Aku tak tahu apakah ini awal baru bagi ku. Tapi kenapa aku tidak merasa senang sama sekali. Kenapa selalu saja ada kekhawatiran yang terselip didalam hati ku. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa senyum ku tidak bisa setulus pria yang ada di samping ku. Apakah dia merasa sangat senang?. Jika dia merasa demikian kenapa aku tak bisa merasakan apa-apa?. Apa ini karena aku sudah terlalu lama sendirian, sehingga aku tidak bisa mengubah perasaan ini menjadi rasa senang. Ahhh … entahlah aku tak bisa mengartikan ini semua. Aku hanya berharap kali ini aku tidak salah pilih. Dan semua kejadian ini membawa ku pada bagian baru dalam hidup ku.
***
"Sunny makan malamlah di sini. Kau mau kan?." tanya pria itu dengan tatapan serius seakan-akan menunjukan bahwa dia tidak menerima penolakan.
"Apa tidak apa-apa jika aku makan malam disini?." Sejujurnya aku hanya ingin mencari cela agar bisa menolak, karena berada di dekat pria ini sedikit membuat ku sesak.
"Tidak apa-apa Bi Minah pasti akan senang melihat mu makan malam disini."
"Tapi …." Belum sempat aku menyelesaikan ucapan ku, dia langsung memotongnya.
"Kau tak perlu khawatir aku akan mengantar mu pulang." ucapnya sambil tersenyum seolah-olah dia sudah tau apa yang ku pikirkan.
Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Jika aku terus menerus membuat alasan dia pasti akan curiga.
"Baiklah." Aku sambil tersenyum.
Terlihat jelas di wajahnya bahwa dia tampak senang setelah aku mengiyakan tawarannya. Dia pun menghamburkan langkahnya masuk kedalam rumah dan aku mengikutinya dari belakang.
"Kau bisa duduk diruang tamu sambil menunggu makan malam siap. Aku akan membantu Bi Minah di dapur." Dia sambil menggulung lengan bajunya.
Sekilas aku tak bisa mengalihkan pandangan ku darinya. Gayanya saat menggulung lengan baju terlihat sangat keren.
"Apa yang kau pikirkan Sunny." Gumam ku sambil menggeleng-gelengkan kepala ku.
Dia sepertinya menangkap basah diri ku yang sedang berusaha menyadarkan diri dari isi kepala ku yang terlalu liar.
"Kau tidak apa-apa Sunny?. Apa kepala mu sakit?." Dia sepertinya terlihat sedikit cemas namun juga kebingungan.
"A … aku tidak apa-apa." Jawab ku terbata-bata.
"Baiklah aku kebelakang dulu."
"Pak … apa aku boleh membantu?. Aku tidak enak jika hanya duduk disini terlebih aku hanya sendirian disini."
"Kau yakin?." Tanyanya memastikan.
Aku tak menjawab apa-apa dan hanya mengangguk kecil sambil tersenyum.
Rumah Pak Ryu terbilang cukup besar untuk di tinggali sendirian. Walaupun besar namun aku tidak merasakan kesuraman dirumah ini, justru sebaliknya rumah ini terlihat sangat hidup seakan-akan di huni banyak orang. Setiap barang yang ada dirumah ini tertata rapi dan sangat bersih. Dirumah ini ada banyak pintu-pintu besar yang selalu terbuka sehingga udara segar dan sinar matahari bisa masuk dengan leluasa. Aku tak menemukan dinding beton dirumah ini yang ada hanya dinding khas seperti layaknya rumah bergaya jepang pada umumnya. Rumah ini terasa begitu nyaman dan hangat. Entah sudah berapa lama sejak aku terakhir kali merasakan suasana seperti ini.
Aku hanya menelan ludah pahit karena mengingat kenyataan bahwa aku tak seberuntung Pak Ryu.
***
Aku hanya bisa terkagum melihat dapur yang ada dirumah. Semua alat masak tertata rapi dan di tengah-tengah dapur ini terdapat meja yang tak terlalu panjang namun sangat pas untuk di isi beberapa orang.
"Apakah Pak Ryu selalu makan di meja ini sendirian?." Gumam ku penasaran.
Lalu saat aku masih asik mengeliling dapur ini aku menangkap sosok wanita yang tengah asik mencuci sayuran. Padahal aku hanya menatap punggungnya saja tapi kenapa sosok itu membuat ku merindukan "ibu".
"Bi?." Pak Ryu memanggil wanita itu dengan sangat lembut seolah-olah sedang memanggil ibunya sendiri.
Wanita itu menoleh dengan lembut dan tersenyum manis.
"Sunny mengatakan dia ingin membantu menyiapkan makan malam." tambah Pak Ryu.
Wanita itu mengelap tanganya diatas celemek yang digunakannya dan perlahan mendekat kearah ku. Tak hanya terkagum bahkan sekarang aku tak bisa mengedipkan mata ku. Wanita yang Pak Ryu panggil dengan sebutan bi ini terlihat sangat cantik. Rambut hitamnya digulung rapi kebelakang. Wajahnya yang sudah memiliki beberapa garis keriput tak membuatnya terlihat tua. Seolah-olah keriput yang ada diwajahnya adalah pelengkap yang pas mengisi wajahnya.
Tak perlu mencari jawaban kepada Pak Ryu, aku sudah tahu kenapa rumah ini terlihat sangat hidup. Semuanya karena wanita ini. Bahkan dengan segaris senyum yang tercipta dari bibirnya mampu menghangatkan seluruh ruangan ini. Kehadirannya bagaikan sinar matahari namun tak begitu silau hingga menyakitkan mata dan tak begitu terik hingga membuat terasa panas.
Kenyataan ini untuk kedua kalinya berhasil membuat ku nelan ludah pahit. Betapa beruntungnya pria ini karena bisa memiliki sosok seperti wanita ini dirumahnya.
"Oh … aku hampir saja lupa. Bi ini adalah Sunny dan Sunny ini adalah Bi Minah dia orang yang mengurus rumah ini dan juga seorang ibu bagi ku." Pak Ryu saling memperkenalkan kami berdua.
Aku hanya tersenyum, karena jujur saja aku sangat bingung harus mengatakan apa. Wanita itu sepertinya paham akan gerak gerik ku yang kebingungan ini dan dia pun tak mengatakan apa-apa dan hanya tersenyum.
"Ryu kau temanilah paman mu bermain catur." Ucap wanita itu bahkan suaranya pun terasa sangat lembut.
"Haa … kenapa tiba-tiba menyuruh ku bermain catur. Aku ingin membantu bibi." Pak Ryu terlihat seperti anak kecil yang sedang menggerutu kesal.
Wanita itu tak membalas perkataan Pak Ryu dan hanya menatapnya. Bagai keajaiban Pak Ryu langsung membalikan badannya meninggalkan aku dengan wanita ini. Tatapan itu bukan tatapan mematikan namun cukup ampuh untuk menegaskan Pak Ryu yang seperti anak-anak.
"Kau tidak apa-apa Sunny jika ku tinggalkan sendirian?" Pak Ryu berbalik menoleh kepada ku.
"Mmm …." Ungkap ku sambil tersenyum tipis.
Walaupun aku sebenarnya tidak yakin.
"Kau tak perlu gugup Sunny. Bertingkahlah senyaman mu." Bi Minah tersenyum lembut kepada ku.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis, bahkan tak layak disebut senyuman.
"Bisa kau potongkan strawberry ini untuk ku." Bi Minah sambil menyodorkan buah strawberry bersih yang disiap untuk dipotong.
Aku menyambut wadah berisi strawberry itu dan segera memotongnya kecil-kecil sesuai ukuran untuk sekali suapan.
"Ryu sangat suka salad dengan potongan strawberry didalamnya. Sejak kecil dia sangat tidak suka sayur aku pun memutar otak untuk mencari cara agar anak cerewet itu ingin makan sayur, hingga satu hari aku membuat salad dan kemudian aku iseng mencampurkan strawberry didalamnya dan sejak hari itu Ryu mulai suka memakan sayur hingga saat ini. Dia mengatakan bahwa rasa tak enak sayur hilang begitu saja ketika dia memakannya dengan strawberry. Aku sama sekali tak mengerti dengan selera anak itu." Bi Minah tertawa kecil ketika mengenang masa kecil Pak Ryu.
Aku masih asik memotong buah strawberry sambil mendengarkan Bi Minah bercerita tentang banyak hal mulai dari Pak Ryu yang susah di bangunkan saat pagi atau bagaimana Pak Ryu yang selalu mengeluh ketika diajak bermain catur dengan pamannya, hingga Pak Ryu yang bisa menghabiskan waktu 3 hari penuh didalam studionya untuk melukis. Semua hal yang diceritak Bi Minah selalu bersangkutan dengan Pak Ryu.
Namun dari cerita ini setidaknya aku bisa sedikit tahu bagaimana Pak Ryu ketika dirumah.
"Lalu Sunny bagaimana dengan mu?." Bi Minah bertanya balik kepada ku. Binar matanya menyiratkan bahwa dia sangat ingin tahu tentang ku.
Aku tak langsung menjawab dan berusaha mencerna pertanyaan Bi Minah.
"Ahh … maksud ku makanan ke sukaan mu atau apa yang tak kau sukai." Bi Minah tertawa kecil.
"Aku tak tahu betul apa yang ku sukai, aku bisa memakan semua makanan yang menurut ku enak. Dan yang tak ku sukai adalah bawang dan seluruh keluarganya. Aku sangat tak suka rasa mereka yang menyengat." Ucap ku ragu karena aku tak tahu apakah jawaban ku adalah jawaban seperti yang Bi Minah inginkan.
Bi Minah terlihat mengulum senyum ketika mendengar jawaban ku. Sesaat aku merasa bahwa jawaban ku sangat aneh dan tidak seperti yang diharapkan.
"Baiklah aku akan berusaha membuat makanan yang kau suka tanpa bawang." Setelah mengatakan itu Bi Minah tertawa lebar sambil menyentuh punggung tangan ku.
Aku merasa sedikit tenang melihat respon Bi Minah yang tidak menganggap ku aneh. Aku pun berbalik senyum kepadanya.
***
"Apa yang kau lakukan di sini Ryu?." Tanya Pak Yuma kebingungan ketika aku tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Bi Minah menyuruh ku kemarin untuk menemani paman bermain catur." Aku duduk tepat di hadapan paman, tapi aku sama sekali tidak melihat papan catur.
Pak Yuma tertawa terbahak-bahak melihat diri ku yang kebingungan.
"Kau sudah dibohongi oleh bibi mu Ryu." Pak Yuma masih asik menertawakan ku.
Aku pun terkejut.
"Bibi membohongi ku?." ulang ku dengan wajah tak percaya.
"Aku tak sedang ingin bermain catur Ryu. Apa kau tak melihat aku sedang memegang gunting."
"Tapi kenapa bibi membohongi ku?." tanya ku masih tak percaya.
"Memang apa yang sedang di lakukan bibi mu?."
"Dia sedang memasak makan malam dengan Sunny."
Pak Yuma seolah mengerti alasan dibalik bibi membohongi ku.
"Sudahlah kau tak perlu ikut campur urusan wanita." Ucap Pak Yuma berusaha untuk menenangkan ku.
"Tapi kenapa?. Aku hanya ingin membantu bibi memasak." Gerutu kesal.
"Membantu bibi atau kau hanya ingin berdekatan terus dengan gadis bernama Sunny itu?." ucap paman dengan senyum jahilnya yang khas.
Aku mendadak salah tingkah dan tak bisa menjawab.
"Apa kau pernah mendengar bahwa menganggu dua wanita yang sedang berbicara sama dengan menyulutkan api perang. Wanita memiliki rahasia-rahasia kecil yang hanya akan dibagikannya dengan sesama wanita. Jadi tak perlu kau pusingkan lagi atau nanti tak hanya bibi mu yang akan marah tetapi juga gadis itu." Pak Yuma menepuk bahu ku yang sudah lesu.
Aku harus mengiyakan semua ucapan Pak Yuma karena aku tak ingin membuat Sunny kembali marah dengan ku. Aku sudah susah payah menciptakn suasana ini jadi sedikit kesalahan tak boleh terjadi.
Mau tak mau aku ikut membantu Pak Yuma membonsai tanamannya.
***
"Sunny kau panggillah Ryu. Kita akan makan bersama-sama." Pinta Bi Minah kepada ku dengan tangan yang sibuk mengatur meja makan.
Sejujurnya aku sama sekali tak membantu apa-apa. Semua yang tersedia dimeja makan ini adalah buatan Bi Minah satu-satunya yang ku lakukan adalah memotong strawberry yang tidak seberapa banyak itu.
Aku berjalan keluar menuju tempat Pak Ryu dan pamannya. Aku dibuat kagum kembali dengan pemandangan dirumah ini. Sinar matahari sore dengan lembut menyapu seluruh ruangan di rumah ini dan berpadu manis dengan tanaman-tanaman yang ada di sini.
Siluet tubuh Pak Ryu terbentuk sempurna dibawah sinar matahari. Aku menjulurkan tangan dengan jari-jari ku yang berusaha untuk menangkap siluet itu. Namun belum sempat aku menangkapnya Pak Ryu sudah menyadari keberadaan ku.
"Sunny apa yang kau lakukan disini?." Ucap Pak Ryu yang sepertinya terkejut melihat diriku yang tiba-tiba sudah berada dibelakangnya.
"Ahh … Bi Minah meminta ku memanggil bapak dan paman untuk makan malam." Ucap ku sedikit canggung setelah tertangkap basah oleh Pak Yuma.
Aku berharap cemas bahwa dia tidak melihat diri ku bermain-main dengan siluet tubuhnya.
"Baiklah. Kau bisa duluan aku akan memanggil paman." Pak Ryu lalu berbalik dan berjalan memanggil pamannya.
Aku kembali melangkah menuju dapur.
"Kau sudah kembali Sunny." Bi Minah menebar senyumnya kepada ku.
"Apa kau ingin mandi sebelum makan?. Baju mu pasti bau makanan karena seharian menemani ku memasak."
Aku mencium-cium baju ku dan memang di penuhi aroma makanan. Aku sangat ingin mandi terlebih badan ku juga terasa lengket. Tapi aku tidak membawa baju bagaimana aku akan mengganti baju ku.
"Kau bisa menggunakan baju ku. Aku ingat di lemari ku masih banyak gaun seperti yang kau gunakan, karena dulu saat masih muda aku juga suka menggunakan pakaian seperti mu." Lagi dan lagi Bi Minah seperti bisa menerjemahkan setiap gerak-gerik ku.
Aku menyambut dengan baik dan mengikuti Bi Minah menuju kamar mandi.
"Sunny ku letakan baju ini diluar. Jika ada apa-apa panggil saja. Aku ada diruangan sebelah."
Suara Bi Minah terdengar sayup-sayup di dalam kamar mandi ini.
"Ahh … segarnya." Ungkap ku sambil menikmati setiap tetesan air yang mengalir keseluruh tubuh ku.
10 menit kemudian aku keluar dari kamar mandi. Ku lihat gaun berwarna kuning lembut terlipat rapi diatas meja. Aku melepaskan lipatan gaun itu dan mencocokannya dengan tubuh ku di depan cermin. Gaun ini terlihat sangat cantik dengan kesederhanaannya. Tak banyak corak di gaun ini hanya bordiran bunga di sekeliling lehernya dan kancing berbentuk bunga yang tersusun rapi.
Tapi warna gaun ini tidak pas untuk ku. Aku selalu menggunakan baju berwarna hitam dan akan sangat terlihat aneh ketika tiba-tiba aku mengganti warna baju ku. Aku sama sekali tidak bisa memutuskan.
"Apa kau tidak suka dengan gaunnya?." Tiba-tiba suara Bi Minah masuk kedalam ruangan ku.
"Bukan begitu aku sangat suka gaun ini. Hanya saja aku tidak terbiasa menggunakan warna lain selain warna hitam." Ucap ku sambil tertunduk.
Aku tak berani menatap wajah Bi Minah. Dia pasti sangat kecewa kepada ku karena tidak menggunakan gaun pemberiannya.
Lalu dengan lembut tangan Bi Minah mengusap wajah ku. "Tenang saja gaun ini pasti akan terlihat sangat cantik apabila kau gunakan. Kau tak perlu takut. Terkadang apa yang menurut mu tidak cocok belum tentu akan seperti itu begitu pula sebaliknya. Cobalah kenakan dulu apabila kau masih merasa tidak cocok aku akan membawakan mu gaun yang lain."
Suara Bi Minah terdengar begitu menyejukan dan menenangkan hati ku. Dengan suara selembut itu aku tak mungkin bisa menolak. Aku pun akhirnya mencoba baju itu.
Dengan langkah malu-malu dan gugup aku keluar sambil mengenakan gaun dengan warna kuning lembut itu.
"Sunny kau terlihat sangat cantik." Bi Minah menarik tangan ku dan membawa ku ke hadapan cermin.
"Lihatlah kau terlihat sangat cantik bukan dan gaun ini terlihat sangat cocok dengan mu."
Aku perlahan menatap kearah ceriman dan betapa terkejutnya saat aku melihat pantulan diri ku yang menggunakan gaun ini.
"Apakah ini aku?." Gumam ku dalam hati.
Aku masih tidak percaya. Namun entah kenapa aku terselip satu perasaan didalam hati ku. Apakah ini perasaan senang yang jelas aku sama sekali tidak merasa keberatan menggunakan gaun ini.
"Baiklah sekarang kau duduk bibi mu ini akan mengepangkan rambut mu." Tiba-tiab suara Bi Minah terdengar begitu bersemangat.
***
"Sudah selesai."
"Mari turun paman dan Ryu pasti sudah menunggu."
Aku mengikuti langkah Bi Minah menuju dapur.
Aku terlalu senang sampai aku tak sadar bahwa Pak Ryu akan melihat ku menggunakan baju ini. Tepat seperti yang dikatakan Bi Minah. Pak Ryu memang sudah menunggu di ruang tamu.
Langkah ku terhenti tepat didepannya. Matanya menangkap diri ku yang terlihat begitu canggung. Dia kemudian berdiri namun padangannya tak sekali pun teralihkan. Aku memberanikan diri menatapnya.
"Apa penampilan ku sangat aneh hingga dia tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun." Gumam ku dalam hati.
"Ayo makan." Ucapnya singkat sambil mengusap-ngusap kepala ku.
Apa maksudnya. Ada apa dengan reaksinya. Dia terlihat biasa saja.
***
Aku duduk tepat di samping Pak Ryu. Di atas meja ini aku bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga. Paman dan Bi Minah begitu ramah dan sangat baik. Entah kapan terakhir kali aku makan bersama orang tua ku, kalau pun kami makan bersama tak akan ada perbincangan sehangat ini.
Tawa kami semua memenuhi ruangan ini. Aku menatap pria yang duduk di samping ku. Aku tak pernah melihat sisi hangat seperti ini dari dirinya. Betapa beruntungnya wanita yang akan menjadi istrinya kelak. Aku terus menatapnya sampai mata kami bertemu. Entah mengapa aku tak bisa mengalihkan pandangan ku kali ini. Rasanya aku ditarik mendekat kearahnya.
"Sunny apa kau suka dengan makanannya?." Tanya Pak Yuma kepada ku.
Aku pun langsung berpaling terkejut.
"Ahh … iya makanan ini sangat enak." Kali ini suara ku dengar lebih santai.
"Syukurlah … Ryu kau harus sering-sering membawa Sunny kemari." Celetuk Pak Yuma membuat ku dan Pak Ryu sontak terkejut.
Pak Yuma hanya tertawa ria melihat ekspressi kamu berdua. Tentu saja Pak Yuma akan terus tertawa apabila tidak dihentikan Bi Minah.
Kami melanjutkan makan dengan penuh suka cita. Aku bisa merasakan kehangatan dimana-mana.
Jauh didalam lubuk hati ku, aku sangat ingin tinggal di tempat ini. Sangat ingin. Hingga rasanya aku sangat takut dengan dinginya apartemen ku.
***
"Ryu kau antarlah Sunny sekarang sudah sangat larut." Bi Minah dengan tangannya yang sibuk mencuci piring.
Aku ingin membantu Bi Minah tapi dia terus menolak dan mengatakan aku harus pulang dan segera beristirahat. Bahkan dia menawarkan ku untuk menginap dirumah Pak Ryu namun secepat kilat aku menolak, karena aku masih tak terbiasa dengan kehadiran Pak Ryu.
Setelah berpamitan aku beranjak masuk kedalam mobil Pak Ryu.
5 menit hanya ada keheningan didalam mobil ini. Wajah Pak Ryu terlihat sangat serius sehingg aku tak berani memulai percakapan. Tapi suasana ini sangat canggung.
"Cantik."
Suara itu tedengar tak begitu jelas namun jelas suara itu berasal dari Pak Ryu.
Aku menoleh kearahnya dan dia masih fokus menatap jalan.
"Kau sangat cantik Sunny menggunakan gaun itu." ucapnya dengan sangat lembut hingga aku tak percaya bahwa kalimat itu keluar dari mulutnya langsung.
"Ma … kasih." Jawab ku singkat karena aku sangat malu bahkan wajah ku sudah memanas.
"Salad buatan mu enak."
"Aku hanya memotong strawberrynya saja sisanya Bi Minah yang lakukan."
Dan suasana kembali hening. Hingga akhirnya aku sampai di apartemen ku.
Aku sudah bersiap untuk turun namun tiba-tiba dia menahan tangan ku.
"Sunny …." Panggilnya.
Aku hanya menoleh. Aku menunggu kalimat yang akan diucapkannya.
"Bisakah saat diluar kau memanggil ku dengan nama ku saja tanpa tambahan 'Pak'?." Ucapnya malu-malu.
Mendengar hal itu aku tak bisa menahan tawa ku.
Dia menoleh terkejut saat mendengar tawa ku.
"Apa yang kau tertawakan?." Gerutunya.
"Tidak ada. Hanya saja bapak terlihat lucu."
"Sudah ku bilang jangan memanggil ku bapak. Kau tahu seharian ini aku sudah menjadi bulan-bulanannya paman jadi panggil aku Ryu saja."
"Apa tidak apa-apa bapak lebih tua dari aku."
"Sunny apa kau tak mendengar ucapan ku jangan panggil bapak, panggil Ryu saja." paksanya.
"Baiklah … Ryu." Ucap ku menahan malu.
Dan lagi suasana hening ini kembali dan kami berdua sangat canggung. Aku sudah sangat malu tanpa berpikir lagi aku langsung turun dari mobilnya.
***
Aku menghempaskan tubub ku diatas sofa. Aku menutupi wajah ku dengan tangan. Dan masih terasa hangat.
"Apa yang membuat mu malu Sunny. Kau hanya memanggilnya dengan namanya saja. Kau tak perlu semalu ini."
Tapi tentu saja tak semudah itu.
Wajahnya terlalu menggemaskan hingga aku tak bisa menahan rasa malu ku.
"Ahhh! … apa akan baik-baik saja jika aku terus begini?."