya.
Jovanca tidak perlu dirawat di rumah sakit, hanya saja dia perlu istirahat di rumah dengan waktu yang lebih lama. Juga harus mengurangi aktivitas sehari-harinya yang berat. Sekarang, Jovanca dan Gavin tengah menunggu nama Jovanca dipanggil dalam antrean resep obat. Pandangan Jovanca sedari tadi hanya lurus saja menatap ke arah depan, kosong.
Hati Gavin perih melihat kondisi Jovanca yang lesu, jarang sekali dia merasakan kebahagiaan. Gavin berpikir, ingin mengajak Jovanca ke tempat yang tenang jauh dari orang-orang yang selalu menyakiti hatinya. Tapi, Gavin harus membawanya ke mana? Dokter masih belum memperbolehkan Jovanca beraktivitas banyak, dan harus melakukan kemoterapi lagi.
"Vanca, are you okay?" Gavin menatap Jovanca yang sedang bersandar pada pundaknya.
Jovanca menggelengkan kepalanya. "I'm not okay, Vin," jawabnya dengan suara lemas.
Mulut Gavin tidak dapat berkata apa-apa, pikirannya sudah benar-benar kalut. Hanya memanjatkan doa saja yang dapat Gavin lakukan untuk sementara ini, sembari dia menjernihkan pikiran terlebih dahulu agar bisa mencari ide, kira-kira bagaimana cara untuk membuat Jovanca tenang.
"Vin, aku mau ke air dulu ya. Kamu tunggu di sini aku bentar doang kok," pesan Jovanca dan dibalas anggukan kepala oleh Gavin.
Jovanca mulai melangkahkan kedua kakinya menuju toilet khusus wanita. Tapi, saat baru saja Jovanca masuk. Dia kaget ketika melihat sosok Veronika sedang merapihkan rambutnya tepat di depan kaca yang berukuran cukup besar, yang ada di depan toilet.
Hanya melihat Veronika saja sudah membuat hatinya kembali hancur berkeping-keping apa lagi harus berkomunikasi dengan Veronika, dan lagi-lagi mendengarkan permintaan maaf dari wanita berusia dua puluh satu tahun itu. Rasanya begitu tidak sanggup, Jovanca kembali keluar dari toilet tersebut.
Namun sayangnya, hati Jovanca semakin dibuat hancur berkeping-keping saat baru saja dia keluar, tampak sosok lelaki yang pernah menjabat sebagai kekasihnya tengah berdiri tepat di depan pintu toilet wanita, menunggu Sang Istri keluar. Jovanca menatap Rivaldi lekat, rindu dengan kenangan yang sudah mereka lalui.
"Ngapain lo di sini? Mau ganggu gue lagi?" tanya Rivaldi ketus.
Jovanca menundukkan kepalanya. "Enggak, aku lagi check up aja. Kamu inget gak, dulu kamu selalu antar aku check up. Kapan lagi ya kejadian kayak gitu bisa diulang lagi?" jawabnya, kemudian bertanya kepada Rivaldi dengan suara pelan.
Rivaldi terkekeh saat mendengarkan jawaban dan pertanyaan yang dilontarkan Jovanca. Apa benar selama ini dirinya memiliki kekasih seperti Jovanca? Lemah, cengeng, berbeda sekali dengan Veronika yang kuat, dan bijaksana.
Kedua manik mata Rivaldi menatap Jovanca tajam, dia melipat kedua tangannya di depan dada. Jujur saja, Rivaldi tidak suka melihat sifat Jovanca yang seperti ini. Padahal mereka berdua sudah putus, tapi masih saja Jovanca mendekatinya.
"Hadeuh cih, ternyata gue pernah punya cewek penyakitan!" ucap Rivaldi dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Perkataan yang begitu menusuk ke hati Jovanca yang paling dalam. Banyak orang yang selalu berucap tanpa memikirkan perasaan orang lain, padahal seharusnya sebagai manusia yang baik kita harus bisa mengolah setiap perkataan sebelum keluar dari mulut kita agar tidak menyakiti hati orang lain.
Jovanca mengangkat kepalanya, kemudian berucap, "Makasih buat kata-kata kamu yang pedes itu, lain kali jaga omongan kamu. Karena mental setiap orang itu beda-beda."
Lalu, Jovanca meninggalkan Rivaldi dan memilih untuk kembali ke apoteker. Tempat di mana Gavin baru saja mengambilkan obatnya. Raut wajah Jovanca tampak datar, dia berjalan terlebih dahulu di depan Gavin menuju parkiran mobil.
Sementara Gavin, menatap Jovanca dengan tatapan bingung. "Dia kenapa lagi sih? Semakin hari semakin aneh," gumamnya.
***
Hari sudah semakin sore, Jovanca dan Gavin belum pulang. Tadi, sepulang dari rumah sakit Jovanca meminta Gavin untuk membawanya terlebih dahulu ke tempat yang tenang. Hal pertama yang ada di pikiran Gavin adalah danau, tempat yang biasa dia datangi dulu saat sedang mengalami banyak masalah.
Mobil yang dikendarai Gavin berhenti tepat di pinggiran sebuah danau. Jovanca menatap sekelilingnya dengan antusias, dia berjalan secara perlahan-lahan menuju sebuah kayu pohon besar yang digunakan oleh pengunjung danau tersebut untuk duduk.
Angin sore menerpa wajah Jovanca, benar-benar tenang rasanya. Semua masalah dan beban yang Jovanca rasakan seperti hilang begitu saja, walaupun sementara. Tapi itu tidak masalah, daripada harus pusing memikirkan semua masalah berat. Lebih baik melakukan hal yang bermanfaat, seperti sekarang ini menikmati pemandangan alam.
"Gimana? Kamu udah tenang 'kan?" tanya Gavin.
Jovanca mengangguk. "Tenang banget, makasih ya udah bawa aku ke sini. Masalah tuh rasanya kayak hilang, lihat alam yang indah kayak gini," ungkapnya.
Gavin tersenyum melihat Jovanca mulai bahagia, dia selalu berharap agar kebahagiaan itu tidak akan pernah sirna dari kehidupan Jovanca. Lihatlah, saat ini Jovanca tengah menatap sekelilingnya dengan pandangan antusias. Ternyata alam Indonesia ini begitu indah, Jovanca bersyukur tinggal di Indonesia.
"Jov, lain kali kalau kamu sedih bilang aja sama aku. Nanti kita ke sini lagi, tapi nanti sekalian bawa makanan biar enak gitu, haha." Tawa Gavin pecah saat itu juga, Jovanca turut tertawa.
"Ada-ada aja kamu, tapi boleh juga sih. Oh iya kita fotoan yuk? Lumayan buat kenangan," ajak Jovanca.
Tentu saja Gavin menerima ajakan Jovanca dengan senang hati, Jovanca mengeluarkan ponselnya dari dalam tas berwarna biru muda kecil pemberian Caesa saat ulang tahunnya yang ke enak belas tahun. Beberapa kali Jovanca dan Gavin bergaya, setelah selesai ponsel tersebut Jovanca masukkan kembali ke dalam tasnya.
Bisa dikatakan hari ini adalah hari yang cukup bahagia bagi Jovanca, sebab dia berhasil melupakan semua beban dan masalahnya meski hanya sebentar saja. Ternyata benar, danau tempat di mana Jovanca dan Gavin kunjungi hari ini bisa membuat suasana hati damai, sekaligus tentram.
"Hari ini aku bahagia deh, bisa menikmati suasana alam. Jarang banget aku bisa kayak gini, biasanya cuma ke taman atau mall aja. Bosen banget, tapi aku sekarang bersyukur karena menemukan danau ini. Makasih banyak Vin!" Lalu, Jovanca mendekap tubuh Gavin erat.
Gavin membalas dekapan Jovanca tak kalah erat. "Iya, sama-sama. Aku juga seneng kok lihat kamu bahagia kayak gini. Makanya, ingat selalu ya pesan aku. Jangan terlalu berlarut dalam kesedihan, kalau ada masalah itu cerita. Oke?" pesan Gavin.