"Kasihan sekali kamu, Mas,"
Wanita itu mengusap sebuah batu putih yang bergoreskan tinta hitam di atasnya. Meskipun sudah lama berpisah, namun bukan berarti rasa itu akan ikut memudar.
Hari ini merupakan hari di mana seseorang kembali pada Sang Pencipta. Keegoisan serta ketamakan menjadikan ia manusia arogan. Melakukan apa saja yang dikehendaki, termasuk menelantarkan istri sendiri.
Rubi. Dengan air mata yang terus mengalir, senantiasa mengusap batu nisan sambil mengingat-ingat kisah rumah tangganya yang kandas karena hasutan dari mulut lain.
Andai saja pria itu tidak terpengaruh dengan fitnah kejam tersebut.
Andai saja ia lebih membuka hati dan menggunakan kepala dingin.
Andai saja ada keajaiban yang dapat menyelamatkan rumah tangga mereka kala itu.
Rubi terus memutar bola mata memandang kaki langit. Album kisah cintanya kian berotasi dalam kepala. Semua bermula saat ia resmi pindah latar belakang kehidupan, karena dipersunting oleh seorang lelaki berdarah biru.
***
Belum bulat 24 jam Rubi menikah dengan pria yang menjadi idaman setiap kaum hawa itu. Rasa-rasanya ia bermimpi karena bisa dipersunting oleh sosok lelaki tampan lagi kaya tersebut. Rubi menarik napas dalam, saking khusyuknya memikirkan nasib baik, sampai-sampai ia lupa melepas gaun pengantin.
"Saya terima nikahnya Alfahrubi bin Kamiluddin dengan seperangkat alat sholat serta emas senilai 50 gram dibayar tunai,"
"Bagaimana para saksi, sah?"
"Sah,"
Bayangan saat pemilik perusahaan ternama itu melafazkan ijab qabul senantiasa berlarian dalam kepala. Rubi masih belum yakin bahwa gadis serba kekurangan seperti dirinya, kini telah menjelma sebagai nyonya muda nan memiliki limpahan harta.
Rubi melermpar pandangan ke arah hamparan ranjang yang penuh dengan taburan bunga serta wewangian menyengat hidung. Ia menyandarkan tubuh pada kepala kasur seusai acara pernikahannya berakhir. Sang suami tengah sibuk bercengkrama dengan kolega bisnis yang terlambat datang. Rubi harap-harap cemas menunggu kehadiran lelaki 28 tahun itu di kamar mereka. Kita semua tahu apa yang akan dilakukan sepasang pengantin baru, bukan?
Satu jam berlalu. Suami Rubi yang bernama Jaya itu menyembulkan diri ke kamar tanpa izin. Seketika Rubi terlonjak dari posisi berbaringnya. Entah kenapa ia merasa hawa panas setelah kedatangan lelaki tersebut.
Jaya menilik wajah Rubi yang tak ada bedanya dengan kanebo kering. Terlalu kaku. Tak apa. Jaya mafhum. Agaknya, perempuan itu memang belum terbiasa berada di dekatnya.
"Jangan tegang begitu. Saya ini sudah resmi menjadi suamimu," Jaya mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Rubi. Membuat deguban jantungnya kian tak beraturan.
Rubi tetap tak bergeming.
"Apa yang terjadi denganmu, hem?" tanya pria tersebut sambil tersenyum tipis.
Rubi terduduk lemas. Entah apa yang harus dikatakan kepada suami dadakannya itu. Rubi menggelengkan kepala berulang kali, berharap bahwa lawan bicaranya akan mafhum dengan situasi ini.
"Rubi. Malu-malu itu wajar, tapi tidak baik jika terlalu lama," ucap adam berusia 28 tahun tersebut.
Rubi berusaha menetralisir jantungnya yang berlompat-lompat ria. Jujur saja, ia memang sangat mendambakan anak dari lelaki yang pernah ditolongnya sebulan lalu. Namun siapa sangka jika rasa cinta yang ia punya dapat terealisasi? Saat lajang berhidung mancung itu memutuskan untuk memilihnya sebagai istri, artinya cinta milik mereka berdua.
"Kalau boleh jujur, aku masih ragu dengan pernikahan ini," bisiknya yang masih bisa ditangkap oleh telinga lain.
"Kenapa?" Pria itu menyelipkan anak rambut Rubi yang terjuntai ke belakang telinga.
"Bagaimana mungkin pria tampan dan kaya sepertimu memilih aku sebagai istri?"
Bola matanya meleset ke bawah. Betapa ia telah terjebak dalam permainan rasa. Rubi menerima suaminya karena takut akan ada perempuan lain yang mengambil posisinya sebagai istri. Namun di sisi lain, ia juga tidak yakin kalau cintanya terbalas meskipun berulang kali pria tersebut berusaha meyakinkan.
"Kau beda dari wanita lain, Sayang. Ah! Satu lagi, panggil aku dengan sebutan Mas. Bukannya aku ini sudah resmi menjadi suamimu?"
Rubi semakin gugup.
"Baik lah, Jaya. Eh, maksudku, baik lah Mas,"
Lelaki yang bernama Jaya Kusumo tersebut semakin mendekatkan jarak. Di sisi kiri mereka ada nakas yang diisi oleh bingkai wajah polos sang istri. Sebagai pria yang sudah sering dimanfaatkan hartanya, ia lebih memilih perempuan lugu seperti Rubi untuk dijadikan pendamping hidup. Ia yakin betul kalau pilihannya kali ini tak akan salah.
"Apa para tamu sudah pulang?" Rubi berusaha mencairkan suasana.
"Sudah,"
"Apa boleh aku bertanya?" seru Rubi yang tiba-tiba teringat akan sesuatu.
"Hem?"
"Kenapa Mama Mas tidak datang di pernikahan kita?"
Glek!
Jaya membuang pandangan menatap apa saja selain paras Rubi. Selain Mamanya tidak datang, wanita paruh abad itu juga menginginkan pernikahan Jaya yang seharusnya digelar di gedung, menjadi di rumah saja. Jaya dengan sungkang tersimpul. Tidak bisa ia jawab pertanyaan Rubi saat ini.
"Kalau kau ingin tahu, besok kita akan menemui Mama. Ayo, kita tidur. Mas tahu kau begitu lelah," titah Jaya.
Rubi sontak membulatkan mata. Bahkan ia sudah bersiap-siap andai kata Jaya merenggut mahkotanya malam ini juga. Namun, dugaan Rubi salah. Lelaki itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Apakah dia tidak mendambakan masa-masa erotis itu?
Sedangkan Jaya langsung terlelap dalam tidurnya. Bukannya tidak ingin menjalankan kewajiban sebagai suami istri. Namun, Jaya tahu kapan waktu yang tepat untuk melakukan hal tersebut. Kali ini dia meloloskan Rubi yang kelihatannya begitu lelah.
***
Jaya melempar pandangan ke arah sinar mentari yang berhasil menembus gorden kamar. Ia tidak mendapati istrinya saat bangun tidur. Buru-buru Jaya bangkit dan langsung membersihkan diri di toilet. Setelahnya, ia mencium aroma masakan. Pertanda bahwa Rubi sedang berada di dapur. Ia melihat sudah banyak menu sarapan pagi yang terhidang di atas meja makan.
"Masakanmu enak sekali. Tidak salah aku memilihmu sebagai istri," ucap seorang pria berhidung mancung yang berada di hadapan Rubi.
Dara itu tersipu malu, terlebih saat suaminya dengan begitu lahap menyantap soto babat buatannya.
Belum sempat Rubi mengucapkan terimakasih atas pujian dari Jaya, tiba-tiba saja ada sesuatu yang terasa ngilu di bawah sana. Mereka tidak jadi melakukannya kemarin, kan?
Rubi langsung pergi, sesaat setelah meminta izin pada suaminya untuk meninggalkan lelaki itu seorang diri di meja makan. Acara sarapan pagi bersama, kali ini terganggu karena adanya hal tidak beres yang terjadi pada diri Rubi.
Gegas Rubi menilik kepunyaannya yang terasa perih. Tampak begitu banyak cecair kental berkelir kekuningan yang teronggok di permukaan celana berbentu segitiga itu.
"Apa ini?" batin Rubi sambil meraih air yang keluar dari sana.
Kepalanya sukses berpaling saat Rubi menempelkan benda itu di indera penciumannya. Aroma tidak sedap begitu menyeruak, membuat Rubi bergidik jijik.
Rubi menubrukkan sepasang alis. Biasanya orang menyebut cecair kental itu sebagai keputihan. Namun kenapa yang satu ini agak lain? Kadarnya lebih banyak dari yang Rubi alami selama ini. Selain itu, ia juga mengeluarkan aroma yang tidak sedap.
Segera Rubi membasuh jemarinya yang terciprat oleh bau amis tersebut, kemudian kembali menemui suaminya di meja makan.
Hari mulai siang, keduanya sudah siap dengan pakaiannya masing-masing. Jaya sudah berjanji akan membawa istrinya mengunjungi rumah sang Mama kemarin.
"Sayang. Apa kau sudah siap?" teriak Jaya dari penjuru lain.
"Ya, sebentar,"
Rubi langsung keluar dan mengunci pintu kamar mereka. Selanjutnya, ia turun ke bawah guna menemui Jaya yang telah menunggunya sambil duduk di ruang tengah.
"Rubi, kenapa kau tidak mengenakan pakaian yang ada di lemari?" tanyanya seberes mendapati bahwa istrinya menggunakan pakaian era 90-an.
Perempuan bertubuh pendek itu belum mafhum juga, bahwasanya asisten rumah tangga sudah menyediakan segala kebutuhannya jauh sebelum sepasang pengantin baru tersebut menempati rumah baru mereka.
"Ingat, ya! Semua yang berada di sini adalah milikmu. Kau bebas menggunakannya. Kendaraan, pakaian, makanan, dan apapun yang kau inginkan," lanjut pria yang mengira bahwa wanitanya belum mampu beradaptasi.
"Apa aku terlihat jelek dengan pakaian ini? Kalau memang iya, lalu kenapa Mas menikahiku?" Dengan terpaksa Rubi mengangkat kepalanya. Niat baik Jaya disalahartikan oleh perempuan tersebut.
"Eum, bukan begitu maksudnya. Kau sangat cantik, tapi jangan lupa untuk mengenakan pakaian yang ada di rumah ini juga, ya. Aku sudah bersusah payah meminta bantuan teman wanitaku untuk memilih semua itu," balas Jaya tak ingin membuat istrinya bersedih.
Gaun di bawah lutut dengan tangan pendek yang mengembang memang kerap menjadi pakaian Rubi jika berpergian. Almarhumah Bundanya-lah yang memberikan itu semua. Jadi, sekalipun Rubi sudah memiliki banyak barang-barang baru nan bagus, ia tak akan bisa meninggalkan gaun pemberian sang Bunda. Hitung-hitung agar bayangan Bunda selalu bersama Rubi kemanapun ia pergi.
Rubi segera melangkah menuju beranda rumah. Tidak baik jika berdebat dengan suami sendiri hanya karena perkara baju. Jaya memandangi punggung istrinya yang mulai menjauh, perlahan ia menarik kedua sudut bibir. Jika memang benar kalau istrinya itu gila harta seperti para mantanya, pastilah Rubi sudah memilih untuk mengenakan pakaian terbaik yang ada di dalam lemari.
"Aku memang tidak salah pilih," Jaya membatin.
Mentari berada persis di ubun para makhluk hidup.
Keduanya sudah berada di kediaman orang tua Jaya. Tak ada yang menyambut kedatangan mereka kecuali pria berbadan gemuk tersebut. Seseorang yang menjadi penghubung antara Rubi dan lelaki yang saat ini resmi menjadi suaminya.
"Wah, kalian sudah sampai,"
Dia adalah Hardi Kusomo yang waktu lalu pernah ditolong oleh Rubi saat sedang mengalami kecelakaan. Rubi mendapati Hardi mengaduh akibat sakit di sekujur tubuh. Gegas Rubi melarikan lelaki paruh abad itu ke rumah sakit dan menemaninya sampai pihak keluarga Hardi datang, termasuk Jaya di dalamnya.
Ini merupakan kali kedua Rubi berkunjung ke kediaman keluarga suaminya. Kala itu ia dibawa ke sini karena ingin meminta restu menikah dengan kedua orang tua.
Rubi menyapu pandangan ke seluruh bangunan. Ada rasa minder, tatkala ia menyadari bahwa Jaya berasal dari keluarga konglomerat. Sangat berbeda dengan dirinya yang hanya berprofesi sebagai penjual cilok keliling.
"Silahkan duduk," ucap Hardi dengan senyum yang tak kunjung luntur.
Selain Jaya, Hardi juga merasa bahwa Rubi adalah sosok perempuan baik yang tak akan bertindak konyol seperti barisan mantan putranya. Sudah cukup jauh Hardi mengenal sosok Rubi selama satu bulan belakangan ini. Tak lupa ia mencari tahu di mana tempat tinggal perempuan itu lalu bertanya tentang kehidupan kesehariannya pada orang sekitar.
Hardi segera memanggil asisten rumah tangga dan memintanya untuk menghidangkan makanan serta minumannya. Hal itu lantas saja membuat Rubi menjadi tidak enak. Dia bukan Ratu yang apa-apa selalu disediakan.
"Biar aku ikut membantu," titah Rubi seraya membangkitkan tubuh.
Walau kini sudah menjadi istri dari seorang pengusaha kaya, tapi tidak membuat Rubi besar kepala. Ia tetaplah Rubi yang dulu. Gadis yang penuh kesederhanaan dari segala sisi.
"Tidak usah! Kau duduk saja di sini menemani suamimu," Hardi menepuk-nepuk badan sofa.
"Aku jadi tidak enak dengan Bapak. Biarkan aku pergi ke dapur,"
"Shhht!" Hardi menempelkan telunjuknya di bibir. "Jangan membantah! Oh ya, mulai sekarang manggilnya Papa, jangan Bapak lagi," sambungnya.
Ugh!
Kalimat Hardi membuat Rubi meneguk salivanya berulang kali. Betapa ia canggung dengan perintah yang baru saja Hardi berikan. Buru-buru Rubi mendaratkan bokongnya kembali di atas sofa. Mau tidak mau ia harus menuruti segala permintaan Mertua.
"Baik, Pa," Rubi gugup.
Tiba-tiba melintas seorang gadis berambut panjang di sisi kiri keduanya. Sebut saja ia Melani Kusumo, putri dari Bapak Hardi Kusumo. Ia lewat begitu saja, seolah sedang tidak ada siapa-siapa di tempat ini.
"Melani!" seseorang menahlil namanya.
Dengan bibir yang dimonyongkan, Melani berbalik badan guna mengindahkan panggilan sang Papa. Ia berjalan menuju tiga orang yang sedang bersemayam di sofa.
"Ada apa, Pa?" tanyanya ketus.
"Temani Kakakmu di sini,"
"Kakak? Mas Jaya maksudnya? Dia kan sudah besar, kenapa harus ditemani? Lagipula ini juga rumahnya, Pa," satu kalimat dibalas dengan satu paragraf. Barangkali masih banyak umpatan lain dalam hati gadis bersurai panjang tersebut.
"Bukan Jaya, tapi Rubi,"
"Ck!"
Melani sontak berdecak kesal. Pupus sudah harapannya untuk dapat bersantai di beranda rumah sambil menyesap es leci favortinya.
***
Bersambung