"Sunny, apa yang kau lakukan disini?." Cecil menghampiri ku sambil dengan setengah berlari.
"Ahh … tidak ada. Aku hanya habis selesai menggambar." Ungkap ku sambil menunjukan sketch book yang ku pegang.
Namun sepertinya Cecil masih bisa menangkap sosok Hana dan Pak Ryu yang belum jauh melangkah.
"Bukankah itu Pak Ryu?." Cecil menoleh kearah ku untuk memastikan.
Aku hanya mengangguk pelan dan menyunggingkan senyum kecut.
"Lalu siapa perempuan yang di sampingnya?."
Cecil terkejut dan matanya membelalak keluar. "Haa! … jangan bilang itu perempuan yang digosipkan memiliki hubungan dengan Pak Ryu?."
Kedua bola mata Cecil bolak-balik memperhatikan ku sambil terus memperhatikan sosok perempuan itu yang sebentar lagi akan berbelok menuju dinding lain kampus ini.
Aku tidak menjawab pertanyaan Cecil dan hanya mengangkat kecil bahu ku.
Aku buru-buru mengemaskan barang ku dan pergi, sebelum Cecil semakin banyak bertanya. Walaupun pada akhirnya dia pasti akan terus mengikuti dengan mulut yang terus melontar pertanyaan.
Aku tak bisa cerita kepada Cecil tentang hubungan ku dengan Pak Ryu. Melihat dari sifat Cecil dia pasti akan sangat terkejut dan tentu saja dia akan terus bertanya tanpa henti.
***
Aku menjatuhkan bantal tepat diatas wajah ku. Isi kepala ku seperti akan keluar jika aku tidak menahannya dengan bantal.
Bahkan setelah sampai dititik ini aku sama sekali tidak mengerti dengan perasaan ku. Bukankah seharusnya aku akan merasa biasa saja, ada atau tidak ada Pak Ryu seharusnya tidak akan merubah apa pun dalam hidup ku. Tapi kenapa setiap kali harus menerima kenyataan itu ada penolakan dari dalam diri ku.
Aku seperti berada di tengah-tengah persimpangan. Dimana aku tidak bisa memilih salah satu persimpangan itu. Namun aku juga tidak ingin terus-menerus berada ditengah-tengah seperti ini.
"Lalu apa yang harus ku lakukan?." Hati kecil ku bertanya.
***
Setelah melalui malam panjang dengan beribu-ribu pertanyaan yang terus-menerus berputar didalam kepala ku, aku akhirnya sadar bahwa masalah ini tidak bisa ku selesaikan sendiri dan lebih tidak mungkin jika meninggalkannya begitu saja.
Didalam keriuhan isi kepala ku, tiba-tiba aku teringat dengan Bi Minah. Wanita setengah baya itu mengingatkan ku akan sosok ibu. Sosok yang akan selalu ada di saat aku kehilangan arah, sosok yang selalu menampung semua keluh kesah ku.
"Bi Minah pasti akan membantu ku." Gumam ku dalam hati.
Dengan secepat kilat aku mengambil handphone ku dan langsung menghubungi Bi Minah.
***
Setelah percakapan panjang dengan Bi Minah malam itu. Bi Minah ingin bertemu dengan ku. Aku sebenarnya sudah menolak karena aku masih belum siap untuk bertemu dengan Pak Ryu, namun Bi Minah menenangkan ku dan menjanjikan tak akan ada Pak Ryu saat aku kerumahnya. Setelah mendengar itu aku akhirnya mengiyakan permintaan Bi Minah.
"Kau sudah datang Sunny." Bi Minah menyambut ku dan sepertinya dia sengaja menunggu di taman bunga milik Pak Yuma, suaminya.
Aku hanya tersenyum. Bi Minah menghampiri ku dan menarik lembut tangan ku mengajak ku masuk kedalam. Kali ini dia tidak mengajak ku ke dapur atau ke kamarnya.
Rumah ini sepertinya banyak tempat rahasia. Bi Minah mengajak ku ke taman kecil yang ada di belakang rumah itu dan sepertinya taman ini bukan bagian dari rumah Pak Ryu, karena kami harus melewati pintu belakang untuk menuju ke taman itu.
Taman itu memang tidak seramai taman bunga milik Pak Yuma, hanya ada beberapa pohon kecil disekelilingnya dan beberapa bunga yang tumbuh liar di sekitarnya. Taman ini seperti surga di tengah-tengah padang rumput, karena sepanjang mata memandang hanya ada padang rumput yang luas. Dan di pojok taman itu ada rumah kecil dan didepan rumah itu terdapat meja bundar yang terbuat dari kayu. Sungguh indah dan jauh lebih indah dari taman milik Pak Yuma.
"Duduklah Sunny, aku akan membuatkan minuman untuk mu." Suara Bi Minah terdengar sangat manis.
Bi Minah pun lalu masuk kedalam rumah kecil itu. Dan tak lama kemudian dia keluar dengan dua gelas berisi minuman dingin yang aku pun tak bisa menebak rasanya.
"Minumlah. Aku tak tahu kau akan menyukainya atau tidak, tapi karena terakhir kali matcha yang ku buatkan untuk mu habis jadi aku rasa minuman ini cocok untuk mu." Bi Minah sambil meletakan kedua gelas berisi minuman berwarna pink itu ke atas meja kayu.
Aku menyisip sedikit minuman yang dibuatkan Bi Minah. Setelah tegukan pertama aku menoleh kearah Bi Minah dengan raut wajah kaget. Bi Minah hanya membalas ku dengan tawa kecil, dia seolah-olah tau bahwa ekspresi ku bukan karena aku tidak suka, melainkan karena aku sangat suka dengan minuman itu.
Saat meneguknya aku bisa merasakan sensasi teh yang bercampur lembut dengan whipped cream yang manis, lalu tak lupa rasa asam dan manis dari selai strawberry diatasnya. Perpaduan yang sangat sempurna.
"Apa kau menyukainya Sunny?." Bi Minah bertanya pada ku yang sedang asik meneguk gelas itu tanpa henti.
"Suka." Aku tersenyum kecil dan meletakan gelas itu kembali ketas meja.
Suasana berubah menjadi tenang. Aku dan Bi Minah sama-sama menghamburkan pandangan kami kearah padang rumput yang begitu luas.
"Taman ini adalah taman buatan Ryu dan rumah kecil yang ada di belakang mu adalah tempat bermainnya saat masih kecil. Bahkan taman ini sudah ada sebelum taman yang ada di rumah itu." ucap Bi Minah memecahkan keheningan kami berdua.
Aku menoleh kearahnya dan ada sedikit awan mendung yang tersirat di wajah Bi Minah.
"Sejak kecil Ryu selalu sendirian, dia hampir tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya. Mereka selalu sibuk dengan urusan pekerjaan dan selalu pergi keluar negeri meninggal Ryu kecil sendirian. Walaupun kesepian dia tidak pernah mengeluh sedikit pun dan anak itu memang selalu memendam semuanya sendirian. Dan sampai akhir dimana orang tuanya menyuruh dia untuk pindah sendirian ke negara asing dan dia sama sekali tidak protes. Waktu itu aku masih sangat ingat Ryu baru berusia 5 tahun ketika pindah ke negera ini. Saat pertama kali melihat wajahnya aku sampai terkejut, karena Ryu kecil sama sekali tidak menangis bahkan dia terlihat sangat tenang, jauh lebih tenang dari orang dewasa." Bi Minah berhenti sejenak untuk mengambil napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
Aku bisa merasakan ada kesedihan yang mendalam dari Bi Minah untuk memceritakan hal ini.
"Namun malam itu ketika aku mengantarkan susu ke kamarnya. Aku mendengar Ryu kecil menangis suaranya sayup-sayup bahkan hampir tidak terdengar. Pada saat itu aku bertekad untuk membuat anak malang itu bahagia seperti halnya anak kecil lain. Aku masuk kedalam kamarnya dan memeluk Ryu erat-erat. Aku tak tahu sejak kapan dia selalu menangis dalam diam seperti ini, karena setiap tangisan yang keluar dari anak itu terasa begitu menyayat hingga hati ku pun terasa hancur pada saat itu. Entah sakit seperti apa yang telah dilewati oleh anak sekecil itu." Suara Bi Minah mulai terdengar berat, seakan-akan akan ada air tumpah jika dia tidak menahannya sekuat tenaga.
"Ahh … maafkan aku. Aku jadi menceritakan hal ini pada mu." Ucap Bi Minah sambil tersenyum kaku.
"Tidak apa-apa." Aku menyentuh lembut tangan Bi Minah berharap bisa menenangkan duka lama yang harus dia ingat kembali.
Bi Minah tersenyum hangat kepada ku. "Saat sebelum pindah ke sini Ryu pernah berteman dengan anak laki-laki seusianya pada saat itu. Hampir setiap hari anak laki-laki itu bermain dengan Ryu. Anak laki-laki itu bahkan berjanji akan mengenalkan Ryu dengan seorang anak perempuan. Namun sebelum hal itu terjadi anak laki-laki itu sudah pergi lebih dulu, karena kecelakaan."
"Dan taman ini khusus Ryu buatkan untuk anak laki-laki itu, karena anak laki-laki itu adalah satu-satunya teman yang Ryu milik pada saat itu. Ryu berharap suatu hari bisa mengajak anak itu bermain ke taman ini. Namun ketika Ryu ingin menjemputnya Ryu di sambut dengan pemakaman anak itu. Semenjak saat itu Ryu tidak lagi pernah datang ketaman ini, walaupun taman ini tidak lagi diinginkannya aku tetap mengurus taman ini dengan baik berharap suatu saat nanti Ryu akan kembali mengunjungi taman ini." Terselip senyum kecut dibibir Bi Minah.
Entah mengapa ada perasaan cemas ketika aku mendengar cerita itu. Seolah-olah kejadian itu pernah ku alami. Namun selama bercerita Bi Minah tidak pernah sama sekali menyebut nama anak itu. Aku sangat ingin tahu nama anak itu, tetapi hati menjerit berkata "Tidak" seakan-akan jika nama itu di sebut kenangan buruk yang sudah ku kubur dalam-dalam akan bangkit lagi ke permukaan. Tapi aku tidak bisa menyangkal ada dorongan kuat untuk ku memastikan nama anak itu, seolah-olah nama anak itu akan memberikan ku sebuah petunjuk.
Dengan mengumpulkan semua keberanian aku memutuskan untuk bertanya kepada Bi Minah.
"Apakah aku boleh tahu nama anak laki-laki itu Bi?." Suara ku bergetar hebat dan perlahan keringat dingin mulai menyebar keseluruh tangan ku.
Aku menggenggam erat-erat tangan ku. Jantung ku mulai berdegup kencang.
"Ahh … aku lupa. Kalo tidak salah nama anak itu Ryu."
"Watanabe Ryu." Mulut ku bergerak sendiri menyebut nama itu.
Nama yang tak pernah hilang dari ingatan ku walau hanya sedetik.
Bi Minah menoleh kearah ku dengan terkejut. Dia pasti sekarang sangat bingung kenapa aku bisa mengetahui nama itu.
"Bagaimana kau bisa tahu Sunny?." Ucap Bi Minah bingung.
Aku diam sejenak dan tak langsung menjawab kebingungan Bi Minah. Aku harus mengatur air muka ku terlebih dahulu sebelum menjawab. Walaupun aku tahu pada akhirnya Bi Minah akan menangkap bahwa aku tidak baik-baik saja.
"Dia teman masa kecil ku." ucap ku pelan. Walaupun aku sudah mengumpulkan seluruh tenaga ku tetap saja aku masih tidak sanggup.
"Sunny maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuat mu mengingat kejadian itu lagi." Bi Minah menggenggam erat kedua tangan ku, begitu erat hingga aku bisa merasakan setiap aliran darahnya.
"Tidak apa-apa. Kejadian itu sudah sangat lama dan aku sudah melupakannya." Aku mengulum bibir ku.
Semua itu bohong. Tidak, aku tidak baik-baik saja. Aku masih mengingatnya, bahkan sangat jelas. Begitu jelas hingga ketika aku menutup mata ku kejadian itu seperti muncul kembali. Aku tidak baik-baik saja. Aku selalu mengingat mu. Aku belum merelakan kepergian mu. Aku ingin kau kembali.
Dada ku terasa begitu sesak. Aku sulit bernapas. Pipi ku mulai terasa panas dan tanpa sadar air mata ku jatuh. Aku menoleh keraha Bi Minah dengan air mata yang sudah tidak dapat ku bendung lagi.
Bi Minah beranjak bangkit dan mendekap ku dengan erat. Tangis ku seketika pecah ketika Bi Minah melingkarkan tangannya ke tubuh ku. Aku memangis begitu kencang. Hati ku begitu pedih. Tersayat-sayat seiring dengan tangisan ku. Aku berusaha untuk berhenti, namun air mata ku terus jatuh. Jatuh lagi dan lagi.
"Kali ini saja, hanya untuk kali ini. Ijinkan aku untuk menangisi mu. Ijinkan aku untuk memberitahu dunia bahwa aku tidak pernah merelakan kepergian mu. Ijinkan aku untuk menangis sekeras-kerasnya agar semua makhluk di dunia ini tahu kepedihan ku setelah kau pergi. Ijinkan aku untuk memberitahu angin bahwa aku rindu pada mu berharap angin akan menyampaikannya kepada mu dan kau akan kembali kepada ku. Ijinkan aku kali ini saja Ryu."
"Apakah kau begitu merindukannya Sunny?. Hingga kau tidak bisa melihat sosok ku walau hanya sekali."
"Ryu"