Bab 19.
Rey turun dari lantai atas sambil menggaruk kepala, masih setengah mengantuk. Karena kamarnya di bawah, mandinya di kamar mandi bawah juga. Sedangkan Mona sudah rapi, ikut turun di belakang Mbok Nah.
"Pagiiii ... anak gadis Papa!" ucap Mas Harry sambil mencium pipi Mona.
"Pagiii, Pa!" Sahut Mona.
"Hari ini kalian sekolah tatap muka atau belajar online?" tanyanya lagi.
"Sama dengan Bang Rey, Pa! sekolah tatap muka," jawab Mona.
"Ya-sudah sarapan dulu, nanti ngobrol lagi!" ajakku. Sepiring nasi gurih lengkap dengan lauknya, aku berikan ke Mona.
Zahrana masih anteng di dalam strollernya (tempat tidur atau duduk bayi) ia sedang menggigit bebek-an karet, mainan kesukaan
nya. Sesekali terdengar celotehannya kesal dengan mainan yang jatuh melulu. Mas Harry terkekeh melihat tingkahnya. Sebisa mungkin aku terus menyusuinya, asi eksklusif tanpa bantuan susu formula, hingga umur enam bulan. Setelah itu baru di berikan makanan tambahan seperti bubur dan biskuit bayi.
"Mas ... rencananya dalam minggu ini, aku bekerja lagi ke butik. Zahrana aku bawa, di ruang kerjaku nyaman kok. Perlengkapan bayi bisa di atur senyaman mungkin."
"Apa tak terlalu cepat kamu bekerja lagi? Zahrana masih terlalu bayi, lo. Entar gak fokus bekerjanya," Mas Harry mengerutkan dahinya.
"Makanya dalam minggu ini, mau cari babysitter untuk Zahra. Selagi aku bekerja, Zahra bisa main dengan pengasuhnya, dua jam sekali baru di susui, begitu seterusnya.
Jadi mereka tetap bisa ikut ke butik, tak perlu tinggal di rumah. Karena aku khawatir bila tak melihatnya," jelasku panjang lebar.
"Ya-terserah kamu, Sayang! Yang penting mengasuh anak itu prioritas utama bukan nyari duitnya!" Pinta Mas Harry, sambil menatap mesra padaku.
"Coba kamu tanya nanti ke Mbok Nah, Mey! Siapa tau ada anak atau kenalannya yang pintar mengasuh bayi!" sarannya.
"Oh-iya, Mas, kalau kenal itu lebih baik," jawabku mantap.
"Rey ... Mona, cepat habiskan sarapannya ya, biar sekalian Papa antar!" ucapnya.
Anak-anak segera menghabiskan sarapannya, aku membawa sisa piring kotor ke dapur. Air hangat untuk mandi Zahra sudah siap, Mbok Nah membawanya ke kamar mandi. Sebelum berangkat bekerja, Mas Harry menyuruh security untuk memanaskan mesin mobil terlebih dahulu. Kurapikan sekali lagi dasi di leher Mas Harry, dan anak-anak juga sudah selesai sarapan. Mereka merapikan alat sekolahnya kemudian berpamitan padaku sambil mencium punggung tangan ini.
"Mas, berangkat ya, Sayang!" ucapnya sambil mengecup dahiku.
"Iya, hati-hati nyetirnya, ya, Mas!" Balasku.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam, Mas!"
*******
Saatnya memandikan bayi mungilku, Zahrana sudah kelihatan bosan bermain sendiri di strollernya, ia mulai merengek kegerahan, tau saja waktunya mandi pagi. Begitu melihatku wajahnya langsung sumringah, matanya membulat sempurna, tangan dan kakinya di hentak-hentakkan tanda minta di gendong. Ia mulai cerdik otak atau saraf motoriknya mulai berkembang, mulai mengenal orang di sekelilingnya.
"Bu, biar Mbok Nah bantu, ya!" pinta asisten rumah tanggaku.
"Boleh, Mbok, tolong pegangin handuk bayinya, biar aku yang mandikan Zahrana!" pintaku.
"Sayang, Bunda! Kita mandi, ya Nak!" ku basuh sedikit air ke wajah dan tubuhnya, agar ia tak kaget ketika di mandikan.
"Emmaaa, mmaaa, mmaaaa," bayi mungilku kesenangan saat di masukkan ke dalam ember yang penuh air hangat, rambutnya yang halus di beri shampo khusus bayi, biar harum dan lembut.
Mbok Nah ikut tertawa mendengar celotehan Zahrana. Ia malah ikut meledek dengan menjulurkan lidahnya, lalu terciprat air ke muka Mbok Nah. Gantian aku yang terkekeh melihat pemandangan ini. Ada-ada saja tingkahnya yang membuat lucu dan menggemaskan. Handuk sudah di balutkan ke tubuh Zahra, aku memeluk tubuhnya yang hangat bekas air mandi tadi. " Hmm ... sudah harum anak Bunda ini," ucapku sambil mencium pucuk kepalanya.
Sekarang giliran memakaikan ia baju, sebelumnya tubuh mungil ini di olesi minyak telon lalu di beri baby oil di lipatan paha dan bokongnya agar tak lecet. Karena berat tubuhnya mulai anak, efek kuat menyusu padaku. Jadi terbentuk lipatan di beberapa bagian tubuhnya. Baru dua bulan sudah bisa di pakai kan baju cantik model rok kembang, duhhh ... jadi gemas melihatnya. Sudah harum, cantik dan gemoy lagi.
Setelah Zahrana mandi dan memakai baju cantik, ia langsung ku susui. Karena baru selesai makan, air susu pun banyak keluar. Zahrana gelagapan menyedotnya, hampir saja tersedak, kalau tak cepat ku tegakkan kepalanya. "Pelan-pelan dong nyusunya, Sayang, Bunda. Gak ada yang minta, kok," seolah mengerti, Zahra berhenti sejenak menyusu, lalu menatap wajahku, kemudian lanjut menyusu lagi.
Zahrana mulai mengantuk, ia mengerjab-ngerjabkan matanya, sudah kenyang menyusu di tambah pula baru selesai mandi. Terasa segar sekali tubuhnya. Harum minyak telon dan bedak bayi menyeruak dari tubuhnya, membuatku ingin menciumnya lagi dan lagi. Perlahan ku letakkan ke dalam ayunan box bayi dan mulai mengayunnya hingga ia tertidur pulas
*******
Lepas tengah hari biasanya suamiku pulang untuk makan siang, tapi hari ini ia makan siang di luar, sekalian meeting dengan klien ucapnya tadi ketika ku telfon. Tak lama terdengar suara klakson mobil di halaman rumah. "Lohh, barusan telfon katanya tak jadi pulang, kok cepat sekali berubah pikiran," ucapku heran. Gegas aku keluar untuk memastikan siapa yang datang, dengan memakai hijab instan, kemudian membuka pintu depan.
Tiiin ... tiiinn ... tiiinn
Begitu ku lihat, kok mobilnya beda. Mas Harry mobilnya itu jenis paje** berwarna hitam, sedang kan ini jenis mobil xen** berwarna silver. Tak lama keluar seseorang dari dalam mobil, lalu berjalan ke arahku sambil bertanya.
"Ini dengan Ibu Meysa Andini?"
"Iya, saya sendiri! Ada apa ya, Pak?" tanyaku bingung sambil memperhatikan mobil tersebut yang di balut pita kecil di depannya.
"Ini ada titipan mobil dari Pak Harry untuk Ibu," ucap lelaki ini sambil menyerahkan kunci ke tanganku.
"Haah," aku kaget lalu menutup mulut, masih tak percaya.
"Ini serius untuk saya, Pak?" tanyaku sekali lagi, sambil mengeluarkan hape dari saku bajuku.
"Iya, benar, Bu! Saya utusan dari showroom, datang ke sini untuk mengantar mobil sampai ke tempat dengan aman.
"Kalau begitu saya permisi, Bu! Mobil dan kunci sudah sampai pada orangnya, ya!" Sales mobil tersebut berjabat tangan denganku lalu pergi dengan mobil jemputannya.
Langsung saja ku telfon Mas Harry, sedetik, dua detik, tak lama terdengar suara di sebrang telfon mengucapkan salam. Aku bertanya tentang mobil ini, ia malah tertawa mendengar pertanyaanku, bukannya menjelaskan malah membuatku sedikit kesal.
"Nanti sampai di rumah aku jelaskan secara detail, ya, Sayang!" janjinya.
"Iya, usahakan pulang cepat ya, Mas!"
Ku pandangi mobil mewah berpita kuning ini, lalu membuka pintu mobilnya. Di bantu dengan security karena aku masih bingung cara buka tutup kuncinya. Maklum lah belum pernah lihat mobil mahal seperti ini. Menunggu Mas Harry pulang, rasanya seperti menunggu Pak Penghulu datang untuk menikahkan kami dulu.
Aku periksa setiap sudut mobil ini, semuanya masih bersegel plastik putih khusus mobil. Rasanya bukan hari ulang tahunku atau anniversary kami. Lagi pula masih lama, jadi apa alasan Mas Harry memberikan ini semua. Kebingungan masih melanda jiwa. Aku telfon sekali lagi ke nomornya, tapi suara telfon itu masih sibuk terus. Padahal hari telah sore, jangan-jangan ia lembur, aku bisa marah ini.
Sambil menunggu suami pulang kerja, ku raih hape untuk menelfon orangtua dan adikku. menanyakan kabar mereka, kangen juga rasanya karena sudah jarang berkomunikasi. Begitulah kalau anak sudah berkeluarga. Sibuk mengurus rumah tangga barunya. Syukurnya orangtuaku sangat maklum akan hal itu. Sering Mama yang datang menjenguk aku dan Zahrana. Sampai saat ini aku merasa bahagia hidup bersama Mas Harry.
Bersambung ....